Detik-detik Mencekam Saat Densus 88 'Serbu' Kosan Teroris Afif
A
A
A
JAKARTA - Suasana malam yang sunyi dan dingin begitu terasa di Kampung Pesanggrahan RT 02/03, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, Kamis 14 Januari 2016 malam itu, sekitar pukul 22.00 WIB.
Angin sepoi-sepoi membuat bulu kuduk menjadi merinding, sementara pohon besar bergoyang mengikuti tiupan angin malam yang menembus tulang.
Di luar kampung, seorang remaja berbadan tegap berumur 23 tahun tengah asik menghisap rokok filter di balai kayu yang berada di bawah pohon mangga.
Pria itu diketahui bernama Ari, remaja kampung tersebut. Dia tengah asik menikmati udara malam di tempat yang merupakan satu-satunya akses terdekat masuk kampung itu dari Kompleks BPPT yang berada di depannya.
Belum habis rokok itu dihisap Ari, dia secara tiba-tiba didatangi seorang pria asing berbadan tegap. Dengan nada menyentak dan keras pria itupun menyuruh Ari untuk masuk rumah.
Sontak, mimik muka Ari pun menjadi heran dan bertanya-tanya. "Ngapain gue harus masuk, ini kampung gue," tutur Ari kepada Koran SINDO di rumahnya saat menceritakan suasana malam itu, Sabtu 16 Januari 2016.
Pernyataan Ari bagai seorang preman kampung itupun mendadak menjadi ciut, pasalnya selang beberapa menit kedatangan pria itu, segerombolan pria berseragam serba hitam bersenjata lengkap, datang menyerbu kampung itu.
"Ada sekitar puluhan, terus dia bilang, kamu mau kena tembak? Sayapun langsung masuk rumah," jelas Ari yang ketakutan malam itu.
Tak berapa lama, sekitar puluhan petugas berseragam hitam itu berseliweran di seluruh penjuru kampung. Bebeberapa warga yang berada di dalam rumah diminta untuk masuk, membuat suasana menjadi hening layaknya sebuah kawasan pemakaman.
"Tak ada satupun warga yang keluar malam itu," jawab Ari yang kala itu hendak masuk rumah.
Rasa penasaran juga dialami Dayat, 38, Pria yang merupakan tetangga Afif, pelaku teror bom sarinah, pun merasakan hal yang sama. Saking kuatnya rasa penasaran, Dayat pun memberanikan diri keluar dari rumah.
"Enggak ada kehidupan mas, kaya kampung mati, semuanya pada masuk rumah enggak ada satu pun yang keluar," jelas Dayat.
Belum ada satu menit dayat keluar rumah, tiba-tiba dari arah datangnya Ari menongkrong, lampu senter menyorot mukannya, Dayat pun bingung, terlebih sorotan senter itu dilanjutkan dengan sinaran lampu laser merah ke arah dadanya, layaknya seorang sniper membidik korbannya.
Dari balik gelapnya malam, Dayat baru sadar, yang membidik dirinya merupakan satu dari gerombolan anggota berseragam hitam yang belakangan diketahui merupakan Tim Densus 88.
Sosok itu kata Dayat, keluar dengan senjata laras panjang hitam. Dengan gerak badannya tanpa bersuara, sosok itupun menyuruh Dayat masuk ke dalam rumah.
"Di jendela saya lihat, banyak orang berseragam hitam hilir mudik rumah, enggak ada suara, yang ada hanya dekap langkah sepatu boot saja," tutur Dayat dengan mimik ketakutan.
Tak jauh beda, Nining, 20, tetangga kosan Afif merasakan hal yang sama, ramainya pemberitaan bom Sarinah yang meledak di siang itu menjadi rasa penasaran olehnya.
Sejak kedatangannya dari tempat kerjanya pada pukul 7 malam itu. Remaja putri asal Banyumas itu setia menonton berita di layar televisi, mengganti beberapa channel demi mencari informasi tentang bom siang itu.
Tepat di pukul 22.00, Nining mengaku dirinya dikejutkan dengan gedoran pintu kamarnya. Gedoran itu diketahui berasal dari ketukan tangan sang ibu pemilik kosan yang panik.
Tanpa banyak tanya, sang ibu tersebut langsung meminta Nining dan teman satu kamarnya Desi, 21, untuk pindah ke rumah tetangga.
"Saya enggak banyak tanya, soalnya di samping ibu ada petugas serba hitam, di luar juga ada, pokoknya banyak mas, kaya mau perang," jelas Nining.
Gerebek Kamar Afif
Menurut Nining, diketahui, aksi sergap malam itu terjadi lantaran petugas tengah melakukan penggerebekan kamar Afif yang berjarak tiga kamar dari tempatnya tidur. Di sana, petugas bersenjata lengkap masuk kamar Afif yang tengah terkunci rapat.
"Dia (Afif) baru dua minggu ngekos kok," ucap Nining.
Nining sendiri hafal betul bagaimana keseharian Afif selama berada di kosan. Dia menceritakan, sekalipun Afif merupakan sosok pendiam dan pribadi yang tertutup, namun pria itu sangat ramah begitu keduanya bertemu di lorong kosan.
"Kalau malam dia sering dengarin lagu kasidahan, ngaji. Tapi kalau sosok kaya teroris, seperti berjenggot atau pakai gamis, saya enggak pernah lihat," tutur Nining.
Setiap harinya, terutama pada malam hari sekitar pukul 10 malam ke atas, Afif sering kali duduk di luar kamar, sementara temannya, yang tidak dikenal Nining terlihat ada di dalam kamar.
Begitu keduanya bertemu, Afif selalu memberikan kode kepada temannya itu. "Seperti kaya orang bilang, awas ada yang datang," ucap Nining.
Meski hanya mengekos dua minggu, menurut Dayat. Afif sendiri merupakan orang yang royal, ibu kos, yang tak lain bibinya tak menaruh curiga kepada pria yang tewas di halaman Starbucks ini.
Pasalnya, Afif berada di kamar pojok lantaran direkomendasikan oleh sepupu Dayat, yang tak lain, Muhammad Ali, pelaku bom lainnya.
"Ncing saya mah percaya saja. Dia bayarnya tepat kok, minggu pertama 300 ribu, minggu kedua 300 ribu, lancar pula bayarnya. Apalagi si Ali yang bawanya," tutur Dayat.
Dengan jarak antara rumah Ali dan kamar kosan Afif yang begitu dekat, koordinasi keduanya pun sangat santai. Beberapa kali, keduanya sering kali bertemu di kamar Afif, bahkan terlihat pergi berdua ke masjid yang masih di kawasan Kompleks BPPT.
"Ya kita mana tahu kalau mereka berdua, setahu kita mah mereka berteman saja," tutur Dayat.
Pantauan Koran SINDO, setelah penggerebekan, kosan Afif terlihat sepi. Di dalam kamarnya hanya ada satu buah kipas angin listrik kecil berwarna hijau, dua botol aqua bekas pakai, karpet berwarna ungu, seprai usang, dan sebuah bantal.
Begitupun kondisi rumah Ali yang jaraknya sekitar 100 meter di kosan Afif. Sunyi masih cukup terasa, seperti tanpa kehidupan. Sekalipun terdapat motor supra hitam terparkir di halaman rumah, namun tidak ada yang menjawab salam, begitu Koran SINDO menyambangi rumah dengan pohon kersem itu.
Menurut Tari, 22, tetangga Ali, rumah ali mendadak sepi sejak penggerebekan oleh Densus 88 selang 10 jam saat enam ledakan mengguncang Jakarta malam itu.
Istri dan tiga anaknya menjadi jarang keluar rumah setelah ledakan itu, sementara Pak RT 02, Effendi dan ibu kos Afif belum juga pulang dari pemanggilan polisi sejak pagi kemarin.
"Padahal mereka (istri dan anak Ali) ada di dalam rumah kok," jelasnya.
Sementara hingga menjelang Magrib, para warga mengaku resah dengan semakin banyaknya orang tak dikenal hilir mudik di Kampungnya. Warga menduga, orang asing yang jumlah sekitar puluhan itu merupakan seorang anggota polisi yang tengah menyamar pascaledakan itu.
Mereka berkumpul di beberapa titik membaur dengan warga, di antaranya sebuah balai kampung di dekat rumah Ali, dan balai di dekat kosan Afif.
"Mereka itu bukan orang sini, kalau ada media, jadi enggak tahu apa kondisi kampung kita," tutup salah satu warga.
Pilihan:
Geram Brimob Bersenjata di DPR, Ini Klarifikasi Fahri Hamzah
Angin sepoi-sepoi membuat bulu kuduk menjadi merinding, sementara pohon besar bergoyang mengikuti tiupan angin malam yang menembus tulang.
Di luar kampung, seorang remaja berbadan tegap berumur 23 tahun tengah asik menghisap rokok filter di balai kayu yang berada di bawah pohon mangga.
Pria itu diketahui bernama Ari, remaja kampung tersebut. Dia tengah asik menikmati udara malam di tempat yang merupakan satu-satunya akses terdekat masuk kampung itu dari Kompleks BPPT yang berada di depannya.
Belum habis rokok itu dihisap Ari, dia secara tiba-tiba didatangi seorang pria asing berbadan tegap. Dengan nada menyentak dan keras pria itupun menyuruh Ari untuk masuk rumah.
Sontak, mimik muka Ari pun menjadi heran dan bertanya-tanya. "Ngapain gue harus masuk, ini kampung gue," tutur Ari kepada Koran SINDO di rumahnya saat menceritakan suasana malam itu, Sabtu 16 Januari 2016.
Pernyataan Ari bagai seorang preman kampung itupun mendadak menjadi ciut, pasalnya selang beberapa menit kedatangan pria itu, segerombolan pria berseragam serba hitam bersenjata lengkap, datang menyerbu kampung itu.
"Ada sekitar puluhan, terus dia bilang, kamu mau kena tembak? Sayapun langsung masuk rumah," jelas Ari yang ketakutan malam itu.
Tak berapa lama, sekitar puluhan petugas berseragam hitam itu berseliweran di seluruh penjuru kampung. Bebeberapa warga yang berada di dalam rumah diminta untuk masuk, membuat suasana menjadi hening layaknya sebuah kawasan pemakaman.
"Tak ada satupun warga yang keluar malam itu," jawab Ari yang kala itu hendak masuk rumah.
Rasa penasaran juga dialami Dayat, 38, Pria yang merupakan tetangga Afif, pelaku teror bom sarinah, pun merasakan hal yang sama. Saking kuatnya rasa penasaran, Dayat pun memberanikan diri keluar dari rumah.
"Enggak ada kehidupan mas, kaya kampung mati, semuanya pada masuk rumah enggak ada satu pun yang keluar," jelas Dayat.
Belum ada satu menit dayat keluar rumah, tiba-tiba dari arah datangnya Ari menongkrong, lampu senter menyorot mukannya, Dayat pun bingung, terlebih sorotan senter itu dilanjutkan dengan sinaran lampu laser merah ke arah dadanya, layaknya seorang sniper membidik korbannya.
Dari balik gelapnya malam, Dayat baru sadar, yang membidik dirinya merupakan satu dari gerombolan anggota berseragam hitam yang belakangan diketahui merupakan Tim Densus 88.
Sosok itu kata Dayat, keluar dengan senjata laras panjang hitam. Dengan gerak badannya tanpa bersuara, sosok itupun menyuruh Dayat masuk ke dalam rumah.
"Di jendela saya lihat, banyak orang berseragam hitam hilir mudik rumah, enggak ada suara, yang ada hanya dekap langkah sepatu boot saja," tutur Dayat dengan mimik ketakutan.
Tak jauh beda, Nining, 20, tetangga kosan Afif merasakan hal yang sama, ramainya pemberitaan bom Sarinah yang meledak di siang itu menjadi rasa penasaran olehnya.
Sejak kedatangannya dari tempat kerjanya pada pukul 7 malam itu. Remaja putri asal Banyumas itu setia menonton berita di layar televisi, mengganti beberapa channel demi mencari informasi tentang bom siang itu.
Tepat di pukul 22.00, Nining mengaku dirinya dikejutkan dengan gedoran pintu kamarnya. Gedoran itu diketahui berasal dari ketukan tangan sang ibu pemilik kosan yang panik.
Tanpa banyak tanya, sang ibu tersebut langsung meminta Nining dan teman satu kamarnya Desi, 21, untuk pindah ke rumah tetangga.
"Saya enggak banyak tanya, soalnya di samping ibu ada petugas serba hitam, di luar juga ada, pokoknya banyak mas, kaya mau perang," jelas Nining.
Gerebek Kamar Afif
Menurut Nining, diketahui, aksi sergap malam itu terjadi lantaran petugas tengah melakukan penggerebekan kamar Afif yang berjarak tiga kamar dari tempatnya tidur. Di sana, petugas bersenjata lengkap masuk kamar Afif yang tengah terkunci rapat.
"Dia (Afif) baru dua minggu ngekos kok," ucap Nining.
Nining sendiri hafal betul bagaimana keseharian Afif selama berada di kosan. Dia menceritakan, sekalipun Afif merupakan sosok pendiam dan pribadi yang tertutup, namun pria itu sangat ramah begitu keduanya bertemu di lorong kosan.
"Kalau malam dia sering dengarin lagu kasidahan, ngaji. Tapi kalau sosok kaya teroris, seperti berjenggot atau pakai gamis, saya enggak pernah lihat," tutur Nining.
Setiap harinya, terutama pada malam hari sekitar pukul 10 malam ke atas, Afif sering kali duduk di luar kamar, sementara temannya, yang tidak dikenal Nining terlihat ada di dalam kamar.
Begitu keduanya bertemu, Afif selalu memberikan kode kepada temannya itu. "Seperti kaya orang bilang, awas ada yang datang," ucap Nining.
Meski hanya mengekos dua minggu, menurut Dayat. Afif sendiri merupakan orang yang royal, ibu kos, yang tak lain bibinya tak menaruh curiga kepada pria yang tewas di halaman Starbucks ini.
Pasalnya, Afif berada di kamar pojok lantaran direkomendasikan oleh sepupu Dayat, yang tak lain, Muhammad Ali, pelaku bom lainnya.
"Ncing saya mah percaya saja. Dia bayarnya tepat kok, minggu pertama 300 ribu, minggu kedua 300 ribu, lancar pula bayarnya. Apalagi si Ali yang bawanya," tutur Dayat.
Dengan jarak antara rumah Ali dan kamar kosan Afif yang begitu dekat, koordinasi keduanya pun sangat santai. Beberapa kali, keduanya sering kali bertemu di kamar Afif, bahkan terlihat pergi berdua ke masjid yang masih di kawasan Kompleks BPPT.
"Ya kita mana tahu kalau mereka berdua, setahu kita mah mereka berteman saja," tutur Dayat.
Pantauan Koran SINDO, setelah penggerebekan, kosan Afif terlihat sepi. Di dalam kamarnya hanya ada satu buah kipas angin listrik kecil berwarna hijau, dua botol aqua bekas pakai, karpet berwarna ungu, seprai usang, dan sebuah bantal.
Begitupun kondisi rumah Ali yang jaraknya sekitar 100 meter di kosan Afif. Sunyi masih cukup terasa, seperti tanpa kehidupan. Sekalipun terdapat motor supra hitam terparkir di halaman rumah, namun tidak ada yang menjawab salam, begitu Koran SINDO menyambangi rumah dengan pohon kersem itu.
Menurut Tari, 22, tetangga Ali, rumah ali mendadak sepi sejak penggerebekan oleh Densus 88 selang 10 jam saat enam ledakan mengguncang Jakarta malam itu.
Istri dan tiga anaknya menjadi jarang keluar rumah setelah ledakan itu, sementara Pak RT 02, Effendi dan ibu kos Afif belum juga pulang dari pemanggilan polisi sejak pagi kemarin.
"Padahal mereka (istri dan anak Ali) ada di dalam rumah kok," jelasnya.
Sementara hingga menjelang Magrib, para warga mengaku resah dengan semakin banyaknya orang tak dikenal hilir mudik di Kampungnya. Warga menduga, orang asing yang jumlah sekitar puluhan itu merupakan seorang anggota polisi yang tengah menyamar pascaledakan itu.
Mereka berkumpul di beberapa titik membaur dengan warga, di antaranya sebuah balai kampung di dekat rumah Ali, dan balai di dekat kosan Afif.
"Mereka itu bukan orang sini, kalau ada media, jadi enggak tahu apa kondisi kampung kita," tutup salah satu warga.
Pilihan:
Geram Brimob Bersenjata di DPR, Ini Klarifikasi Fahri Hamzah
(maf)