Pengamat Ingatkan Pemprov DKI Belajar dari Penolakan ERP di Kota-kota Besar Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menghangatnya perbincangan terkait rencana Pemprov DKI Jakarta untuk menerapkan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar ternyata bukan menjadi hal yang baru terjadi kali ini saja. Penolakan terhadap sistem ini ternyata juga terjadi di banyak kota-kota yang relatif sudah memiliki sistem transportasi lebih maju dari Jakarta.
Menurut Ketua Forum Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia Budi Yulianto, penolakan warga terhadap kebijakan ini seringkali menjadi batu sandungan dalam penerapan ERP di berbagai kota di negara-negara lain.
Dia mencontohkan penerapan ERP di Inggris. Walaupun berhasil diterapkan di London, namun gagal diterapkan di kota-kota lainnya di Inggris seperti Birmingham, Cardiff, serta Liverpool.
Baca juga: Mengintip Penerapan Sistem Electronic Road Pricing (ERP) di Singapura
“Di tiga kota itu tidak berhasil lantaran masyarakat menolak keberadaan ERP yang diyakini program tersebut tidak akan berhasil mengurai kemacetan,” ujar Budi, Senin (20/2/2023).
Pemprov DKI perlu mendengar masukan publik yang lebih luas terkait rencana penerapan ERP. Apalagi dengan fasilitas transportasi yang aman dan nyaman secara ekonomi sebagai kompensasinya belum tersedia.
Ketika masyarakat memilih menggunakan kendaraan umum berupa taksi online dan ojek online, namun tetap terkena ERP tentu juga akan keberatan.
Budi mengkhawatirkan ada persepsi publik yang menganggap adanya ERP masyarakat dipaksa membayar dan tidak ada pilihan lain ketika hendak melalui ruas jalan tertentu.
“Jadi Pemprov DKI harus benar-benar membuktikan kepada masyarakat bahwa program ini akan berhasil dan bisa menciptakan integrasi transportasi strategis yang dapat mengatasi kemacetan dan kesulitan-kesulitan teknikalnya. Nah, ini harus dipahami Pemprov DKI karena program ini banyak melibatkan kebijakan,” ungkapnya.
Penerapan ERP di banyak kota-kota di dunia memang lebih banyak didominasi oleh penolakan yang membuat penerapannya dibatalkan atau penundaan implementasi.
Walau disebut-sebut berhasil di Singapura, London, dan Stockholm, penerapan ERP justru lebih banyak gagal terimplementasi di kota-kota besar dunia lain seperti Hongkong yang sejak 1983 memperkenalkan ide ERP, namun hingga kini tidak kunjung dilaksanakan karena ramainya penolakan warga.
Paling terkini, isu penerapan ERP bahkan menjadi komoditas politik yang begitu hangat di New York. Penolakan demi penolakan muncul justru di saat pemerintah telah mendapatkan persetujuan dari badan legislatif kota New York dan direncanakan akan diterapkan pada tahun 2023.
Penolakan terbesar terutama datang dari para politisi dari kota-kota penyangga kota New York seperti New Jersey yang merasa penerapan ERP akan semakin mempersulit hidup warganya yang sehari-sehari bekerja di New York. Penolakan dari banyak pihak di berbagai kota tersebut juga mulai bermunculan di Jakarta.
Di bulan Januari, LBH Jakarta juga mengeluarkan pernyataannya terkait pelaksanaan ERP. LBH Jakarta dalam pernyataan resminya, ERP disebut solusi yang tidak berkeadilan di tengah buruknya sistem transportasi di Jakarta.
Paling tidak terdapat tiga hal yang menurut LBH Jakarta membuat ERP tidak berkeadilan, seperti minimnya partisipasi publik, aksesibilitas transportasi yang buruk, serta dampaknya terhadap kelompok ekonomi lemah.
Pakar Transportasi Universitas Trisakti Nirwono Joga sebelumnya mengatakan, Pemprov DKI perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut sebelum memutuskan penerapan ERP.
Dia mengingatkan agar pemerintah tidak terpaku kepada penerapan ERP saja, namun juga harus mempertimbangkan segala bentuk kebijakan yang mungkin lebih efektif dan lebih mudah diterima publik.
Salah satunya pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat dengan transportasi publik.
“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan,” kata Nirwono yang juga Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti ini.
Menanggapi itu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, masih terus menggodok kebijakan ERP karena hingga kini masih dalam tahap pengkajian.
Dia membuka kesempatan bagi masyarakat yang hendak memberi masukan dan aspirasi terkait wacana tersebut. Adanya ERP sebagai upaya Pemprov DKI mengatasi kemacetan di Jakarta.
“Rencana implementasinya masih butuh waktu panjang. Aturannya pun masih dalam proses kajian. Silakan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan aspirasinya,” kata Heru.
Menurut Ketua Forum Transportasi Perkotaan Masyarakat Transportasi Indonesia Budi Yulianto, penolakan warga terhadap kebijakan ini seringkali menjadi batu sandungan dalam penerapan ERP di berbagai kota di negara-negara lain.
Dia mencontohkan penerapan ERP di Inggris. Walaupun berhasil diterapkan di London, namun gagal diterapkan di kota-kota lainnya di Inggris seperti Birmingham, Cardiff, serta Liverpool.
Baca juga: Mengintip Penerapan Sistem Electronic Road Pricing (ERP) di Singapura
“Di tiga kota itu tidak berhasil lantaran masyarakat menolak keberadaan ERP yang diyakini program tersebut tidak akan berhasil mengurai kemacetan,” ujar Budi, Senin (20/2/2023).
Pemprov DKI perlu mendengar masukan publik yang lebih luas terkait rencana penerapan ERP. Apalagi dengan fasilitas transportasi yang aman dan nyaman secara ekonomi sebagai kompensasinya belum tersedia.
Ketika masyarakat memilih menggunakan kendaraan umum berupa taksi online dan ojek online, namun tetap terkena ERP tentu juga akan keberatan.
Budi mengkhawatirkan ada persepsi publik yang menganggap adanya ERP masyarakat dipaksa membayar dan tidak ada pilihan lain ketika hendak melalui ruas jalan tertentu.
“Jadi Pemprov DKI harus benar-benar membuktikan kepada masyarakat bahwa program ini akan berhasil dan bisa menciptakan integrasi transportasi strategis yang dapat mengatasi kemacetan dan kesulitan-kesulitan teknikalnya. Nah, ini harus dipahami Pemprov DKI karena program ini banyak melibatkan kebijakan,” ungkapnya.
Penerapan ERP di banyak kota-kota di dunia memang lebih banyak didominasi oleh penolakan yang membuat penerapannya dibatalkan atau penundaan implementasi.
Walau disebut-sebut berhasil di Singapura, London, dan Stockholm, penerapan ERP justru lebih banyak gagal terimplementasi di kota-kota besar dunia lain seperti Hongkong yang sejak 1983 memperkenalkan ide ERP, namun hingga kini tidak kunjung dilaksanakan karena ramainya penolakan warga.
Paling terkini, isu penerapan ERP bahkan menjadi komoditas politik yang begitu hangat di New York. Penolakan demi penolakan muncul justru di saat pemerintah telah mendapatkan persetujuan dari badan legislatif kota New York dan direncanakan akan diterapkan pada tahun 2023.
Penolakan terbesar terutama datang dari para politisi dari kota-kota penyangga kota New York seperti New Jersey yang merasa penerapan ERP akan semakin mempersulit hidup warganya yang sehari-sehari bekerja di New York. Penolakan dari banyak pihak di berbagai kota tersebut juga mulai bermunculan di Jakarta.
Di bulan Januari, LBH Jakarta juga mengeluarkan pernyataannya terkait pelaksanaan ERP. LBH Jakarta dalam pernyataan resminya, ERP disebut solusi yang tidak berkeadilan di tengah buruknya sistem transportasi di Jakarta.
Paling tidak terdapat tiga hal yang menurut LBH Jakarta membuat ERP tidak berkeadilan, seperti minimnya partisipasi publik, aksesibilitas transportasi yang buruk, serta dampaknya terhadap kelompok ekonomi lemah.
Pakar Transportasi Universitas Trisakti Nirwono Joga sebelumnya mengatakan, Pemprov DKI perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut sebelum memutuskan penerapan ERP.
Dia mengingatkan agar pemerintah tidak terpaku kepada penerapan ERP saja, namun juga harus mempertimbangkan segala bentuk kebijakan yang mungkin lebih efektif dan lebih mudah diterima publik.
Salah satunya pengenaan biaya parkir progresif. Misalnya, untuk tarif parkir yang lokasinya berada semakin ke pusat kota, maka tarif parkirnya semakin mahal. Selain itu, juga perlu disediakan kantong-kantong parkir yang nyaman dan dekat dengan transportasi publik.
“Jadi ada alternatif-alternatif lain yang diberikan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa melihat mana nanti yang bisa menekan atau mengurai kemacetan,” kata Nirwono yang juga Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti ini.
Menanggapi itu, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan, masih terus menggodok kebijakan ERP karena hingga kini masih dalam tahap pengkajian.
Dia membuka kesempatan bagi masyarakat yang hendak memberi masukan dan aspirasi terkait wacana tersebut. Adanya ERP sebagai upaya Pemprov DKI mengatasi kemacetan di Jakarta.
“Rencana implementasinya masih butuh waktu panjang. Aturannya pun masih dalam proses kajian. Silakan bagi masyarakat untuk memberikan masukan dan aspirasinya,” kata Heru.
(jon)