Target Pipanisasi Air Bersih Jakarta, DPRD Beri Opsi Pendanaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tahun ini Jakarta ulang tahun yang ke-497, usia yang cukup tua bagi sebuah kota metropolitan. Terdapat ragam persoalan yang sedang dituntaskan Pemerintah Provinsi Jakarta , salah satunya pemenuhan layanan air bersih .
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jakarta, jangkauan air bersih di Jakarta per April 2024 baru mencapai 69%. Banyak hal yang harus segera dibenahi agar cakupan layanan air bersih bisa mencapai 100 persen pada 2030, di antaranya problem jaringan pipa untuk air bersih.
Wakil Ketua Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi C, Rasyidi menilai persoalan tersebut menjadi tantangan serius bagi Pemprov Jakarta.
“Saat ini, semua PDAM di seluruh Indonesia belum ada yang mencapai 100 persen cakupan,” ujar Rasyidi kepada wartawan, Jumat (16/8/2024).
Situasi ini membuat urgensi menuju 100% cakupan layanan air bersih di Jakarta semakin besar. Sementara itu, program pipanisasi jaringan air bersih hingga 100% di wilayah Jakarta tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air penduduk. Lebih dari itu, kebijakan tersebut dijalankan demi menghentikan penurunan permukaan tanah di pesisir Jakarta akibat penyedotan air tanah.
Upaya Pemprov Jakarta melalui PAM Jaya mewujudkan target tersebut tentunya perlu memperhitungkan proses akselerasi penambahan pipa air bersih yang tidak mudah dan mempertimbangkan aspek pembiayaan dan investasi yang tidak murah.
Terlebih penyedia layanan tidak hanya dihadapkan pada kebutuhan penambahan jaringan. Namun juga revitalisasi pipa tua yang dibangun oleh Belanda, dan rentan menjadi penyebab kebocoran atau Non-Revenue Water (NRW).
Rasyidi mengatakan ada beberapa opsi yang bisa dilakukan Pemprov Jakarta dalam mengatasi problem anggaran revitalisasi pipa air bersih. Pertama dengan skema Penanaman Modal Daerah (PMD). Skema ini bisa dilakukan dengan mencontoh pembangunan MRT dan proyek lain.
“Bantuan dari PMD ya, seperti MRT Rp4,2 triliun, Jakpro Rp3,2 triliun dan lain lain,” jelasnya.
Skema kedua yakni dengan melakukan pinjaman ke bank, seperti Bank DKI. “PDAM itu kan satu badan usaha oke kalau dia mau mencari ke bank, pinjam uang ke bank segala macam bisa. Gak ada masalah,” kata dia.
Rasyidi menyebut untuk pengembaliannya, penyedia layanan dapat melakukan penyesuaian tarif, yang jika dilakukan, perlu dikomandoi oleh PAM Jaya. “Tapi penyesuaian tarifnya tidak untuk kaum miskin ya. Penyesuaian untuk industri dan pelanggan rumah tangga menengah ke atas,” paparnya.
“Nanti batasan minimal 10 m3 itu tetap sama harganya, tapi begitu melebihi itu, biayanya berbeda,” kata Rasyidi.
Sementara usulan senada untuk menyesuaikan tarif air bersih sempat dilontarkan oleh anggota DPRD Fraksi PAN Lukmanul Hakim di Rapat Paripurna untuk mengesahkan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (P2APBD) Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2023 menjadi Peraturan Daerah (Perda), Selasa 6 Agustus 2024.
Selain dinilai masih terlalu murah, perbedaan tarif air minum untuk industri dan rumah tangga pun terbilang tak berbeda jauh. Sebagai informasi, saat ini tarif air PAM untuk rumah tangga sederhana berkisar di angka 3.550 untuk pemakaian hingga 20 meter kubik. Sedangkan untuk industri, air bersih dibanderol dengan harga Rp8.150-12.550 untuk pemakaian hingga 20 meter kubik, tergantung jenis usahanya.
Mekanisme terakhir, yakni dengan skema business-to-business (B2B), seperti pada proyek MRT. Dicontohkan Rasyidi, yakni dengan melakukan kerja sama dengan negara lain seperti Jepang atau China dalam menyediakan pipa air bersih dengan garansi, dan akan dibayar dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyebutkan air merupakan kebutuhan dasar manusia atau essential services. Jika telah menjadi air bersih yang didistribusikan oleh PDAM, maka harus memenuhi standar kualitas yang sudah ditentukan, baik dari sisi biologi, kimiawi, dan lainnya yang ditentukan. Maka, penghitungan tarifnya perlu mempertimbangkan faktor daya beli/ATP (ability to pay), maupun dari sisi WTP (willingness to pay).
“Tarif yang berbasis biaya pokok penyediaan, dengan margin profit yang wajar, bisa dikenakan pada golongan pelanggan menengah atas, baik rumah tangga, bisnis dan industri,” kata Tulus.
Mengenai kebutuhan air dasar masyarakat, Rasyidi menyebut bahwa batas minimum pemakaian air bersih adalah 10 m3/kepala keluarga/bulan untuk kebutuhan dasar seperti mandi, cuci, dan kakus. Maka tarif air bersih perlu mempertimbangkan kemampuan beli masyarakat di batas 10 m3 tersebut.
Di luar pemenuhan itu, tersimpan harapan lain untuk air bersih di Jakarta. “PDAM juga harus punya target yang terukur, agar secara bertahap, dari sisi kualitas air PDAM langsung bisa diminum dari keran, sebagaimana air keran di negara-negara Eropa,” tambah.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jakarta, jangkauan air bersih di Jakarta per April 2024 baru mencapai 69%. Banyak hal yang harus segera dibenahi agar cakupan layanan air bersih bisa mencapai 100 persen pada 2030, di antaranya problem jaringan pipa untuk air bersih.
Wakil Ketua Anggota DPRD DKI Jakarta Komisi C, Rasyidi menilai persoalan tersebut menjadi tantangan serius bagi Pemprov Jakarta.
“Saat ini, semua PDAM di seluruh Indonesia belum ada yang mencapai 100 persen cakupan,” ujar Rasyidi kepada wartawan, Jumat (16/8/2024).
Situasi ini membuat urgensi menuju 100% cakupan layanan air bersih di Jakarta semakin besar. Sementara itu, program pipanisasi jaringan air bersih hingga 100% di wilayah Jakarta tidak hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan air penduduk. Lebih dari itu, kebijakan tersebut dijalankan demi menghentikan penurunan permukaan tanah di pesisir Jakarta akibat penyedotan air tanah.
Upaya Pemprov Jakarta melalui PAM Jaya mewujudkan target tersebut tentunya perlu memperhitungkan proses akselerasi penambahan pipa air bersih yang tidak mudah dan mempertimbangkan aspek pembiayaan dan investasi yang tidak murah.
Terlebih penyedia layanan tidak hanya dihadapkan pada kebutuhan penambahan jaringan. Namun juga revitalisasi pipa tua yang dibangun oleh Belanda, dan rentan menjadi penyebab kebocoran atau Non-Revenue Water (NRW).
Rasyidi mengatakan ada beberapa opsi yang bisa dilakukan Pemprov Jakarta dalam mengatasi problem anggaran revitalisasi pipa air bersih. Pertama dengan skema Penanaman Modal Daerah (PMD). Skema ini bisa dilakukan dengan mencontoh pembangunan MRT dan proyek lain.
“Bantuan dari PMD ya, seperti MRT Rp4,2 triliun, Jakpro Rp3,2 triliun dan lain lain,” jelasnya.
Skema kedua yakni dengan melakukan pinjaman ke bank, seperti Bank DKI. “PDAM itu kan satu badan usaha oke kalau dia mau mencari ke bank, pinjam uang ke bank segala macam bisa. Gak ada masalah,” kata dia.
Rasyidi menyebut untuk pengembaliannya, penyedia layanan dapat melakukan penyesuaian tarif, yang jika dilakukan, perlu dikomandoi oleh PAM Jaya. “Tapi penyesuaian tarifnya tidak untuk kaum miskin ya. Penyesuaian untuk industri dan pelanggan rumah tangga menengah ke atas,” paparnya.
“Nanti batasan minimal 10 m3 itu tetap sama harganya, tapi begitu melebihi itu, biayanya berbeda,” kata Rasyidi.
Sementara usulan senada untuk menyesuaikan tarif air bersih sempat dilontarkan oleh anggota DPRD Fraksi PAN Lukmanul Hakim di Rapat Paripurna untuk mengesahkan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD (P2APBD) Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2023 menjadi Peraturan Daerah (Perda), Selasa 6 Agustus 2024.
Selain dinilai masih terlalu murah, perbedaan tarif air minum untuk industri dan rumah tangga pun terbilang tak berbeda jauh. Sebagai informasi, saat ini tarif air PAM untuk rumah tangga sederhana berkisar di angka 3.550 untuk pemakaian hingga 20 meter kubik. Sedangkan untuk industri, air bersih dibanderol dengan harga Rp8.150-12.550 untuk pemakaian hingga 20 meter kubik, tergantung jenis usahanya.
Mekanisme terakhir, yakni dengan skema business-to-business (B2B), seperti pada proyek MRT. Dicontohkan Rasyidi, yakni dengan melakukan kerja sama dengan negara lain seperti Jepang atau China dalam menyediakan pipa air bersih dengan garansi, dan akan dibayar dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyebutkan air merupakan kebutuhan dasar manusia atau essential services. Jika telah menjadi air bersih yang didistribusikan oleh PDAM, maka harus memenuhi standar kualitas yang sudah ditentukan, baik dari sisi biologi, kimiawi, dan lainnya yang ditentukan. Maka, penghitungan tarifnya perlu mempertimbangkan faktor daya beli/ATP (ability to pay), maupun dari sisi WTP (willingness to pay).
“Tarif yang berbasis biaya pokok penyediaan, dengan margin profit yang wajar, bisa dikenakan pada golongan pelanggan menengah atas, baik rumah tangga, bisnis dan industri,” kata Tulus.
Mengenai kebutuhan air dasar masyarakat, Rasyidi menyebut bahwa batas minimum pemakaian air bersih adalah 10 m3/kepala keluarga/bulan untuk kebutuhan dasar seperti mandi, cuci, dan kakus. Maka tarif air bersih perlu mempertimbangkan kemampuan beli masyarakat di batas 10 m3 tersebut.
Di luar pemenuhan itu, tersimpan harapan lain untuk air bersih di Jakarta. “PDAM juga harus punya target yang terukur, agar secara bertahap, dari sisi kualitas air PDAM langsung bisa diminum dari keran, sebagaimana air keran di negara-negara Eropa,” tambah.
(kri)