Tangsel, Kota Seribu Pak Ogah

Sabtu, 05 September 2020 - 08:03 WIB
loading...
Tangsel, Kota Seribu Pak Ogah
Agak ironi sebagian besar para pak ogah ini adalah mereka yang berusia produktif. Foto: dok/SINDOnews/Muchtamir Zaide
A A A
TANGERANG SELATAN - Jika Anda bepergian ke Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dengan menggunakan kendaraan pribadi, siapkan banyak uang receh. Di penjuru kota, baik di perempatan, pertigaan, hingga persimpangan jalan akan banyak “Pak Ogah ”. Mereka berlagak mengatur lalu lintas tapi sesungguhnya hanya menambah ruwet jalanan.

Agak ironi sebagian besar para pak ogah ini adalah mereka yang berusia produktif. Mereka yang seharusnya giat bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Tak jarang dari mereka adalah para remaja yang seharusnya masih duduk di berbagai jenjang pendidikan. Pada akhir pekan adalah masa panen para pak ogah. Dengan jumlah kendaraan pribadi yang meningkat titik-titik kemacetan rentan terjadi di pertigaan atau perempatan jalan. (Baca: Usai Diperika oleh Dewan Pengawas KPK, Firli Bahuri Memilih Bungkam)

Di pertigaan Bukit Serua, misalnya, kemacetan akhir pekan menjadi ritual yang terus berulang. Di titik jalan ini memang ada pertigaan ganda yang berjarak hanya sekitar 200 meter. Pertigaan pertama mempertemukan arus dari Jalan Aria Putra arah Ciputat dan arah Jombang dengan arus dari arah Pamulang dan Serpong. Pertigaan kedua mempertemukan arus dari Jombang-Ciputat di Jalan Bukit Serua dengan arus dari Pamulang dan Serpong. Kondisi jalan yang padat dan relatif sempit ini kemudian dimanfaatkan para pak ogah untuk mengambil keuntungan. Dengan tidak adanya kemampuan mengatur laju lalu lintas, kerap kali keberadaan pak ogah ini malah menambah keruwetan jalanan.

Tak hanya membuat ruwet jalanan, terkadang tindakan Pak Ogah juga mengarah pada tindak kriminal. Seperti tindakan oknum Pak Ogah di jalan putaran depan Mc Donalds, Sektor IX, Bintaro Jaya. Tiga orang Pak Ogah meremas payudara korban saat tengah memutar jalan. Kejadian ini tidak hanya sekali, namun kerap berulang dengan korban berbeda. Akhirnya kasus ini kemudian dilaporkan ke pihak berwajib.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Jakarta Yayat Supriatna mengatakan, fenomena pak ogah pertama kali hadir di persimpangan Jakarta pada tahun 1980-an. "Pak ogah itu kan diambil dari cerita Si Unyil. Ada tokoh Pak Ogah, kalau disuruh apa-apa selalu bilang, ‘Cepek dulu dong’. Jadi, apa-apa harus pakai duit. Fenomena ini muncul pertama kali di Jakarta," kata Yayat, kepada KORAN SINDO, beberapa waktu lalu.

Bagi kepolisian dan Dinas Perhubungan, pak ogah sangat membantu. Mereka mengurai kemacetan di pertigaan, mengatur lalu lintas di perempatan jalan, di belokan, hingga di kawasan pertokoan yang tanpa pengawasan. "Setiap ada jalan yang macet dan tidak ada petugas, dan di kawasan pinggiran yang makin padat lalu lintasnya, di situlah muncul fenomena pak ogah atau pengatur lalu lintas liar. Lalu jumlahnya semakin banyak karena bisa dapat uang dengan cepat," sebutnya. (Baca juga: Memanas, Rusia Bakal gelar Latihan di Laut Mediterania)

Terlebih, dukungan dari masyarakat terhadap kehadiran pak ogah juga cukup tinggi. Demi kelancaran di jalan, mengeluarkan uang receh Rp2.000 hingga Rp10.000 tak jadi soal. "Ini juga karena faktor kurangnya petugas di lapangan, dan tidak adanya rambu lalu lintas. Sangat mudah mendapatkan uang, dengan cara yang gampang. Masyarakat kelas menengah juga menganggap uang receh tidak ada artinya. Ini dukungan juga," sambungnya.

Lambat laun pak ogah pun menjadi sebuah profesi. Banyak pendatang dan warga sekitar yang kesulitan ekonomi dan tidak memiliki pekerjaan akan beralih menjadi pak ogah. Penghasilan dari pak ogah pun menjanjikan. "Tapi bahaya juga itu karena mengatur orang yang memberi uang, tidak pengaruh dengan kendaraan lain. Jadi ada uang dilayani, tidak ada uang, ya tidak akan dilayani," paparnya.

Fenomena pak ogah juga memperlihatkan bobroknya sistem kapitalisme yang ada saat ini. Ketika uang mengatur semuanya. Tanpa uang, maka tidak akan ada pelayanan. "Jadi, sebenarnya ini fenomena sosial karena angka pengangguran dan kesempatan kerja yang terbatas. Sama dengan pengamen. Jadi istilah pak ogah semacam pemberian imbalan bagi orang yang membantu. Poinnya itu. Sudah transaksional semua," tuturnya.

Lambat laun situasi pun berubah. Pak ogah mulai diorganisasi. Terjadi rebutan lahan, bentrokan fisik, dan premanisme. Tak hanya itu, pak ogah juga jadi lalu lintas peredaran narkoba yang sangat efektif dari para bandar. "Ya, sekarang mulai ada persaingan lahan di antara mereka. Pasti ada yang kuasa, ada penguasa, pemilik ruang. Bisa oleh oknum, organisasi, perseorangan, dan kelompok. Mereka memanfaatkan kemalasan orang kita yang gak mau sabar menunggu," katanya. (Baca juga: Jeli, Cara Selebriti Manfaatkan TikTok untuk Publikasi)

Sementara itu, Kasat Lantas Polres Tangsel AKP Bayu Marfiando membenarkan, pak ogah sangat membantu kepolisian di dalam mengatur lalu lintas, terutama di jalan-jalan yang tidak ada dan jarang dipantau petugas. "Sejauh ini sangat membantu Mas, belum kita datakan ulang keseluruhannya," katanya.

Harus Tahan Malu

Nasrul, salah seorang pak ogah , mengatakan, sudah 15 tahun menjadi pak ogah di perempatan Mandor Miroh, Kampung Pondok Jengkol, Kelurahan Pondok Aren, Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangsel. Selama ini penghasilannya jadi pak ogah dirasa cukup.

"Saya 15 tahun menjadi pak ogah. Karena pendidikan gak selesai, ijazah gak ada, kerja juga butuh skill, keahlian cuma di sini, dan tidak jauh dari rumah. Juga tidak terikat waktu, bisa datang kapan saja. Tapi kalau ada yang lebih enak mah, kita juga mau kalau ada kerjaan yang lebih enak," ucap Nasrul.

Di tempatnya markir, di tengah jalan perempatan Mandor Miroh, tidak ada ormas sehingga warga saling mengisi dan bergantian mengatur lalu lintas. Pengaturan jalanan pun dilakukan sesuai jadwal seorang-seorang. "Dulu normalnya per orang sejam. Karena orangnya banyak di sini, sejam kalau maksimal bisa dapat Rp200.000. Tetapi gak rata juga pembagian waktunya, sebetulnya secukupnya si tukang parkirnya saja. Kalau sudah merasa cukup, ya sudah," paparnya. (Baca juga: 5 Camilan Malam yang Enak, juga Menyehatkan)

Berdiri di tengah jalan yang padat dan banyak kendaraan ngebut bukan perkara mudah. Dibutuhkan keahlian. Karena jika hanya diam di tengah jalan, lalu lintas akan semakin ruwet. Apalagi jika hanya mengambil uang pemberian. Karena selain uang, pak ogah juga harus menjamin lalu lintas lancar.

"Normalnya sih 1,5 jam sudah pegal kaki. Pegal sama muka juga malu, hahaha. Butuh keahlian markir begini doang juga, kalau berdiri doang mah gak lancar jalanan. Menurut gua semua orang bisa markirin tapi ketegasan mesti di tengah jalan. Orang mau ngasih kek, enggak kek, kalau sudah stop, ya berhenti," katanya.

Pekerjaan menjadi juru parkir atau pak ogah bukan idaman. Dia terpaksa menjadi pak ogah karena kebutuhan ekonomi. Nasrul harus menghidupi keluarganya di rumah. Namun, menjadi pak ogah juga bukan tanpa ada tantangan. Yang pertama, harus tahan malu.

"Tantangan pertama kuat malu, apalagi kalau dibawa polisi. Padahal markir kita di sini, bukan kriminal. Kalau bukan perkara perut, juga kita gak mau. Tapi pas polisi angkut kita, kita sih biasa, tapi keluarga malu," paparnya.

Tidak hanya nahan malu, menjadi pak ogah juga harus kuat mental. Harus sabar saat diomelin ibu-ibu yang jalan naik motor “seins ke kiri, beloknya ke kanan”. Bahkan, kaki dilindas oleh ban motor yang sedang terburu-buru.

"Kalau dulu orang markir pada mabuk, jadi diri di tengah buat gaya-gayaan doang. Buat yang masih begitu, ya masing-masing saja. Tetapi kalau di sini mah mabok sambil markir diomelin sama senior. Karena bahaya, bisa jadi korban tabrak lari," sambung Nasrul. (Baca juga: Pengusaha Wisata Bandung Tolak Rencana Bandara Husein Jadi Domestik)

Tidak jarang Narsul dan teman-temannya juga terlibat keributan dengan anggota ormas yang sering berlalu lalang. Risiko di jalan sangat besar. Sebagai pekerja informal, pak ogah memang sering kali dianaktirikan.

"Saya berharap, pak ogah juga dapat subsidi dari pemerintah. Apalagi di masa Covid-19 kayak gini. Pak ogah juga banyak yang kena dampaknya. Tetapi, kerjaan kita juga jangan direcokin dong. Jangan kita dianggap membantu tapi digaruk juga," jelas Nasrul.

Menurutnya, pak ogah merupakan jalan hidup di tengah himpitan ekonomi. Selama belum ada pekerjaan yang layak, Nasrul dan ratusan pak ogah lainnya akan tetap berada di jalan.

"Yang buat kita eksis, pertama perut. Terus kalau gak ada orang di tengah jalan, pasti bakal chaos, kecelakaan. Tambah lagi rambu lalu lintas juga gak ada. Bisa sih gak ada pak ogah. Taro ada lampu merah. Musuh kita kan cuma satu, lampu merah," sambungnya.

Hal senada diungkapkan Jabrid. Dia memilih bekerja sebagai pak ogah sembari ngojek. Menurutnya, ini pekerjaan yang cocok baginya karena penghasilannya bisa harian.

"Boro-boro buat mabuk, buat sekolah saja sudah puyeng. Itu buat keluarga. Kalau gaji kerja bulanan cuma Rp1,5 juta, mana cukup? Bocah sekarang, kalau gak dikasih ongkos, gak mau berangkat sekolah. Yang penting anak-anak sekolah, jangan kayak bapaknya kalau sudah gede. Itu saja saya mah," jelasnya.

Dalam sehari Jabrid bisa mendapat Rp100.000 jika beruntung. Kadang, hanya Rp50.000. Uang itu dia gunakan untuk makan keluarga dan ongkos sekolah anak-anaknya. (Lihat videonya: Pekerja Diduga Lalai Dua Bangunan Ruko Roboh)

"Sehari kalau lagi enak Rp100.000, kadang Rp60.000, bisa Rp50.000. Buat makan keluarga dan ongkos bocah sekolah habis. Kalau harapan buat pemerintah, kita susah juga ya, soalnya ini kan parkiran liar. Tapi gak markirin, macet kampung kita, rawan kecelakaan, gak dapet duit juga," katanya. (Hasan Kurniawan)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3019 seconds (0.1#10.140)