Catatan Blusukan Ridwan Kamil di Jakarta: Dikerubungi Emak-emak, Gendong Warga, hingga Dolan Gang Sempit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nasi uduk ikan tongkol, sambil duduk kita ngobrol. Sebuah pantun singkat yang spontan muncul dari mulut Ridwan Kamil saat ia melakukan blusukan. Dalam dua bulan masa kampanye Pilkada Jakarta tak kurang dari 500 titik kota ini telah ia sambangi.
Dalam kurun waktu kampanye 59 hari, Ridwan Kamil menghabiskan sebagian besar waktunya di gang-gang sempit dan kampung kumuh yang tersebar di seantero kota. Tak ketinggalan, Kepulauan Seribu juga ia hampiri. Tujuannya hanya satu memastikan dirinya siap saat diberikan mandat oleh rakyat untuk memimpin Jakarta lima tahun ke depan.
Rata-rata setiap harinya dia blusukan ke 10 titik. Terkadang, hingga 12 titik dalam satu hari. Mengamati situasi sekeliling, mencatat, menyerap, dan yang terpenting: mendengarkan aspirasi, keluh kesah, dan usulan warga setempat.
Sembari sarapan nasi uduk, di depan warung kecil, ia dikerubungi warga–kebanyakan kaum hawa–yang mencurahkan keluh kesah mereka. Curhatan yang ia dengarkan dengan seksama, sembari terkadang melempar guyonan.
Di Pengadegan, Jakarta Selatan, Ridwan Kamil menyempatkan diri mengunjungi seorang warga lanjut usia bernama Bu Hindun. Di masa senjanya, ibu yang berusia lebih dari 80 tahun tersebut hidup sebatang kara. Perbincangan dengan calon gubernur nomor urut satu mencerahkan wajahnya, apalagi saat Ridwan Kamil memohon doa restu agar kelak bisa memimpin Jakarta secara bijak. Agar Jakarta yang keras menjadi humanis bagi seluruh warga, baik tua maupun muda.
Di Tanah Merah, Jakarta Utara, setelah mendengar banjir yang kerap menerpa, ia spontan mengambil kertas dan pena. Duduk lesehan di pinggir rawa yang airnya sering meluap, dia membuat sketsa masa depan Lapangan Kobra. Coretan lanskap dengan imaji masa depan yang bebas banjir dan nyaman bagi seluruh warga. Fungsi ekologis tetap terjaga, ruang interaksi sosial yang nyaman tersedia, dan anak-anak tidak lagi bermain di jalanan.
Saat masih aktif sebagai arsitek, ia sempat menjadi staf ahli untuk gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Ridwan Kamil tidaklah asing dengan Jakarta, dan sudah dua kali menjadi kepala daerah. Namun, pengalaman tersebut tidak membuat ia jemawa dan merasa paling tahu.
Tak jarang, ia masih dikejutkan dengan ‘harta terpendam’ di Jakarta. Di wilayah Jatinegara, Jakarta Timur, ia seperti tersihir saat melihat langsung situ Rawa Badung. Dengan luas total 4,4 hektar, reservoir pengendali banjir tersebut menjadi ‘waduk’ alami dengan segudang potensi wisata. Jatinegara bisa punya ikon baru, selain dilantunkan para biduan yang membawakan Juwita Malam.
Di Kembangan, Jakarta Barat, Ridwan Kamil tak segan-segan menggendong seorang warga setempat untuk memetik anggur hijau yang ranum memikat selera. Sembari menikmati anggur segar, ia menyerap kisah sukses kerjasama warga dan perusahaan swasta dalam mengembangkan urban farming di tengah keterbatasan lahan di Jakarta.
Masih di Jakarta Barat, wilayah Petak Sembilan yang ikonik ia sambangi beberapa kali. Dari wihara Dharma Bakti, pasar Petak 9, hingga toko obat tradisional. Melalui jalan-jalan sempit yang meliuk, ia berhenti sejenak. Berbincang dengan beberapa anak dan meladeni permintaan mereka untuk naik becak–transportasi kayuh roda tiga yang sudah nyaris punah di Jakarta.
Di atas becak, dia berbincang ringan dengan Alfi dan Bran, menanyakan cita-cita kedua anak yang berambut cepak. Perjumpaan singkat namun hangat dan membekas.
Dengan luas wilayah daratan dua pertiga Singapura, jumlah penduduk di Jakarta nyaris dua kali lipat populasi negeri jiran tersebut. Tentu, problematika yang dihadapi juga berkali-kali lipat. Dari infrastruktur, banjir, macet, hingga pengangguran perlu diatasi pemimpin berikutnya. Bagi Ridwan Kamil, Jakarta terlalu besar dan kompleks untuk semata-mata pendekatan top-down. Balai Kota bukanlah entitas setengah dewa yang bisa menjawab seluruh masalah spesifik di tiap sudut kota.
Oleh karena itu, Ridwan Kamil hendak memperbesar ruang kolaborasi multi pihak dengan pendekatan desentralisasi, kolaborasi, dan inovasi (DKI). Warga, organisasi masyarakat, korporasi, dan pemda saling bahu-membahu memajukan wilayah sekelilingnya. Gubernur menjadi fasilitator dan amtenar yang menata kelola dengan baik. Mengayomi seluruh warga, apapun golongan, latar belakang, agama, maupun etnisitasnya. Tua, muda, anak-anak, hingga bayi dalam kandungan.
Bukan tugas yang mudah, apalagi di tengah krisis iklim dan situasi ketidakpastian global yang bisa berdampak ke roda ekonomi masyarakat. Namun, dengan tekad baja mewujudkan kota yang inklusif dan humanis, dibarengi dengan kerja guyub yang menyatukan semua pihak, Jakarta yang global bisa diwujudkan secara nyata. (end).
Dalam kurun waktu kampanye 59 hari, Ridwan Kamil menghabiskan sebagian besar waktunya di gang-gang sempit dan kampung kumuh yang tersebar di seantero kota. Tak ketinggalan, Kepulauan Seribu juga ia hampiri. Tujuannya hanya satu memastikan dirinya siap saat diberikan mandat oleh rakyat untuk memimpin Jakarta lima tahun ke depan.
Rata-rata setiap harinya dia blusukan ke 10 titik. Terkadang, hingga 12 titik dalam satu hari. Mengamati situasi sekeliling, mencatat, menyerap, dan yang terpenting: mendengarkan aspirasi, keluh kesah, dan usulan warga setempat.
Empatik dan Tanpa Jarak
Pria kelahiran Bandung 53 tahun lalu dikenal sebagai orang yang luwes dan tanpa jarak. Hal ini juga tampak dalam interaksinya dengan warga Jakarta. Di Duren Sawit, Jakarta Timur, selepas blusukan di Kanal Banjir Timur, ia mendadak menjajakan nasi uduk. Di situlah, pantun singkat di atas terlontar.Sembari sarapan nasi uduk, di depan warung kecil, ia dikerubungi warga–kebanyakan kaum hawa–yang mencurahkan keluh kesah mereka. Curhatan yang ia dengarkan dengan seksama, sembari terkadang melempar guyonan.
Di Pengadegan, Jakarta Selatan, Ridwan Kamil menyempatkan diri mengunjungi seorang warga lanjut usia bernama Bu Hindun. Di masa senjanya, ibu yang berusia lebih dari 80 tahun tersebut hidup sebatang kara. Perbincangan dengan calon gubernur nomor urut satu mencerahkan wajahnya, apalagi saat Ridwan Kamil memohon doa restu agar kelak bisa memimpin Jakarta secara bijak. Agar Jakarta yang keras menjadi humanis bagi seluruh warga, baik tua maupun muda.
Di Tanah Merah, Jakarta Utara, setelah mendengar banjir yang kerap menerpa, ia spontan mengambil kertas dan pena. Duduk lesehan di pinggir rawa yang airnya sering meluap, dia membuat sketsa masa depan Lapangan Kobra. Coretan lanskap dengan imaji masa depan yang bebas banjir dan nyaman bagi seluruh warga. Fungsi ekologis tetap terjaga, ruang interaksi sosial yang nyaman tersedia, dan anak-anak tidak lagi bermain di jalanan.
Pengalaman Segudang Tak Membuat Jemawa
Sebelum dipilih masyarakat sebagai wali kota Bandung dan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil berprofesi sebagai arsitek. Dari sebelumnya mendesain rumah dan menata lanskap kota, ia lantas mendesain kebijakan dan mengimplementasi program kerja guna memajukan wilayah.Saat masih aktif sebagai arsitek, ia sempat menjadi staf ahli untuk gubernur Sutiyoso dan Fauzi Bowo. Ridwan Kamil tidaklah asing dengan Jakarta, dan sudah dua kali menjadi kepala daerah. Namun, pengalaman tersebut tidak membuat ia jemawa dan merasa paling tahu.
Tak jarang, ia masih dikejutkan dengan ‘harta terpendam’ di Jakarta. Di wilayah Jatinegara, Jakarta Timur, ia seperti tersihir saat melihat langsung situ Rawa Badung. Dengan luas total 4,4 hektar, reservoir pengendali banjir tersebut menjadi ‘waduk’ alami dengan segudang potensi wisata. Jatinegara bisa punya ikon baru, selain dilantunkan para biduan yang membawakan Juwita Malam.
Di Kembangan, Jakarta Barat, Ridwan Kamil tak segan-segan menggendong seorang warga setempat untuk memetik anggur hijau yang ranum memikat selera. Sembari menikmati anggur segar, ia menyerap kisah sukses kerjasama warga dan perusahaan swasta dalam mengembangkan urban farming di tengah keterbatasan lahan di Jakarta.
Masih di Jakarta Barat, wilayah Petak Sembilan yang ikonik ia sambangi beberapa kali. Dari wihara Dharma Bakti, pasar Petak 9, hingga toko obat tradisional. Melalui jalan-jalan sempit yang meliuk, ia berhenti sejenak. Berbincang dengan beberapa anak dan meladeni permintaan mereka untuk naik becak–transportasi kayuh roda tiga yang sudah nyaris punah di Jakarta.
Di atas becak, dia berbincang ringan dengan Alfi dan Bran, menanyakan cita-cita kedua anak yang berambut cepak. Perjumpaan singkat namun hangat dan membekas.
Kolaborasi Wujudkan Cita-Cita Jakarta Mengglobal
Setelah melalui pemilihan kepala daerah sebagai wali kota dan gubernur, Ridwan Kamil tahu betul bahwa solusi terbaik kerap muncul dari warga setempat. Setelah menunaikan tugas di kota Bandung dan di provinsi Jawa Barat, ia kini mencoba mengurai problematika di Jakarta, kota terbesar di Indonesia dan provinsi khusus yang menjadi ‘ayah angkat’ wilayah aglomerasi Jabodetabek.Dengan luas wilayah daratan dua pertiga Singapura, jumlah penduduk di Jakarta nyaris dua kali lipat populasi negeri jiran tersebut. Tentu, problematika yang dihadapi juga berkali-kali lipat. Dari infrastruktur, banjir, macet, hingga pengangguran perlu diatasi pemimpin berikutnya. Bagi Ridwan Kamil, Jakarta terlalu besar dan kompleks untuk semata-mata pendekatan top-down. Balai Kota bukanlah entitas setengah dewa yang bisa menjawab seluruh masalah spesifik di tiap sudut kota.
Oleh karena itu, Ridwan Kamil hendak memperbesar ruang kolaborasi multi pihak dengan pendekatan desentralisasi, kolaborasi, dan inovasi (DKI). Warga, organisasi masyarakat, korporasi, dan pemda saling bahu-membahu memajukan wilayah sekelilingnya. Gubernur menjadi fasilitator dan amtenar yang menata kelola dengan baik. Mengayomi seluruh warga, apapun golongan, latar belakang, agama, maupun etnisitasnya. Tua, muda, anak-anak, hingga bayi dalam kandungan.
Bukan tugas yang mudah, apalagi di tengah krisis iklim dan situasi ketidakpastian global yang bisa berdampak ke roda ekonomi masyarakat. Namun, dengan tekad baja mewujudkan kota yang inklusif dan humanis, dibarengi dengan kerja guyub yang menyatukan semua pihak, Jakarta yang global bisa diwujudkan secara nyata. (end).
(abd)