Untung Rp70 Miliar, MRT Jakarta Masih Butuh Subsidi

Kamis, 28 November 2019 - 08:22 WIB
Untung Rp70 Miliar, MRT Jakarta Masih Butuh Subsidi
Untung Rp70 Miliar, MRT Jakarta Masih Butuh Subsidi
A A A
JAKARTA - PT Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta optimistis dapat membukukan laba Rp60-70 miliar pada tahun pertama beroperasi atau pada 2019. Meski untung, PT MRT masih butuh subsidi hingga 12 tahun mendatang. Direktur Utama PT MRT Jakarta William Syabandar mengatakan selama sembilan bulan beroperasi pihaknya telah mengeluarkan biaya sekitar Rp940 miliar, sementara pendapatan lain-lain yang didapat itu sekitar Rp1 triliun.

"Perseroan berharap pendapatan hingga akhir tahun ini bisa mencapai Rp1 triliun dan pengeluaran kotor untuk biaya operasional mencapai Rp940 miliar. Laba komprehensif Rp60–70 miliar," kata William dalam paparannya bertajuk “MRT Jakarta: Mengawal Keberlanjutan" di Jakarta kemarin.

William menjelaskan, pendapatan Rp1 triliun itu berasal dari nontiket atau non-farebox yang menyumbang sebesar Rp225 miliar, sementara dari tiket atau farebox diproyeksikan Rp180 miliar hingga akhir 2019. Dari pendapatan nontiket itu, kontribusi paling besar yakni periklanan 55%, hak penamaan stasiun (naming rights) 33%, telekomunikasi 2%, serta ritel serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) 1%. Menurutnya, ritel dan UMKM ini sifatnya layanan tambahan kepada penumpang.

Adapun untuk 9% lainnya bersumber dari bunga bank dan selisih kurs senilai Rp40 miliar. Sementara itu, pendapatan terbesar adalah dari subsidi tiket untuk penumpang MRT Jakarta oleh Pemda DKI Jakarta yang tahun ini mencapai Rp560 miliar. "Ini merupakan pembalikan kinerja setelah pada tahun sebelumnya PT MRT rugi hingga Rp132 miliar," ungkapnya.

William optimistis kinerja keuangan akan terus tumbuh apabila pelayanan kepada masyarakat terus meningkat dan dijaga, sehingga kepercayaan publik serta pelaku usaha untuk bekerja sama semakin naik. Pada 2020, MRT Jakarta menargetkan mampu mencatatkan laba Rp200-250 miliar dengan proyeksi pendapatan subsidi naik menjadi Rp900 miliar.

"Kita dari rugi Rp132 miliar ke untung Rp60–70 miliar, di sini kita terus kejar di non-farebox, rutin periklanan, naming right kita jual di Bundaran HI dan lebih banyak lagi, QR application, ada properti juga nanti dibangun lewat TOD (transit oriented development) dan potensinya sangat besar," ungkapnya.

Kendati demikian, William menyatakan tetap membutuhkan subsidi hingga 12 tahun mendatang atau maksimal itu sekitar 2030. Pasalnya, transpor operator itu memang ada kewajiban public service obligation yang prinsipnya subsidi dikurangi, tetapi tidak dihilangkan.

"Tahun depan sekitar Rp900 miliar. Kalau hilang semua, kita harus punya uang Rp900 miliar. Kalau hilang semua, pendapatan non-farebox-nya yang harus kita tingkatkan, supaya ini terjadi perlu dapat pengelolaan non-farebox, pengelolaan TOD. Hitungan kita, 12 tahun bisa kita hilang 2030 kalau betul-betul bisa dihilangkan," pungkasnya.

Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Suhaimi menuturkan, keuntungan pendapatan dari transportasi publik itu harus kembali pada peningkatan layanan angkutan publik. Untuk itu, meskipun mendapatkan keuntungan, subsidi harus tetap diberikan. Namun, pemberian subsidi itu harus berkurang setiap tahunnya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.4803 seconds (0.1#10.140)