Kawasan OTD sebagai Reaksi Pembangunan Kota

Minggu, 24 Desember 2017 - 09:59 WIB
Kawasan OTD sebagai...
Kawasan OTD sebagai Reaksi Pembangunan Kota
A A A
JAKARTA - Sulit mendapatkan tempat tinggal di tengah kota, padahal tingkat kemacetan yang tinggi adalah persoalan bagi masyarakat kota. Konsep transit oriented development (TOD) pun kini menjadi salah satu solusi untuk menjawab persoalan tersebut. TOD juga dianggap sebagai konsekuensi atau reaksi dari pembangunan kota.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pengembangan konsep TOD dalam lingkup penyediaan hunian ditujukan untuk mendorong agar masyarakat pada umumnya dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat kembali tinggal di tengah kota dan mendekat ke lokasi kerja. Dengan kemudahan tersebut pemerintah berkeyakinan dapat menurunkan biaya transportasi serta biaya lain yang dikeluarkan.

"Penyediaan hunian pada kawasan TOD dapat menurunkan angka kekurangan rumah. Suplai rumah yang disediakan baik dari tipe kepenghunian, tipe rumah maupun tingkat harga tentunya hanya ditujukan untuk segmentasi MBR atau masyarakat yang belum memiliki hunian," ujar Bambang kepada KORAN SINDO.

Berdasarkan kajian Bappenas tentang studi preferensi hunian bagi MBR di perkotaan, jarak tempuh dan waktu tempuh dari hunian ke lokasi kerja merupakan variabel yang signifikan dalam menentukan preferensi kepemilikan hunian. Selain itu besaran angsuran serta fleksibilitas pengajuan kredit untuk masyarakat berpenghasilan tidak tetap juga akan memengaruhi preferensi hunian di perkotaan.

Dengan begitu, pengembangan hunian kawasan TOD yang terintegrasi dengan sarana transportasi massal diharapkan dapat memiliki daya tarik dan harga terjangkau bagi MBR maupun masyarakat yang belum memiliki hunian. Meski demikian sejumlah kendala tetap harus dihadapi seperti penyediaan dan pemanfaatan lahan di lokasi simpul transportasi yang tidak mudah. Diperlukan koordinasi yang maksimal antara berbagai pihak, khususnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Bambang mencontohkan, pembangunan rusunami TOD di Pondok Cina oleh Perumnas. Meski rusunami sudah mendapat dukungan penuh dari PT KAI, kelancaran pembangunan pada akhirnya ditentukan perizinan yang diberikan pemerintah daerah. "Hal ini tidak terlepas dari penerapan konsep TOD yang baru dilakukan. Akibatnya baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih mencari bentuk koordinasi terbaik," jelas Bambang.

Pengamat masalah perkotaan dari Universitas Indonesia (UI) Ahmad Gamal mengungkapkan, kawasan TOD merupakan pengembangan hunian yang berbasis transit, yaitu titik lokasi yang dilewati kendaraan umum seperti stasiun dan terminal. Konsep ini memang sudah banyak dikembangkan di kota-kota besar di Asia dan Amerika, termasuk kota-kota di Eropa yang sejak lama membangun sistem seperti itu.

"Makanya kota-kota tua di Eropa umumnya hunian masyarakatnya berada di pinggiran yang dekat dengan transportasi publik seperti stasiun, terminal, bandara atau pelabuhan. Mereka sudah sejak lama menggunakan sistem seperti itu. Makin bergaungnya konsep TOD, hal itu tak bisa dipisahkan oleh perkembangan pola metropolitan sebuah kota," ujar Gamal.

Terlebih setelah terciptanya mobil atau kendaraan bermotor yang menjadi pilihan utama moda transportasi sehingga sistem transportasi massal dikesampingkan. Hal itu mengakibatkan pola perkembangan permukiman dan kota menjadi melebar dan mengarah ke daerah urban mengikuti jalur kendaraan, jalan besar, dan protokol sehingga menimbulkan kemacetan yang luar biasa.

Menurut Gamal, konsep TOD adalah reaksi sebuah pembangunan kota. Pengembangan TOD diharapkan dapat memecahkan permasalahan urban yang selama ini terjadi dengan pengembangan hunian yang berorientasi pada transit. Pengajar di Fakultas Teknik UI tersebut menjelaskan, konsep hunian TOD bukan hanya dekat dengan transportasi umum, tetapi juga bisa mengintegrasikan berbagai sistem moda kendaraan tersebut agar mudah diakses oleh masyarakat. Yang terjadi saat ini, lanjut Gamal, banyak pengembang perumahan yang hanya mengklaim dekat dengan sarana tran sportasi, tetapi belum terintegrasi satu sama lain.

"Sampai saat ini saya belum melihat ada proyek properti yang benar-benar mengembangkan konsep TOD secara komprehensif, sekadar dekat dengan stasiun atau jalur busway. Tapi akses menuju kendaraan umum tersebut tidak diperhatikan," imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) DKI Jakarta Dhani Muttaqin mengatakan, ada sejumlah karakteristik utama apabila sebuah kawasan disebut berbasis TOD. Di antaranya lokasi yang dekat dengan simpul transportasi umum dengan radius minimal 400 meter agar penghuni bisa mudah mengakses secara nyaman hanya dengan berjalan kaki.

Hal itu juga telah ditetapkan oleh peraturan yang diterbitkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16/2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. Selain itu penggunaan lahannya merupakan kawasan mix used development di mana terdapat bangunan campuran untuk digunakan sebagai residensial, ruang ritel, perkantoran, pendidikan, serta dilengkapi fasilitas umum dan sosial lain seperti tempat parkir yang memadai, ruang terbuka hijau (RTH), dan jalur pedestrian sehingga aktivitas penghuni bisa terkonsentrasi di daerah tersebut.

"Jadi masyarakat bisa beraktivitas secara efektif dan efisien dari satu kawasan TOD ke TOD yang lain dan sebaliknya, juga mudah untuk menuju pusat kota. Pembangunan infrastruktur juga akan terus berjalan baik," katanya.

Konsep TOD menurutnya amat penting saat ini bagi sebuah kota yang terus berkembang agar pola hunian menjadi terpusat di satu wilayah sehingga menghemat biaya pembangunan dan lahan. Meski demikian Dhani melihat, kawasan berbasis TOD belakangan yang dikembangkan developer properti belum semua menerapkannya secara tepat dan terencana dengan saksama, melainkan sekadar strategi marketing. Misalnya penjualan apartemen yang hanya berlokasi dekat dengan jalur transportasi massal, tetapi hanya dibangun satu tower tanpa fasilitas dan prasarana lain.

"Idealnya kawasan TOD direncanakan dan dibangun dengan penuh perencanaan, jangan hanya mengurusi perizinannya saja, tetapi integrasi dengan sistem transportasi lain juga harus dipikirkan. Hunian yang dekat dan mudah dengan akses kendaraan umum ke depannya akan menjadi nilai tambah bagi masyarakat yang ingin mencari rumah," tuturnya.

Sekjen DPP Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida mengatakan, konsep TOD memungkinkan pengembangan kawasan perumahan mengikuti perkembangan insfrastruktur, khususnya di daerah penyangga Ibu Kota. Anggota REI sendiri telah siap menyukseskan agenda besar tersebut dalam rangka mengurangi backlog perumahan. Untuk itu pihaknya akan terus bersinergi dengan pihak lain seperti pemerintah daerah.

Saat ini REI telah memiliki rencana untuk membangun 10 kawasan baru di sekitar TOD, bukan hanya di Pulau Jawa, tetapi juga di luar Pulau Jawa. Masing-masing kawasan baru tersebut menurutnya memiliki area lahan minimal sekitar 500 hektare. Dengan begitu, kawasan baru tersebut bisa memiliki fasilitas lengkap seperti pendidikan, kesehatan, olahraga, dan perbelanjaan. Keberadaan infrastruktur transportasi yang dibangun pemerintah tentu akan menjadi nilai tambah bagi keberadaan kawasan baru.

Khusus untuk kawasan Maja, Tangerang, Ketua REI Banten Roni H Adali menuturkan bahwa keberadaan stasiun kereta api hingga jalan tol membuat Maja menjadi TOD yang cukup diminati masyarakat, khususnya mereka yang bekerja di Jakarta. Harga tanah dan rumah di Maja juga relatif masih terjangkau oleh banyak orang. "Waktu tempuh dari Maja sampai ke Stasiun Pal Merah hanya membutuhkan waktu satu jam sehingga orang tidak akan terlalu lama di perjalanan untuk menuju kantor dan kembali ke rumah," tandasnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0835 seconds (0.1#10.140)