BPTJ Perkirakan Kemacetan Jakarta Terurai Tahun 2029
A
A
A
JAKARTA - Ketua Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Elly Sinaga memperkirakan, kemacetan di Ibu Kota bakal bisa terurai pada 2029 dengan kecepatan rata-rata 30 kilometer perjam.
Langkah untuk menuju itu adalah dengan melakukan penataan transportasi terpadunya Jabodetabek. Sayangnya, hingga kini belum ada keterpaduan penataan transportasi antar daerah Bodetabek dengan Provinsi DKI Jakarta.
"Bahkan, antara moda transportasi TransJakarta dengan Comutter yang sudah lama berjalan saja tidak pernah bersalaman," katanya, kepada wartawan, Senin (3/10/2016).
Lebih lanjut pihaknya menyatakan, untuk mencapai kecepatan rata-rata 30 kilometer perjam dan maksimal perjalanan 1,5 jam dari asal perjalanan pada jam puncak, penggunaan angkutan umum harus mencapai 60%. Saat ini mencapai 15%.
"Gak akan mungkin jakarta baik kalau bodetabeknya tidak mendukung. Simpul transportasi perkotaan harus terpadu," tegasnya.
Ironisnya, dari jumlah 47,5 juta perjalanan perhari, 50% hanya numpang lewat Jakarta. Artinya, penataan transportasi harus memperhitungkan demand pengendara pribadi dari segi fasilitas, waktu, dan biayanya.
Saat ini, pihaknya sedang mempersiapkan angkutan pemukiman melalui survei pengendara pribadi Bodetabek yang rata-rata kelompok menengah ke atas. Sayangnya, pemerintah Bodetabek tidak sanggup memberikan subsidi.
"Ini yang harus dipikirkan. Kami harap tarif Elektronik Road Pricing (ERP) yang akan diberlakukan oleh Pemprov DKI mengingat yang melintas nanti bukan hanya kendaraan pribadi di Jakarta," terangnya.
Dia melanjutkan, kendaraan roda dua sebanyak 18,5 juta perhari yang melakukan perjalanan ke Jakarta juga harus dipikirkan. Menurutnya, harus ada undang-undang yang melarang motor, namun harus ada fasilitas sesuai demand pengendara motor.
"Motor itu kendaraan paling murah dan efisensi waktu. Nah, kalau kita larang gantinya apa? Itu harus dipikirkan. Kita harus punya ide rujukan yang betul-betul bisa menggantikan motor," pungkasnya.
Langkah untuk menuju itu adalah dengan melakukan penataan transportasi terpadunya Jabodetabek. Sayangnya, hingga kini belum ada keterpaduan penataan transportasi antar daerah Bodetabek dengan Provinsi DKI Jakarta.
"Bahkan, antara moda transportasi TransJakarta dengan Comutter yang sudah lama berjalan saja tidak pernah bersalaman," katanya, kepada wartawan, Senin (3/10/2016).
Lebih lanjut pihaknya menyatakan, untuk mencapai kecepatan rata-rata 30 kilometer perjam dan maksimal perjalanan 1,5 jam dari asal perjalanan pada jam puncak, penggunaan angkutan umum harus mencapai 60%. Saat ini mencapai 15%.
"Gak akan mungkin jakarta baik kalau bodetabeknya tidak mendukung. Simpul transportasi perkotaan harus terpadu," tegasnya.
Ironisnya, dari jumlah 47,5 juta perjalanan perhari, 50% hanya numpang lewat Jakarta. Artinya, penataan transportasi harus memperhitungkan demand pengendara pribadi dari segi fasilitas, waktu, dan biayanya.
Saat ini, pihaknya sedang mempersiapkan angkutan pemukiman melalui survei pengendara pribadi Bodetabek yang rata-rata kelompok menengah ke atas. Sayangnya, pemerintah Bodetabek tidak sanggup memberikan subsidi.
"Ini yang harus dipikirkan. Kami harap tarif Elektronik Road Pricing (ERP) yang akan diberlakukan oleh Pemprov DKI mengingat yang melintas nanti bukan hanya kendaraan pribadi di Jakarta," terangnya.
Dia melanjutkan, kendaraan roda dua sebanyak 18,5 juta perhari yang melakukan perjalanan ke Jakarta juga harus dipikirkan. Menurutnya, harus ada undang-undang yang melarang motor, namun harus ada fasilitas sesuai demand pengendara motor.
"Motor itu kendaraan paling murah dan efisensi waktu. Nah, kalau kita larang gantinya apa? Itu harus dipikirkan. Kita harus punya ide rujukan yang betul-betul bisa menggantikan motor," pungkasnya.
(san)