Mengenal Hakim PK Ahok, Artidjo si Raja Vonis dan Raja Tega

Jum'at, 16 Maret 2018 - 14:47 WIB
Mengenal Hakim PK Ahok,...
Mengenal Hakim PK Ahok, Artidjo si Raja Vonis dan Raja Tega
A A A
JAKARTA - Proses Peninjauan Kembali (PK) kasus penodaan agama yang diajukan terpidana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akan memasuki babak baru. Kamis (15/3/2018) kemarin, Mahkamah Agung (MA) mengumumkan Hakim Agung Artidjo Alkostar, si raja vonis, sebagai pimpinan sidang PK atas vonis dua tahun penjara yang diajukan Ahok kepada MA.

Perkara PK Ahok telah diterima oleh Kepaniteraan Pidana MA tanggal 7 Maret 2018. Diregister Nomor : 11 PK/Pid/2018. Majelis pemeriksa Perkara Dr. Artidjo Alkostar, Dr. Salman Luthan, dan Sumardiyatmo. Berkas perkara dikirim ke Majelis pemeriksa perkara tanggal 13 Maret 2018. Selama ini Artidjo Alkostar dikenal memiliki reputasi baik sebagai hakim agung. Dia dikenal tegas, jujur, bersih, dan kerap memutus hukuman berat, khususnya kasus korupsi.

Pria yang ikut membidani lahirnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini sering dijuluki si 'raja vonis', 'raja tega' dan "raja gila' karena putusan-putusannya yang beratkan koruptor. Dia kerap menjatuhkan hukuman yang lebih berat ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama. Bahkan, tak sedikit terdakwa mencabut permohonan kasasi mereka saat mengetahui akan ditangani Artidjo.

Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo antara lain, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaq, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Artidjo juga menangani kasus korupsi yang menjerat pengacara Otto Cornelis Kaligis di tingkat kasasi, eks kader Demokrat Angelina Sondakh dan Sutan Bathoegana, mantan Gubernur Banten Ratu Atur Chosiyah,

(Baca juga: Terima PK Ahok, MA Tunjuk Hakim Artidjo Alkostar )

Artidjo berani dan tanpa kompromi memberikan hukuman berat bagai para koruptor, meskipun ada sebagian pihak yang mempersoalkan putusan Artidjo tersebut. Selama menggeluti dunia advokasi, penyandang gelar LL.M di bidang Hukum Internasional tentang HAM dari North Western University, Chicago ini telah terbiasa dengan ancaman.

Ketika menjadi pembela kasus Santa Cruz di Dili pada 1992, dia pernah diintai oleh intelijen hingga diancam supir taksi. Tak hanya itu, sewaktu membela korban penembakan misterius muncul kabar bahwa ada tim yang sudah mengincar Artidjo. Dia akan ditembak ketika kembali ke Yogyakarta.

Ancaman juga datang ketika dia berbeda pendapat saat memutuskan perkara. Salah satunya, kala menjadi Hakim Agung yang menangani perkara korupsi yayasan dengan terdakwa Presiden Kedua Indonesia Soeharto. Saat dua hakim lainnya menginginkan perkara tersebut dihentikan, Artidjo justru sebaliknya.

Artidjo juga tercatat sebagai satu-satunya hakim yang memberikan opini berbeda saat memutus perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra. Ketika kedua koleganya setuju membebaskan terdakwa, Artidjo menolak kesepakatan itu. Dia bersikeras agar opini penolakannya masuk dalam putusan.

Melihat sepak terjangnya, pria kelahiran Situbondo, Madura, Jawa Timur ini dikenal sebagai sosok kontroversial di MA. Namun, para aktivis antikorupsi seolah lega dengan hadirnya Artidjo yang berjuang mengangkat nama baik institusi MA sebagai lembaga yang "agung".

Ahok mengajukan PK pada 2 Februari 2018. Sidang perdana digelar pada Senin (26/2/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ada sejumlah poin yang menjadi pertimbangan Ahok mengajukan PK, salah satunya vonis 1,5 tahun penjara terhadap Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung.

Buni Yani merupakan pihak yang disebut-sebut mengubah video Ahok mengutip ayat suci di Kepulauan Seribu. Pertimbangan lain, kuasa hukum Ahok merasa hakim cukup banyak membuat kekeliruan dalam putusannya. Hakim dinilai tidak mempertimbangkan saksi ahli yang diajukan Ahok.

Kini nasib dikabulkan tidaknya PK Ahok ada di tangan Artidjo, sebagaimana dikatakan Ketua Majelis Hakim Sidang PK Ahok, Mulyadi. "PK dikabulkan atau tidak hanya di tangan MA. Majelis tidak berkewenangan memutus dan hanya memeriksa bukti formil," kata Mulyadi, Senin (26/2/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1398 seconds (0.1#10.140)