Catatan Blusukan Ridwan Kamil di Jakarta: Dikerubungi Emak-emak, Gendong Warga, hingga Dolan Gang Sempit
loading...
A
A
A
Di Kembangan, Jakarta Barat, Ridwan Kamil tak segan-segan menggendong seorang warga setempat untuk memetik anggur hijau yang ranum memikat selera. Sembari menikmati anggur segar, ia menyerap kisah sukses kerjasama warga dan perusahaan swasta dalam mengembangkan urban farming di tengah keterbatasan lahan di Jakarta.
Masih di Jakarta Barat, wilayah Petak Sembilan yang ikonik ia sambangi beberapa kali. Dari wihara Dharma Bakti, pasar Petak 9, hingga toko obat tradisional. Melalui jalan-jalan sempit yang meliuk, ia berhenti sejenak. Berbincang dengan beberapa anak dan meladeni permintaan mereka untuk naik becak–transportasi kayuh roda tiga yang sudah nyaris punah di Jakarta.
Di atas becak, dia berbincang ringan dengan Alfi dan Bran, menanyakan cita-cita kedua anak yang berambut cepak. Perjumpaan singkat namun hangat dan membekas.
Dengan luas wilayah daratan dua pertiga Singapura, jumlah penduduk di Jakarta nyaris dua kali lipat populasi negeri jiran tersebut. Tentu, problematika yang dihadapi juga berkali-kali lipat. Dari infrastruktur, banjir, macet, hingga pengangguran perlu diatasi pemimpin berikutnya. Bagi Ridwan Kamil, Jakarta terlalu besar dan kompleks untuk semata-mata pendekatan top-down. Balai Kota bukanlah entitas setengah dewa yang bisa menjawab seluruh masalah spesifik di tiap sudut kota.
Oleh karena itu, Ridwan Kamil hendak memperbesar ruang kolaborasi multi pihak dengan pendekatan desentralisasi, kolaborasi, dan inovasi (DKI). Warga, organisasi masyarakat, korporasi, dan pemda saling bahu-membahu memajukan wilayah sekelilingnya. Gubernur menjadi fasilitator dan amtenar yang menata kelola dengan baik. Mengayomi seluruh warga, apapun golongan, latar belakang, agama, maupun etnisitasnya. Tua, muda, anak-anak, hingga bayi dalam kandungan.
Bukan tugas yang mudah, apalagi di tengah krisis iklim dan situasi ketidakpastian global yang bisa berdampak ke roda ekonomi masyarakat. Namun, dengan tekad baja mewujudkan kota yang inklusif dan humanis, dibarengi dengan kerja guyub yang menyatukan semua pihak, Jakarta yang global bisa diwujudkan secara nyata. (end).
Masih di Jakarta Barat, wilayah Petak Sembilan yang ikonik ia sambangi beberapa kali. Dari wihara Dharma Bakti, pasar Petak 9, hingga toko obat tradisional. Melalui jalan-jalan sempit yang meliuk, ia berhenti sejenak. Berbincang dengan beberapa anak dan meladeni permintaan mereka untuk naik becak–transportasi kayuh roda tiga yang sudah nyaris punah di Jakarta.
Di atas becak, dia berbincang ringan dengan Alfi dan Bran, menanyakan cita-cita kedua anak yang berambut cepak. Perjumpaan singkat namun hangat dan membekas.
Kolaborasi Wujudkan Cita-Cita Jakarta Mengglobal
Setelah melalui pemilihan kepala daerah sebagai wali kota dan gubernur, Ridwan Kamil tahu betul bahwa solusi terbaik kerap muncul dari warga setempat. Setelah menunaikan tugas di kota Bandung dan di provinsi Jawa Barat, ia kini mencoba mengurai problematika di Jakarta, kota terbesar di Indonesia dan provinsi khusus yang menjadi ‘ayah angkat’ wilayah aglomerasi Jabodetabek.Dengan luas wilayah daratan dua pertiga Singapura, jumlah penduduk di Jakarta nyaris dua kali lipat populasi negeri jiran tersebut. Tentu, problematika yang dihadapi juga berkali-kali lipat. Dari infrastruktur, banjir, macet, hingga pengangguran perlu diatasi pemimpin berikutnya. Bagi Ridwan Kamil, Jakarta terlalu besar dan kompleks untuk semata-mata pendekatan top-down. Balai Kota bukanlah entitas setengah dewa yang bisa menjawab seluruh masalah spesifik di tiap sudut kota.
Oleh karena itu, Ridwan Kamil hendak memperbesar ruang kolaborasi multi pihak dengan pendekatan desentralisasi, kolaborasi, dan inovasi (DKI). Warga, organisasi masyarakat, korporasi, dan pemda saling bahu-membahu memajukan wilayah sekelilingnya. Gubernur menjadi fasilitator dan amtenar yang menata kelola dengan baik. Mengayomi seluruh warga, apapun golongan, latar belakang, agama, maupun etnisitasnya. Tua, muda, anak-anak, hingga bayi dalam kandungan.
Bukan tugas yang mudah, apalagi di tengah krisis iklim dan situasi ketidakpastian global yang bisa berdampak ke roda ekonomi masyarakat. Namun, dengan tekad baja mewujudkan kota yang inklusif dan humanis, dibarengi dengan kerja guyub yang menyatukan semua pihak, Jakarta yang global bisa diwujudkan secara nyata. (end).
(abd)