Menyoal Kompensasi Kecelakaan Penerbangan

Jum'at, 15 Januari 2021 - 05:10 WIB
loading...
Menyoal Kompensasi Kecelakaan Penerbangan
Rio Christiawan
A A A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya

INDONESIA kembali berduka atas kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta– Pontianak yang terjadi pada Sabtu (9/1/2021). Selanjutnya pemerintah bersama Sriwijaya Air membuka posko untuk keluarga penumpang di Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta. Salah satu problem klasik di setiap kejadian kecelakaan pesawat adalah polemik mengenai pembayaran klaim ganti rugi dan asuransi penumpang yang menjadi korban kecelakaan penerbangan.

Selama ini ganti rugi dan klaim asuransi dari penumpang selalu harus menunggu proses panjang dari penyelidikan terhadap kecelakaan penerbangan tersebut. Hal ini dilakukan guna membuktikan, apakah pada kecelakaan penerbangan tersebut terdapat unsur kesalahan dari maskapai penerbangan maupun awak yang menerbangkan pesawat. Selain penyelidikan oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) juga dilakukan penyelidikan terhadap kotak hitam pesawat.

Asser-Rutten (1964), menjelaskan, dalam perspektif hukum asuransi (pertanggungan) sebab kecelakaan akan menentukan pihak yang bertanggung jawab atas kompensasi yang timbul sehubungan dengan kecelakaan tersebut. Artinya, jika kecelakaan disebabkan mesin yang diproduksi pihak lain (seperti dalam kasus Boeing 787 Max) pertanggungjawabannya berbeda apabila kecelakaan penerbangan tersebut disebabkan oleh faktor lain, seperti cuaca atau kesalahan operasional oleh pihak maskapai.

Seluruh proses tersebut, dalam kaitannya dengan pemberian kompensasi, masih mengacu pada model pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Dalam model ini, mengacu pada Pasal 1365 KUH Perdata, maka harus ditentukan pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum dan perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya karena menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mengacu pada konstruksi hukum tersebut, maka pemenuhan hak konsumen penumpang yang menjadi korban senantiasa cenderung dikesampingkan dan melalui proses yang panjang.

Hak Korban
Model pertanggungjawaban seperti itu sesungguhnya sudah tidak relevan lagi. Mengacu pada aturan perundangan penerbangan dan perlindungan konsumen yang merupakan lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari KUHP (perdata), maka seharusnya pertanggungjawaban yang melekat pada maskapai penerbangan adalah strict liability atau pertanggungjawaban mutlak. Ketentuan tanggung jawab mutlak ini terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2009 yang menyatakan tujuan terselenggaranya penerbangan adalah “untuk mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur, nyaman…”

Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 141 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2009 disebutkan bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Secara teknis, kompensasi dan ganti rugi penumpang korban kecelakaan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.

Permenhub ini, selain merupakan turunan dari UU Nomor 1 Tahun 2009, juga merupakan bentuk turunan dari Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, “Hak Konsumen adalah: hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa”.

Martono (2000) menjelaskan bahwa hak konsumen ini harus dipenuhi oleh perusahaan pengangkutan udara. Alasan utama calon penumpang melakukan perjanjian pengangkutan udara karena adanya jaminan keamanan dan keselamatan. Hal tersebut telah berlaku umum dalam hukum pengangkutan bahwa tanggung jawab atau kewajiban pengangkut adalah memberikan atau menjaga keamanan dan keselamatan selama dalam perjalanan dan juga merupakan objek yang diperjanjikan dalam hubungan kontraktual penumpang sebagai konsumen dan maskapai sebagai penyedia jasa penerbangan komersial.

Dalam hal ini terdapat regulasi yang inkonsisten antara UU Nomor 1 Tahun 2009 dan UU Nomor 8 Tahun 1999 dengan Permenhub Nomor 77 Tahun 2011. Sebab dalam Pasal 19 Permenhub tersebut disebutkan bahwa maskapai penerbangan dapat terlepas dari kewajibannya membayarkan ganti rugi apabila dapat dibuktikan kecelakaan maupun kerugian yang diderita konsumen tersebut bukan kesalahan daripada maskapai penerbangan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2458 seconds (0.1#10.140)