Pengamat UI Nilai Kasus Investasi Bodong MeMiles Kejahatan Ekonomi

Jum'at, 17 Januari 2020 - 05:51 WIB
Pengamat UI Nilai Kasus Investasi Bodong MeMiles Kejahatan Ekonomi
Pengamat UI Nilai Kasus Investasi Bodong MeMiles Kejahatan Ekonomi
A A A
DEPOK - Pengamat sosial Vokasi Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati, menilai kasus investasi bodong Memiles merupakan kejahatan ekonomi. Menurutnya, dengan apa yang terjadi dalam dua minggu terakhir sejalan dengan temuan bahwa kejahatan finansial telah menjadi wabah penyakit sosial yang semakin kuat dan luas jangkauannya.

"Sebut saja tiga kasus teranyar, yaitu kerajaan sejagat, jiwasraya, dan PT Kam Kam (MeMiles). Ketiganya memiliki benang merah yang sama, yaitu kejahatan ekonomi," katanya.

Dia menjelaskan, Kerajaan Sejagat dan Memiles memiliki motif yang sama, yaitu mengambil dana masyarakat. Keduanya menggunakan teknik persuasi yang sama. "Kasus MeMiles mengingatkan kita pada krisis ekonomi dunia pada 2008 silam, di mana Madof telah menipu banyak konsumennya hingga merusak perekonomian dunia," ungkapnya.

Bahkan saat itu, klien Madof juga banyak yang merupakan public figure, sebut saja Stephen Spielberg, Larry King, dan juga konsumen korporasi seperti bank-bank besar dunia. Walaupun saat ini adalah era digital, namun tetap saja publik banyak yang menjadi korban praktek kejahatan ekonomi model tersebut.

"Penelitian terkini di Barat menunjukkan bahwa penipuan berbasis online memiliki tingkat keberhasilan lebih tinggi dibandingkan dengan mekanisme tradisional seperti telp dan tatap muka," ucapnya.

Devie memberikan tips agar warga tidak lagi menjadi korban kasus penipuan serupa. Pertama, dengan menggali informasi yang dalam soal tawaran tersebut.

"Kita harus mempertanyakan. Biasakan untuk kritis dengan mempertanyakan: apa iya?; masak sih dan lainnya. Ini akan mencegah kita larut dalam emosi kesenangan bahwa ada investasi yang begitu mudah atau tawaran yang begitu menggiurkan," katanya.

Kedua, meningkatkan rasa beryukur. Dengan demikian maka akan berkurang rasa membandingkan diri dengan orang lain melalui kebiasaan berselancar dengan intensif di media sosial.

"Semakin sering kita melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih baik dari kita, akan membuat kita terobsesi memiliki kehidupan yang sama sehingga ketika ada tawaran yang sepertinya menjadi jalan pintas, maka kita dengan yakinnya mengikuti atau mengambil kesempatan tersebut," pungkasnya.
(zil)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4227 seconds (0.1#10.140)