Tahun 2020, Melintas di Jalan Sudirman Bekasi Harus Bayar

Selasa, 03 September 2019 - 08:51 WIB
Tahun 2020, Melintas di Jalan Sudirman Bekasi Harus Bayar
Tahun 2020, Melintas di Jalan Sudirman Bekasi Harus Bayar
A A A
BEKASI - Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi sedang mengkaji penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing(ERP) di Jalan Sudirman sampai perbatasan DKI Jakarta ataupun di Jalan KH Noer Ali Kalimalang.

Kebijakan ini rencananya diterapkan pada 2020 mendatang.Sekretaris Dinas Perhubungan Kota Bekasi Dedet Kusmuyadi mengatakan, wacana tersebut akan didorong menjadi program prioritas untuk mengurangi pengguna jalan sebagai solusi kemacetan. Saat ini kebijakan tersebut masuk dalam kajian dan infrastrukturnya sedang dipersiapkan.

“Pilot project -nya Jalan Sudirman. Soal jenis kendaraan apa saja masih dikaji karena penerapan program ini membutuhkan campur tangan semua pihak, termasuk pemerintah pusat,” ujar Dedet. Dia menjelaskan, kemacetan di Kota Bekasi menjadi salah satu persoalan serius di wilayah tetangga Ibu Kota ini.

Dedet yakin dengan kebijakan tersebut warga enggan membawa kendaraan pribadinya hingga beralih ke moda transportasi massal sehingga mengurangi kemacetan. Apalagi, ERP merupakan sistem pengendalian kepadatan lalu lintas yang diterapkan melalui pemungutan retribusi secara elektronik terhadap penggunaan kendaraan bermotor.

“Salah satu tujuan program ini adalah mendorong masyarakat menggunakan transportasi umum,” ungkapnya. Kabid Lalu Lintas Dinas Perhubungan Kota Bekasi Johan Budi Gunawan juga memastikan penerapan jalan berbayar akan diberlakukan pada 2022.

Penerapan program ini diatur dalam Peraturan Presiden No 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Di peraturan itu, semestinya ERP sudah terpasang sejak 2018 dan paling lambat 2029. Rencananya jalan yang paling berpotensi diterapkan adalah Jalan Sudirman sampai perbatasan dengan DKI Jakarta di Harapan Indah, Medansatria.

“Jalur tersebut merupakan lintasan nasional terbesar setelah akses jalan tol,” katanya. Untuk diketahui, kemacetan di Kota Bekasi bertambah parah bahkan titiknya bertambah dari 22 titik menjadi 25 titik tersebar di 12 kecamatan se-Kota Bekasi.

Titik kemacetan antara lain berada di simpang Harapan Indah, simpang Pondok Ungu, simpang Alexindo, simpang Cikunir, simpang Sumir Pondokgede, simpang Pekayon, simpang Sumber Arta, simpang Jakasampurna, simpang Jatiwaringin, Jalan Chairil Anwar, simpang Jalan Mohamad Yamin, simpang Jalan Ampera.

Sedangkan penambahan titik kemacetan baru di antaranya Jalan Mawar-Bekasi Utara, Jalan I Gusti Ngurah Rai-Bekasi Barat, Jalan Boulevar Galaxy-Bekasi Selatan, Jalan Muchtar Tabrani- Bekasi Utara, Giant Wisma Asri, serta simpang Caman-Jalan KH Noer Ali.

Kemacetan disebabkan ukuran lebar jalan hanya empat meter sementara setiap hari jumlah kendaraan bertambah. “Infrastruktur Bekasi memang harus segera dibenahi agar kemacetan bisa teratasi,” tegas Budi.

Berdasarkan catatan Pemkot Bekasi, pertumbuhan kendaraan setiap tahunnya cenderung meningkat. Dalam satu bulan saja, jumlah kendaraan baru mencapai 8.000 unit, bahkan belakangan meningkat hingga 230.000 unit.

Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Kota Bekasi mencatat jumlah kendaraan bermotor terus tumbuh setiap bulan. Awal 2019, potensi kendaraan roda dua sebanyak 1.613.317 unit. Melihat fakta tersebut, kebijakan penerapan jalan berbayar sangat cocok jika diterapkan.

Perlu Kajian Mendalam
Ketua Bidang Pengembangan Kehidupan Perkotaan Tim Wali Kota untuk Percepatan Penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan (TWUP4) Kota Bekasi Benny Tunggul menyebut perlu ada kajian mendalam jika ingin menerapkan jalan berbayar.

Menurut dia, Pemkot Bekasi bisa berkonsultasi dengan Singapura sebagai penggagas ERP yang telah berlaku di Jakarta. “Kajian lebih dalam saya anggap perlu, dinas perhubungan bisa konsultasi dan mendalami segala regulasi jika ingin menerapkan jalan berbayar,” kata Benny.

Dia mengatakan, rencana Dishub Kota Bekasi menunjuk Jalan Jenderal Sudirman sebagai titik penerapan jalan berbayar belum masuk dalam kategori sebab panjang lebar ruas jalan tersebut belum memadai. Sebaliknya, Benny mengusulkan untuk menguji coba di Jalan Ahmad Yani, Bekasi Selatan sebab masuk dalam kategori strategis, terlebih merupakan jalan protokol.

“Jalan Jenderal Sudirman itu kurang ekonomis dan strategis, beda dengan jalan Ahmad Yani,“ ujarnya. Benny menyarankan kepada pemerintah agar tidak perlu menerapkan jalan berbayar. Soalnya, jalur yang ada di Kota Bekasi sangat pendek dan bisa menambah titik kemacetan.

“Penerapan ERP menyebabkan multiplayer efek terhadap penumpukan di perempatan dan setiap jalan-jalan yang terjadinya ERP, karena volume kendaraan yang besar dan jalan tidak luas,” ungkapnya. Menurut dia, jalan berbayar bukan solusi untuk mengatasi kemacetan yang ada.

Apalagi, Kota Bekasi bukan pusat industri yang volume kendaraannya untuk kepentingan distribusi pengiriman bahan baku atau jadi. “Kota Bekasi banyak permukiman, dipotong kereta api, sungai, jalan tol, belum lagi LRT dan MRT dan Becakayu, semuanya menjadi eskalasi meningkatkan distribusi volume kendaraan yang ada di Kota Bekasi,” bebernya.

Dia mengatakan Kota Bekasi dikepung angkutan kota (angkot), ojek online (ojol) yang menyebabkan jalan raya tergunakan sebagai terminal sementara. “Nah, untuk mengurai kemacetan ini bisa membuat terminal sementara.

Itu diperuntukkan untuk mengurangi volume kendaraan yang tidak layak seperti angkot uzur, kendaraan di atas 10 tahun, menyediakan terminal sementara buat kendaraan seperti ojol dan kendaraan umum lainnya,” tutupnya. (Abdullah M Surjaya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7033 seconds (0.1#10.140)