Waspada, Kriminalitas Intai Pesepeda

Senin, 19 Oktober 2020 - 08:07 WIB
loading...
Waspada, Kriminalitas Intai Pesepeda
Sejumlah anak muda bersepeda di sudut-sudut Kota Surabaya, Jawa Timur. Sejak pandemi Covid-19 gairah bersepeda di banyak kalangan masyarakat kian meningkat. Foto/Koran SINDO/Aan Haryono
A A A
Drs Dadang Sudiadi, MSi
Pengajar di Departemen Kriminologi FISIP UI

Di masa pandemi corona (Covid-19) ini kegiatan bersepeda meningkat pesat. Baik untuk berolahraga, bersenang-senang maupun untuk bekerja. Setiap Sabtu dan Minggu pagi banyak orang berolahraga bersepeda walaupun muncul beberapa postingan di media sosial tentang dampak negatif bersepeda, salah satunya bisa menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi.



Walaupun sebelumnya bike to work sudah menaikkan pamor sepeda, kondisinya belum se-prestise seperti saat ini. Sebelumnya dianggap kurang bergengsi, tidak seperti bersepeda saat ini. Apalagi bersepeda dengan merek terkenal kini selain dianggap kebutuhan, juga prestise. Begitu juga ketika muncul demam sepeda ontel, relatif sama fenomenanya, yaitu prestise karena harga sepedanya, Gazelle misalnya, yang sangat fantastis. (Baca: Mereka Mati Mengenaskan Setelah Menghina Nabi Muhammad SAW)

Namun terlepas bersepeda sebagai sebuah kebutuhan, hobi ataupun prestise, semua faktor tersebut tetap tidak semasif seperti saat pandemi ini. Kemasifan bersepeda saat pandemi juga berawal ketika pemberlakuan PSBB dilonggarkan, diiringi dengan anjuran berolahraga untuk menambah daya imunitas tubuh melalui olahraga. Selain itu banyak juga yang menggunakan waktu luangnya untuk bersepeda di masa pandemi, baik untuk sekadar menjaga stamina atau untuk bersenang-senang dan bekerja.

Nilai dan Penghargaan

Patut diakui ada di antara sepeda-sepeda yang dibeli bukan karena manfaat dan fungsinya saja, tetapi lebih disebabkan prestise. Ketika prestise menjadi salah satu pertimbangan dalam memiliki sepeda, harga menjadi salah satu yang menyumbang meningkatnya nilai sebuah sepeda, yang sekaligus pula meningkatkan status sosial pemiliknya.

Gengsi sepeda juga bermula saat pesawat Garuda yang baru dibeli mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dengan membawa beberapa barang berharga, termasuk sepeda merek tertentu yang harganya fantastis. Setelah itu ramai dibicarakan berbagai merek sepeda dengan harga yang menakjubkan hingga ada yang seharga mobil mewah. (Baca juga: Kemendikbud Akan Kembangkan SMK untuk Bangun Desa)

Kondisi seperti itu dimanfaatkan dengan baik oleh pedagang dan pabrikan sepeda untuk menggenjot penjualannya. Lalu muncul salah satu merek sepeda dari Bandung yang disebut-sebut sebagai salah satu merek yang dianggap memiliki kualitas setara dengan merek dari Inggris yang terkenal itu. Kondisi seperti ini menyebabkan produsen dan pedagang sepeda di Indonesia banyak mendapatkan keuntungan tak terduga.

Di lain pihak, nilai sepeda yang semakin tinggi ini diikuti dengan munculnya risiko bagi pesepeda yang dijadikan sebagai objek/sasaran menggiurkan bagi pelaku kejahatan. Data dan fakta menunjukkan bahwa saat ini marak terjadi pencurian sepeda, pembegalan sepeda, dan kejahatan yang objeknya adalah sepeda. Ada yang mencuri dari rumah, ada yang mengambil paksa, ada yang merampok/membegal, dan lain-lain.

Secara teoretis, sepeda saat ini adalah barang mewah yang rentan dijadikan sasaran kejahatan. Namun kerentanan ini tidak hanya karena harganya yang tinggi, tetapi juga karena dengan harga yang tinggi tersebut menyebabkan orang yang menggunakannya mendapatkan pengakuan secara sosial. Kondisi seperti ini menambah kerentanan pesepeda sebagai sasaran kejahatan.

Bila dibandingkan dengan sepeda motor, sepeda dan pengendara sepeda jauh lebih rentan, terutama untuk pembegalan. Hal ini karena sepeda jauh lebih ringan dan lebih ringkas untuk dibawa dengan hasil penjualan yang relatif lebih tinggi atau lebih mudah, terutama sepeda lipat. Sebab sepeda tidak memilik tanda kepemilikan dan identitas seperti sepeda motor dan untuk merek tertentu mudah dijual dengan harga tinggi. (Baca juga: Cukupi Nutrisi si Kecil di Masa Pandemi)

Tak hanya itu, pengendara sepeda yang dalam kondisi fisik kelelahan karena harus menggenjot sepeda membuat pesepeda lebih mudah dilumpuhkan daripada pengendara motor. Begitu juga dengan kecepatan sepeda yang juga rentan jadi sasaran pembegalan. Walaupun dalam kondisi tertentu sepeda bisa dikendarai dengan kecepatan tinggi, tetap saja kecepatannya sangat tergantung dari kemampuan fisik pengendaranya. Pastinya sepeda dan pengemudi sepeda jauh lebih rentan menjadi sasaran kejahatan daripada sepeda motor dan pengendaranya.

Elemen Kejahatan dan Segitiga Kejahatan

Kohen dan Felson (Crawford, 1998) serta NCPI (1986) yang kemudian dirangkum Dadang Sudiadi (2015) menyatakan bahwa kejahatan terjadi karena empat hal ini: keberadaan potential offender, pelaku yang memiliki skill and tool, target mengiurkan serta kesempatan atau peluang yang tersedia untuk dilakukannya kejahatan.

Di satu pihak ada pelaku potensial yang karena beberapa hal yang bersangkutan harus melakukan kejahatan, salah satunya karena kekurangan secara ekonomi, karena menganggur misalnya, tanpa menafikan banyak juga pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan karena tamak dan rakus. (Baca juga: Waspadai Politik Uang jelang Pilkada Serentak)

Namun latar belakang pelaku saja sebetulnya tidak cukup karena seorang pelaku harus memiliki alat dan keterampilan ketika melakukan kejahatannya. Secara umum hal tersebut menunjukkan bahwa menjadi pelaku kejahatan itu harus cerdas, terutama berkenaan dengan kemampuannya dalam menyiasati risiko dan kemampuannya untuk menganalisis risiko dengan rasionalitasnya sebagai pelaku kejahatan.

Menghitung risiko yang akan diterima dan membandingkannya dengan keuntungan yang akan didapat akan memengaruhi keputusannya dalam melakukan kejahatan dan menjadikan calon korban atau calon sasarannya sebagai objek kejahatannya. Orang yang dianggap memiliki kelemahan dan atau barang bernilai tinggi dianggap sebagai calon korban yang menggiurkan untuk dijadikan sasaran kejahatan.

Terakhir, peluang yang tersedia juga turut menentukan, bahkan ada yang mengatakan bahwa peluang/kesempatan yang tersedia akan sangat menentukan apakah calon pelaku melakukan kejahatan atau tidak. Beberapa kajian menunjukkan, karena kebanyakan kejahatan itu sifatnya oportunistis, peluang/kesempatan ini dianggap menjadi kunci utama untuk terjadinya kejahatan.

Penjelasan seperti itu membantah pendapat yang menyatakan bahwa kejahatan itu bisa terjadi di mana saja dan kapan saja serta terhadap siapa saja. Karena kejahatan itu terjadi di tempat tertentu, yaitu yang menyediakan kesempatan dilakukannya kejahatan; terhadap objek/sasaran tertentu, yaitu yang lemah, atau berisiko rendah tapi bernilai tinggi seperti harga tinggi, banyak dibutuhkan, mudah dijual, mudah dipindahkan/diambil; serta dilakukan oleh pelaku tertentu dengan karakteristik tertentu. (Baca juga: Objek Wisata Kota Tua Kembali Dibuka, Pengunjung Masih Sepi)

Nah, supaya tidak menjadi korban kejahatan, memahami berbagai hal di atas akan sangat bermanfaat dalam melakukan self-defence atau melakukan pencegahan kejahatan secara mandiri. Begitu juga dengan pengemudi sepeda, pemilik sepeda atau bahkan penjual sepeda, mereka harus memiliki pemahaman yang baik tentang hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan. Dengan pemahaman itu, kemungkinan menjadi sasaran kejahatan akan semakin kecil.

Bila mengacu pada Crime Triangle Theory, kejahatan terjadi karena interaksi antara tiga hal, yaitu pelaku, tempat kejadian perkara (scene,) dan korban. Bila tiga hal ini berada pada saat yang sama, kemungkinan akan menyebabkan terjadinya kejahatan. Namun sebetulnya juga tidak sesederhana itu. Karena bila masing-masing dari ketiganya mendapat kontrol, kejahatan mungkin tidak akan terjadi.

Ketika pelaku atau calon pelaku mendapatkan pengendalian, kemungkinan besar pelaku tidak akan menjalankan kejahatannya. Lain dari itu, bila tempat kejadian perkara mendapatkan pengawasan dan perhatian dari pemilik atau pengelola melalui perhatiannya terhadap peluang yang disediakan di tempat tersebut, kemungkinan kejahatan juga tidak akan terjadi karena pelaku kejahatan kebanyakan rasional dengan memperhatikan risiko yang akan diterima bila kejahatan dilakukan di tempat tersebut. (Lihat videonya: Napi WNA Kabur dari Lapas Tangerang DItemukan Tewas di Bogor)

Sementara itu calon korban kejahatan bisa menjadi korban kejahatan bila korban terlihat lemah secara fisik dan karena itu dianggap berisiko rendah, misalnya karena sendirian. Dan ingat, kejahatan itu tidak terjadi di mana saja, kapan saja, terhadap siapa, dan objek apa saja serta dilakukan oleh siapa saja. Tapi kejahatan terjadi di waktu tertentu, di tempat tertentu, terhadap sasaran tertentu yang menggiurkan dan dilakukan oleh pelaku tertentu.

Maka dari itu tingkatkanlah persepsi risiko tertentu yang mungkin dipertimbangkan oleh calon pelaku kejahatan, termasuk yang sasaran utamanya sepeda. Tunjukkanlah bahwa kita, dan sepeda kita, secara perseptual atau aktual tampak sebagai memiliki risiko tinggi bila akan dijadikan sasaran kejahatan.

Teruslah bersepeda, semoga tetap aman, nyaman, dan selalu sehat di masa pandemi korona (Covid-19) ini hingga setelah terlepas dari pandemi.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1408 seconds (0.1#10.140)