Pembangunan Transportasi Jabodetabek dan TOD Terkendala Data Wilayah

Kamis, 30 Agustus 2018 - 04:41 WIB
Pembangunan Transportasi Jabodetabek dan TOD Terkendala Data Wilayah
Pembangunan Transportasi Jabodetabek dan TOD Terkendala Data Wilayah
A A A
BOGOR - Rencana pembangunan kawasan Jabodetabek, khususunya menyangkut transportasi dan hunian vertikal yang sedang digencarkan pemerintah pusat masih terkendala banyak hal. Data dan perencanaan dinilai belum siap.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan, hingga saat ini rencana pembangunan di kawasan Jabodetabek belum menggunakan data statistical metropolitan area.

"Sampai saat ini kondisinya (data) itu belum ada, perencanaannya masih terpisah-pisah. Bappenas akan mencoba mengintegrasikan, tapi tadi, harus diperkuat dengan data yang sifatnya metropolitan area," ujar Bambang seusai mengisi acara The 6th International Confrence of Jabodetabek Study Forum di Bogor, Rabu 29 Agustus 2018.

Agar rencana pembangunan infrastruktur transportasi massal berupa Light Tail Transit (LRT) dan hunian vertikal atau Transit Oriented Development (TOD) tidak terkendala, Bambang menyarankan dilakukan pengumpulan data terlebih dahulu.

Pihaknya mendorong adanya data statistical metropolitan area atau data wilayah metropolitan. Sebab, jika bisa mendefinisikan data tersebut, akan menjadi informasi yang sangat berharga untuk melakukan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya penyangga ibu kota.

"Dari data tersebut bisa kita lihat, pusat melakukan apa, sehingga ada pembagian tugas yang baik, tidak saling duplikasi atau saling menghilangkan. Paling nanti kepentingan masyarakatlah yang kita utamakan," katanya.

Bambang juga menekankan pentingnya konsep metropolitan ini sebagai basis analisa. Selama ini analisanya hanya terbatas masalah administrasi kota atau kabupaten."Misalnya, sebagian Kabupaten/Kota Bogor itu sudah tidak bisa dipisahkan dan sudah menjadi bagian dari kota metropolitan Jakarta," ungkapnya.

Menyangkut rencana Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang akan kembali melanjutkan pembangunan infrastruktur dan moda transportasi LRT, menurut Bambang itu hanya salah satu cara.

"Tapikan itu selama ini sudah ada yang namanya lembaga Badan Pengaturan Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Seharusnya kita juga berpikir metropolitan itu bukan hanya Jabodetabek, tapi sisi lain harus memikirkan angkutan metropolitan di luar Jabodetabek," tandasnya.

Diketahui, Kementerian Perhubungan berencana membangun infrastruktur dan moda transportasi LRT dari Cibubur, Jakarta hingga ke Terminal Baranangsiang, Kota Bogor pada 2020 yang kemudian dilanjutkan di dalam kotanya.

Sementara Kementerian BUMN berencana membangun TOD di dua titik yakni Stasiun Bogor dan Terminal Baranangsiang. Namun hingga saat ini, prosesnya masih terkendala lantaran pihak Pemkot Bogor enggan mengeluarkan izin karena dianggap tak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

Sementara itu, Peneliti Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah ( P4W) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ernan Rustiadi, mengungkapkan, persoalan megapolitan atau megacity ini adalah terdiri berbagai wilayah administrasi.

"Seperti kita ketahui, megacity atau megapolitan ini 11 wilayah administrasi otonom, yang satu sama lain interaksinya tidak berjalan dengan baik, tersekat-sekat, masing-masing daerah (dalam menjalankan pembangunan) berjalan sendiri-sendiri, akhirnya banyak persoalan (seperti LRT dan TOD)," ucapnya.

Ia menilai sejak dulu hingga sekarang persoalan megacity ini adalah governancy atau pemerintahan yang terfragmentasi. Padahal satu sama lain tidak bisa dipisahkan dalam menjalankan maupun menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.

"Baik itu masalah transportasi massal, sistem pemukiman penduduk, air, sampah, dan lain sebagainya. Ini harus ada kesatuan manajemen atau kerja sama sistem perkotaan yang besar," tandasnya.

Ia meyakini setiap kepala daerah di penyangga ibu kota atau Bodetabek, mengeluhkan terkait sulitnya bekerja sama, baik tingkat kabupaten/kota maupun provinsi di sebelahnya.

"Semua kepala daerah di Jabodetabek berkata sama, seperti tak bisa apa-apa. Atas sikap frustasi seperti itu, munculah ide megapolitan atau metropolitan di era Gubernur DKI Sutiyoso, dimana megapolitan itu harusnya dipimpin oleh seorang menteri," jelasnya.

Namun ide seperti itu tenggelam begitu saja, karena tidak ada sambutan yang baik dan tidak ada solusi. "Semalam saya ngobrol dengan Wali Kota Bogor yang mengatakan keluhannya sama, yakni susah bekerja sama dengan Gubernur Jakarta, baik dulu maupun sekarang, padahal masalah banjir tak bisa diselesaikan oleh satu daerah," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto memaparkan beberapa program dan permasalahan Kota Bogor sebagai salah satu kota administrasi metropolitan. Transportasi menjadi persoalan utama di Kota Bogor saat ini. Pemkot Bogor masih berjibaku untuk mengkonversi angkutan kota (angkot) menjadi bus Trans Pakuan.

Tahun 2018 beberapa bus kecil sudah mulai masuk dan tahun 2019 akan dialokasikan dana sebesar Rp17 miliar untuk subsidi kepada perusahaan angkutan yang berbadan hukum agar para sopir angkot tidak berhenti sembarangan.

“Jika ini berjalan dengan dengan baik, maka ini akan menjadi yang pertama di Indonesia. Dalam 2-3 tahun angkot di pusat kota akan jarang, digantikan bus Trans Pakuan,” jelasnya.

Dia juga menerangkan mengenai potensi, tantangan dan program lain yang dijalankan Pemkot Bogor. Di Kota Bogor, kelas menengah berkembang dengan sangat cepat dan pesat. Dalam 10 tahun ke depan penduduk Kota Bogor bisa mencapai 1,5 juta jiwa, dan akan banyak perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa setiap tahun mencapai 5.000 orang.

Arus orang masuk ke Bogor cukup menakjubkan. Setahun 5 juta wisatawan masuk, dimana setiap akhir pekan yang masuk berjumlah sekitar 300- 400 ribu orang. Sebanyak 50 persen masuk ke Kebun Raya Bogor dan Istana Bogor.

"Program pembangunan Kota Bogor ke depan adalah mengurangi kepadatan di pusat kota atau redistribusi fungsi. Konektivitas dan sinergitas menjadi hal yang perlu ditangani secara serius, akselerasi dan harmonisasi menjadi kata kunci," papar Bima.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5847 seconds (0.1#10.140)