Gagasan Pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi

Senin, 11 Desember 2023 - 12:45 WIB
loading...
Gagasan Pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

GAGASAN pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi (KPK) merupakan klimaks dari kegagalan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ekses negatif kinerjanya yang dinilai belum maksimal secara efisien dan efektif melaksanakan pencegahan korupsi sejak 21 tahun pembentukan KPK. Upaya pemerintah menciptakan sistem penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) atau good governance, tidak kunjung berhasil diwujudkan KPK dan Kejaksaan.

Gagasan pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi ini diharapkan dapat mengembalikan marwah dan tujuan mulia mewujudkan sistem penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN serta sekaligus mengembalikan marwah Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang telah dibubarkan pemerintah dan DPR RI dan fungsinya diambil alih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

KPK yang semula diarahkan untuk meningkatkan strategi penindakan memperkuat kinerja Kejaksaan, dengan ditambahkan fungsi pencegahan menjadi “berjalan lambat” bahkan dapat dikatakan mandul dalam mewujudkan strategi pencegahan secara maksimal dan memadai. Penilaian bukan terletak dalam banyaknya sosialisasi dan penandatanganan piagam integritas, melainkan harus dinilai dari seberapa banyak penurunan secara kuantitatif korupsi di negeri ini dan aspek kualitas prosedur penegakan hukum yang telah diwujudkan KPK selama 21 tahun ini.

Era Reformasi 1998 adalah era demokrasi modern dan berwawasan Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab penyelenggara negara tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktik penyelenggaraan negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu (oligarki)dan memberi peluang terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Harapan dari strategi pencegahan korupsi adalah melalui pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi dapat mencegah tumbuh kembangnya kolusi, nepotisme, dan korupsi serta menekan seminimal mungkin tumbuh suburnya oligarki dalam kekuasaan negara.



Selain hal tersebut, pembentukan Komisi Pencegahan Korupsi ini berdampak multiefek yaitu berkurangnya jumlah hunian di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan sebagai dampak ikutannya, berkurangnya anggaran belanja negara untuk membiayai kehidupan narapidana selama menjalani hukuman di lapas serta terhindarnya kerentanan pelanggaran hak-hak asasi narapidana.

Dapat dipastikan bahwa jika strategi pencegahan korupsi berhasil sebanyak 50% saja meningkatkan disiplin ASN dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk tidak melakukan gratifikasi, suap, dan korupsi. Maka, sebanyak itulah akan terdapat penurunan korupsi dalam strategi penindakannya.

Keberhasilan mencegah korupsi dan suap identik dengan penghematan keuangan negara sehubungan dengan pembiayaan penindakan korupsi yang semakin meningkat setiap tahun anggaran yang melebihi pengembalian/pemasukan uang hasil korupsi kepada negara. Kini sudah saatnya pemerintah dan DPR RI mempertimbangkan kembali keinginan kuat untuk mengurangi terjadinya gratifikasi, suap, dan korupsi di kalangan penyelenggara negara dengan hanya bertumpu pada penghukuman semata-mata. Sebab, perkembangan pandangan universal terhadap penghukuman di era globalisasi ekonomi telah memudar, terutama di Eropa dan AS, terkait pelanggaran di sektor keuangan dan perbankan. Bahkan telah dinyatakan tidak relevan dalam kebijakan negara mengembalikan stabilisasi keuangan dan perbankan serta perekonomian dunia pada umumnya.

Trademark peringkat negara yakni negara maju (developed countries), negara berkembang (developing countries), dan negara miskin (poor countries) adalah pada pendapatan income per kapita masing-masing negara (PDB) dan hambatan utama yang dipandang serius adalah selain pendidikan yakni Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di tiap negara. IPK yang dirilis lembaga internasional non-pemerintah diperoleh dari hasil survei pelaku bisnis/ekonomi tetapi tidak pada penyelenggaraan negara an sich.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1888 seconds (0.1#10.140)