Sejarawan Beberkan Siasat Soeharto Melanggengkan Kekuasaan

Selasa, 02 April 2024 - 21:35 WIB
loading...
Sejarawan Beberkan Siasat Soeharto Melanggengkan Kekuasaan
Bedah Buku: NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971 karya Ken Ward di Bakoel Koffie, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024). Foto/Muhammad Refi Sandi
A A A
JAKARTA - Sejarawan Asvi Warman Adam membeberkan upaya Soeharto banyak melakukan siasat agar bisa mempertahankan posisi sebagai Presiden RI dengan periode panjang setelah melakukan kudeta merangkak terhadap Soekarno. Awalnya, dia menjadi sejarawan yang percaya Soeharto melakukan kudeta merangkak terhadap Soekarno dari peristiwa 1 Oktober 1965 sampai didapuk menjadi pemimpin Indonesia pada 1968.

"Jadi, saya melihat periode 1 Oktober '65, 11 Maret '66, sampai '67, Soeharto menjadi pejabat presiden, dan '68 menjadi presiden penuh, ini suatu rangkaian peristiwa yang kalau kita lihat suatu kudeta merangkak," kata Asvi dalam acara Bedah Buku: NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971 karya Ken Ward di Bakoel Koffie, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/4/2024).

Asvi mengatakan Soeharto setelah menjabat Presiden kedua RI melakukan beragam manuver politik untuk melanggengkan kekuasaan. Ia mencontohkan, Soeharto memundurkan pelaksanaan pemilu yang sudah ditetapkan MPR pada 1968 demi memungkinkan pria berjuluk Smiling General itu mematangkan konsolidasi politik.



"Nah, yang dilakukan Soeharto itu memundurkan pemilu itu karena tidak cukup waktu melaksanakannya. Maka, pemilu itu diadakan '71, jadi cukup waktu tiga tahun itu, waktu yang intensif digunakan oleh Soeharto untuk memenangkan, bukan hanya memenangkan, membuat infrastruktur kekuasaan sampai pada '71 itu," ujarnya.

Selain mematangkan konsolidasi, kata Asvi, Soeharto juga menyingkirkan lawan ketika pemilu dimundurkan dari 1968 ke 1971. "Ini berkaitan menyingkirkan orang-orang yang dianggap bahaya meskipun mereka sudah dipenjara, itu ke suatu tempat terpisah dari masyarakat," tambahnya.

Asvi mengatakan pemerintahan era Soeharto juga melakukan intervensi politik ke Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno. Menurutnya, rezim Soeharto awalnya menyingkirkan Hardi yang dianggap berbahaya bagi rezim apabila mantan Dubes RI untuk Vietnam itu menjadi pimpinan PNI.

Rezim Soeharto, kata Asvi, mendorong Hadi Subeno menjadi Ketua PNI meski kalkulasi terhadap aksi politik tersebut keliru. Sebab, Hadi yang pernah menjabat Gubernur Jawa Tengah, belakangan kritis ke Golkar dan pemerintah setelah menjadi Ketua PNI pada 1971.

"Nah, karena itulah pada 20 April 71 tiba-tiba Hadi Subeno meninggal, tiga bulan sebelum pemilu pada '71. Jadi, ini cerita bagaimana bisa itu terjadi pembunuhan seperti itu dan kita tahu pembunuhan itu bukan hanya ke aktivis dan lain-lain, tetapi menyebabkan di antara jenderal berkonflik, kita tahu Ali Moertopo pada '74 berkonflik dengan Soemitro yang melahirkan peristiwa Malari," ungkapnya.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1102 seconds (0.1#10.140)