Tingkatkan Pengawasan, Cegah Aksi Kekerasan di Sekolah

Senin, 16 Maret 2020 - 09:04 WIB
Tingkatkan Pengawasan, Cegah Aksi Kekerasan di Sekolah
Tingkatkan Pengawasan, Cegah Aksi Kekerasan di Sekolah
A A A
Wiendy Hapsari
(Head of Research & Development SINDO Media)


Publik kembali dibuat geger dengan kasus kejahatan seksual yang menimpa siswi sekolah dasar (SD) berusia delapan tahun di Jambi. Bocah malang tersebut diduga dilecehkan oleh empat kakak kelasnya. Akibat dari aksi tersebut, korban tak hanya mengalami penderitaan secara fisik, tapi juga psikologis.

Korban dilanda rasa trauma yang luar biasa hingga membuatnya enggan kembali ke sekolah. Pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan yang terjadi akhir Februari 2020 lalu ini, tak pelak membuat banyak orang terkesiap. Bukan saja karena pelaku pemerkosaan adalah kakak kelas korban yang notabene juga masih berada di bawah umur, melainkan juga karena faktor lokasi kejadian.

Aksi memprihatinkan tersebut diduga terjadi di dalam kelas dan pada saat di mana seharusnya kegiatan belajar mengajar sekolah sedang dilakukan. Pada hakikatnya, sekolah merupakan tempat bagi anak-anak untuk menimba ilmu, mendapatkan pengetahuan serta bimbingan dari para guru. Sekolah juga merupakan tempat pembinaan nilai moralitas bagi anak-anak didik. Lengkapnya, sekolah merupakan institusi yang tidak sekadar menjalankan fungsi untuk mengasah intelektualisme anak, tetapi juga membantu mengembangkan karakter, perilaku, serta budi pekerti anak. (Baca: Tak Pakai Ikat Pinggang, Siswa SMAN 12 Bekasi Dipukuli Guru)

Merujuk pada fungsi yang diemban sekolah tersebut, munculnya beberapa aksi kejahatan di dalam lingkungan sekolah tentunya menimbulkan keprihatinan bagi semua pihak. Terlebih kasus kejahatan seksual yang menimpa siswa sekolah seperti diceritakan di atas, bukan yang pertama kali terjadi di Tanah Air.

Ada banyak kasus kejahatan seksual terjadi di lingkungan sekolah yang bahkan melibatkan tenaga pendidik sebagai pelakunya. Seperti dilansir dari situs sindonews.com, pada awal 2018 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima banyak pengaduan terkait kasus kekerasan terhadap anak didik. Kekerasan tersebut dilakukan oknum guru, petugas sekolah, dan termasuk pula anak didik. Dari hasil pengaduan yang diterima KPAI, mayoritas kasus didominasi kekerasan fisik. Sementara pengaduan lain berkisar pada kekerasan psikis 9% dan seksual 2%.

Pengawasan Sekolah Disiagakan

Saat berita mengenai kasus kekerasan seksual di Jambi mencuat, publik mempertanyakan mengapa peristiwa memilukan itu bisa terjadi di sekolah dan ironisnya berlangsung saat jam pelajaran.

Pada dasarnya, kasus kejahatan bisa terjadi bukan semata-mata karena adanya pelaku yang memiliki motivasi untuk melakukan aksi tersebut. Namun, situasi dan kondisi pun menjadi faktor yang ikut melanggengkan praktik kejahatan. Seperti yang dinyatakan dalam teori aktivitas rutin, bahwa ada tiga elemen yang dapat mempengaruhi munculnya kejahatan. Pertama adalah pelaku. Kedua adanya sasaran yang cocok, dan yang ketiga ketidakhadiran sistem penjagaan yang andal.

Terkait poin ketiga, komponen tersebut merupakan bagian dari kontrol eksternal. Menurut Reiss (1951), kontrol eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk mendukung tegaknya pelaksanaan norma-norma sehingga bisa berjalan efektif. Walter Reckless (1961) dalam containment theory juga menjelaskan hal tersebut dengan menggunakan istilah “pertahanan eksternal” atau didefinisikan sebagai sistem pertahanan dari luar individu yang berfungsi memengaruhi sikap dan perilakunya.

Sekolah merupakan salah satu agen kontrol, baik internal maupun eksternal. Peran kontrol internal dijalankan pihak sekolah melalui sosialisasi nilai-nilai positif terhadap siswa sehingga mereka memiliki tameng agar tidak terjerat dalam perilaku yang melanggar norma dan aturan. Meski demikian, harus diakui bahwa pembentukan kontrol internal saja tidaklah cukup. Sekolah sebagai tempat di mana anak beraktivitas sehari-hari juga perlu meningkatkan kontrol eksternal sebagai bentuk pertahanan untuk mengontrol sikap dan perilaku para siswanya.

Jika dikaitkan dengan konteks situasi, pengawasan yang minim bisa memunculkan situasi yang membuat kontrol melemah dan kemudian membuka peluang aksi kejahatan. Salah satu contohnya ketika ada bangunan sekolah yang didesain secara tertutup, gelap, serta jauh dari keramaian. Jika kondisi tersebut tidak dilengkapi dengan sistem penjagaan atau pengawasan yang mumpuni, hal itu bisa berpeluang menimbulkan kejahatan.

Kehadiran CCTV bisa menjadi solusi untuk mengantisipasi terjadinya risiko kejahatan di tempat-tempat semacam itu. Dan untuk meningkatkan fungsi kontrol eksternal, CCTV tak hanya ditempatkan pada bagian sekolah yang tidak terjangkau dari area publik, tetapi juga area lain yang justru banyak diakses publik seperti gerbang masuk, tempat parkir, perpustakaan, lapangan, ruang laboratorium, ruang guru, bahkan di dalam kelas sekalipun. (Baca juga: Siswi SD Dicabuli Kakak Kelas)

Tak hanya strategi pengamanan lewat CCTV, untuk menciptakan situasi penjagaan yang andal metode preventif juga bisa dilakukan dengan mengubah kondisi fisik bangunan sekolah yang memang dianggap bisa berpeluang menimbulkan aksi kejahatan. Beberapa contoh misalnya dengan menambah kaca-kaca di kelas sehingga kegiatan siswa bisa terpantau dari luar atau membongkar bangunan yang bisa menjadi penghalang akses publik untuk melihat aktivitas di dalam ruangan.

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh kriminolog C Ray Jeffery. Menurut dia, pencegahan kejahatan bisa dilakukan dengan mengubah desain lingkungan demi menciptakan situasi yang lebih kondusif dan aman. Dengan model settingan tersebut, proses kontrol, deteksi, atau pengawasan terhadap aktivitas para siswa pun bisa lebih mudah dilakukan.

Selain aspek fisik bangunan, kualitas kontrol eksternal juga dipengaruhi dari faktor mutu tenaga pendidik atau staf sekolah lainnya untuk berperan sebagai patroli sekolah. Kualitas ini tak semata-mata ditentukan dari frekuensi patroli yang dijalankan, tapi juga kemampuan tenaga patroli dalam menangkap suatu fenomena tertentu. Faktanya, banyak pelanggaran nilai dan norma di sekolah terjadi karena ketidakpekaan guru serta staf sekolah dalam merespons hal-hal mencurigakan pada anak didiknya. Semisal ada anak yang suka menyendiri, antisosial, sering berada di tempat sepi, atau aktivitas gang yang mencurigakan. Kondisi ini jika tidak ditindaklanjuti secara cepat dan tepat, bisa memancing terjadinya aksi pelanggaran di kalangan siswa.

Pada akhirnya, semua program sistem pengawasan tersebut menjadi hal yang urgen untuk diberlakukan. Terlebih dengan semakin maraknya kasus-kasus kekerasan di sekolah. Sebagaimana mengacu pada Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, maka dalam pelaksanaannya pihak sekolah perlu memahami dan menjalankan semua SOP (standar operasional prosedur) tersebut secara baik dan konsisten. Dan tanggung jawab ini tak hanya berlaku bagi tenaga pengajar, tapi juga semua pihak yang menjadi bagian dari sekolah tersebut.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4322 seconds (0.1#10.140)