Naturalisasi dan Normalisasi Ciliwung Bukan Solusi Atasi Banjir Jakarta
A
A
A
BOGOR - Peneliti yang menjabat sebagai Dewan Akademik Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB University Ernan Rustiadi menilai upaya pemerintah pusat, DKI Jakarta dan Pemkot Bogor dalam menanggulangi bencana alam dengan cara membangun dua bendungan di kawasan hulu dan naturalisasi/normalisasi Sungai Ciliwung bukan solusi.
"Saya menduga efek dari Bendungan Ciawi dan Sukamahi maksimal hanya sampai lima tahun atau jangka menengah saja. Sebab kalau di hulunya seperti ini bahkan makin parah, umur bendungannya akan sangat pendek," ujar Ernan di Bogor, Kamis (16/01).
Jadi, lanjut dia, di luar persoalan pembangunan dua bendungan yang bertujuan untuk mengurangi banjir DKI Jakarta dari kawasan hulu Sungai Ciliwung, tata ruang wilayah Kota/Kabupaten Bogor, khususnya kawasan Puncak. "Kalau kawasan Puncaknya masih seperti saat ini, erosi tinggi, longsornya tinggi, sedimentasi sungai tinggi, maka keberadaan bendungan hanya sebentar manfaatnya dalam menanggulangi banjir (jangka menengah)," katanya.
Dia menambahkan, normalisasi dan naturalisasi Sungai Ciliwung yang memang sebuah keharusan sekalipun bencana banjir tak terjadi. Sebab, menurut Ernan, ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta sendiri hanya tinggal 9%.
"Secara alamiah, Jakarta ini kan memang dataran banjir, yang terbentuk dari tanah alupial (tanah yang terbentuk dari luapan sungai), sehingga tanah Jakarta itu basah, banyak rawa dan situ. Tapi begitu dikeringkan, air yang selama ini ditampung di rawa dan situ yang sudah hilang itu kemana? Nah itu akhirnya untuk mengkompensasinya dibuatlah kanal," ungkapnya.
Sehingga, memang suatu keharusan dan harus secepatnya diselesaikan, kalau tidak begitu, kata dia, perubahan alam yang selama ini terjadi tak bisa diimbangi. "Dan bahkan Banjir Kanal Timur, sangat tidak cukup, saya kira infrastruktur penanggulangan bencana di Jakarta selama ini sangat-sangat tidak cukup. Naturalisasi dan normalisasi yang sedang dilakukan sangat terlalu sedikit dampaknya, dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Percuma jika hanya bicara Naturalisasi dan Normalisasi," ujarnya.
Alasannya, kata dia, pertama perlu diingat bahwa Ciliwung itu hanya satu dari 20 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Jakarta. Kalau, selama ini upaya penanggulangan bencana banjir DKI Jakarta hanya terfokus pada naturalisasi dan normalisasi itu hanya sebatas di Ciliwung.
"Ciliwung pun kalau di Jakarta itu normalisasi atau naturalisasi yang sudah dilakukan hanya di sekitar Kampung Melayu dan sekitarnya saja. Kita belum bicara di hulunya, juga belum bicara soal DAS yang lain. Jadi ini (masalah banjir Jakarta) membutuhkan infrastruktur yang besar, itu juga perlu ketepatan kordinasi lintas wilayah," ujarnya.
"Saya menduga efek dari Bendungan Ciawi dan Sukamahi maksimal hanya sampai lima tahun atau jangka menengah saja. Sebab kalau di hulunya seperti ini bahkan makin parah, umur bendungannya akan sangat pendek," ujar Ernan di Bogor, Kamis (16/01).
Jadi, lanjut dia, di luar persoalan pembangunan dua bendungan yang bertujuan untuk mengurangi banjir DKI Jakarta dari kawasan hulu Sungai Ciliwung, tata ruang wilayah Kota/Kabupaten Bogor, khususnya kawasan Puncak. "Kalau kawasan Puncaknya masih seperti saat ini, erosi tinggi, longsornya tinggi, sedimentasi sungai tinggi, maka keberadaan bendungan hanya sebentar manfaatnya dalam menanggulangi banjir (jangka menengah)," katanya.
Dia menambahkan, normalisasi dan naturalisasi Sungai Ciliwung yang memang sebuah keharusan sekalipun bencana banjir tak terjadi. Sebab, menurut Ernan, ruang terbuka hijau (RTH) DKI Jakarta sendiri hanya tinggal 9%.
"Secara alamiah, Jakarta ini kan memang dataran banjir, yang terbentuk dari tanah alupial (tanah yang terbentuk dari luapan sungai), sehingga tanah Jakarta itu basah, banyak rawa dan situ. Tapi begitu dikeringkan, air yang selama ini ditampung di rawa dan situ yang sudah hilang itu kemana? Nah itu akhirnya untuk mengkompensasinya dibuatlah kanal," ungkapnya.
Sehingga, memang suatu keharusan dan harus secepatnya diselesaikan, kalau tidak begitu, kata dia, perubahan alam yang selama ini terjadi tak bisa diimbangi. "Dan bahkan Banjir Kanal Timur, sangat tidak cukup, saya kira infrastruktur penanggulangan bencana di Jakarta selama ini sangat-sangat tidak cukup. Naturalisasi dan normalisasi yang sedang dilakukan sangat terlalu sedikit dampaknya, dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Percuma jika hanya bicara Naturalisasi dan Normalisasi," ujarnya.
Alasannya, kata dia, pertama perlu diingat bahwa Ciliwung itu hanya satu dari 20 daerah aliran sungai (DAS) yang ada di Jakarta. Kalau, selama ini upaya penanggulangan bencana banjir DKI Jakarta hanya terfokus pada naturalisasi dan normalisasi itu hanya sebatas di Ciliwung.
"Ciliwung pun kalau di Jakarta itu normalisasi atau naturalisasi yang sudah dilakukan hanya di sekitar Kampung Melayu dan sekitarnya saja. Kita belum bicara di hulunya, juga belum bicara soal DAS yang lain. Jadi ini (masalah banjir Jakarta) membutuhkan infrastruktur yang besar, itu juga perlu ketepatan kordinasi lintas wilayah," ujarnya.
(whb)