Anggota DPRD DKI Kenneth Nilai ERP Bakal Banyak Timbulkan Masalah Baru, Perlu Dikaji Mendalam

Selasa, 31 Januari 2023 - 16:17 WIB
loading...
Anggota DPRD DKI Kenneth Nilai ERP Bakal Banyak Timbulkan Masalah Baru, Perlu Dikaji Mendalam
Anggota DPRD DKI Jakarta Hardiyanto Kenneth menilai kebijakan ERP di 25 titik jalan bisa saja diterapkan jika transportasi publik sudah maksimal. Foto: SINDONEWS/Dok
A A A
JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menerapkan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) di 25 titik guna mengurai kemacetan. Namun, kebijakan ini dinilai bakal banyak menimbulkan masalah baru.

Banyak kalangan menolak rencana tersebut karena dianggap akan menyengsarakan warga Jakarta. Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan Hardiyanto Kenneth menilai kebijakan ERP di 25 titik jalan bisa saja diterapkan jika pelayanan publik atau transportasi publik sudah maksimal.

"Sejauh ini nyatanya bahwa pelayanan transportasi publik belum maksimal. Perlu dikaji kembali secara komprehensif, agar pengguna jalan tidak semakin resah dengan dampak ERP itu," kata Kenneth dalam keterangannya, Selasa (31/1/2023).



Diketahui, ERP di Jakarta rencananya berlaku setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB di 25 ruas jalan Ibu Kota sepanjang 54 kilometer (km). Tarif yang diusulkan berkisar antara Rp5 ribu hingga Rp19 ribu.

Kenneth menilai, kebijakan ERP di 25 titik di Ibu Kota akan berdampak langsung pada perekonomian masyarakat sebagai pengguna jalan, dan berpotensi menambah masalah baru.

"Kebijakan yang dipaksakan seperti ini otomatis akan membuat resah masyarakat dan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat menengah ke bawah," kata pria yang biasa disapa Bang Kent, itu.

Menurut Bang Kent, banyak masyarakat yang akan terkena imbas kebijakan ERP. Seperti warga yang tinggal di kawasan Jalan Gajah Mada, Hayam Wuruk, Tomang, dan Fatmawati.

"Lalu juga ojek online, kurir, pekerja dan lainnya yang memiliki penghasilan pas-pasan, tentu penghasilannya akan berkurang karena harus membayar ERP ini," tutur Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta.



Kent setuju dengan rencana Pemprov DKI yang akan menerapkan ERP di 25 ruas jalan, yang saat ini sudah diterapkan ganjil genap. Namun, ia menyarankan agar hal tersebut dilakukan secara bertahap.

"Lebih baik untuk sementara diterapkan di jalan protokol, seperti Sudirman, Thamrin, Gatot Subroto, dan Gunung Sahari, atau daerah-daerah perkantoran saja dulu. Cuma kalau caranya menentukan 25 ruas jalan secara sporadis seperti inilah yang saya rasa tidak pas," tandasanya.

"Sebagai contoh, warga yang tinggal di seputaran Jalan Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan Tomang, keluar rumah tiba-tiba disuruh bayar. Yang biasa sebelumnya enggak pernah bayar, pasti akan muncul banyak sekali pertanyaan dan penolakan dari masyarakat," lanjutnya.

Seharusnya, kata dia, tidak langsung diterapkan di 25 ruas jalan, tetapi secara bertahap sambil melihat progresnya. Kemudian lakukan evaluasi secara terus-menerus, sambil menunggu peningkatan pelayanan angkutan umumnya. "Apalagi kan sebentar lagi ada LRT Bodebek," tandas Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) DPD PDI Perjuangan Jakarta itu.

Kent juga mempertanyakan sejumlah pasal yang terdapat di Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PL2SE). Seperti Pasal 4 tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kemitraan, kemanfaatan, persaingan, pengelolaan risiko, transparansi; akuntabilitas; efektivitas, dan efisiensi.

"Di dalam Raperda Pasal 4, terdapat ada kemitraan. Itu kemitraan dalam bentuk apa? harus dijelaskan secara detil. Jangan lantas nanti malah masyarakat yang harus menanggung resiko akibat yang ditimbulkan oleh pemerintah," ucapnya.

Kent mengingatkan, kondisi ekonomi masyarakat tidak semuanya sama. Bagi masyarakat berpenghasilan berlebih, bisa saja mereka mampu membayarnya. Tapi bagi masyarakat ekonomi ke bawah bagaimana nasibny.

"Jadi, saya meminta dalam menyusun Raperda itu harus sama semangatnya, libatkan masyarakat, tanya pendapat masyarakat mengenai tarif yang akan diterapkan. Kemudian tentang 25 ruas jalan yang akan diterapkan ERP ini. apakah mereka setuju?" tukasnya.

Kent juga meminta Pemprov DKI untuk meningkatkan peran lurah dan camat dalam melakukan sosialisasi terkait dengan ERP tersebut.

"Kalau mau lebih tepat sasaran untuk bisa tingkatkan peran lurah dan camat, suruh jalan lakukan pendekatan dengan warga melalui forum RT dan RW, karena RT dan RW inilah yang lebih mengenal warganya," tandasnya.

Selain itu, Jakarta dinilai belum bisa mengikuti negara-negara maju dengan menerapkan kebijakan ERP itu. Sehinggaharus melakukan banyak sekali kajian-kajian lebih mendalam.

Di negara maju pelayanan publik mereka sudah selesai. Kemudian pajak kendaraan bermotor ditinggikan, otomatis masyarakatnya berpikir beli kendaraan bermotor, karena mahal, sehingga lebih memilih naik transportasi umum.

"Kalau Jakarta sudah dalam kondisi seperti ini barulah pantas menerapkan ERP di 25 ruas jalan. Kalau enggak percaya coba silakan dicek dan dikaji kembali, bener enggak omongan saya," tegasnya.

Kent mencontohkan lalu lintas di Singapura. Di negara yang berlambang Merlion itu warganya jarang membawa kendaraan pribadi mereka lebih mengandalkan transportasi umum.

"Di Singapura itu mencari parkir susah, harga kendaraan mahal, jadi membuat mereka enggan membawa kendaraan pribadi, tetapi apa? Pelayanan publik mereka sudah selesai, transportasi massalnya sudah tersistematis dan terintegrasi. Mereka cukup membeli satu kartu sudah bisa kemana-mana, sangat strategis. Dari sisi keamanan dan kenyamanan warga yang memakai transportasi umum ini juga sudah maksimal" tutur Kent.

Satu hal yang membuat Kent merasa sangat khawatir lagi jika Pemprov DKI Jakarta dan Polda Metro Jaya tetap keukeuh meresmikan kebijakan ERP di 25 ruas jalan, kemacetan akan terjadi di sejumlah jalan-jalan non protokol dan hanya memindahkan kemacetan.

Kent yakin kendaraan roda empat maupun roda dua akan mencari jalan alternatif lain dengan melintas di jalan-jalan lingkungan yang terdapat di permukiman padat penduduk atau jalan tikus.

"Ini pasti akan menimbulkan masalah baru. Warga yang tinggal di perkampungan atau permukiman padat pasti akan komplen dan marah besar. apakah sudah di pikirkan resiko yang akan terjadi?" tutur Ketua IKAL PPRA LXII Lemhannas RI ini.

Terkait masalah driver ojek online hingga kurir paket, kata Kent, hal tersebut seharusnya bisa dikomunikasian dengan pihak provider, jangan sampai pembayaran ERP malah dibebankan kepada ojek online yang penghasilannya tidak seberapa. Ditambah lagi harus membayar setiap melintas di 25 ruas jalan tersebut.

"Sebenarnya masalah ini bisa dibicarakan antara provider dan pemprov DKI. Seyogyanya provider yang harus menyiapkan, mereka harus bisa mengikuti perkembangan zaman dong. Bisa melakukan komunikasi yang solutif dengan Pemprov terkait kebijakan ERP ini, jangan malah tarif tersebut dibebankan kepada kawan-kawan ojol atau kurir. Hal itu dilakukan agar semua bisa berjalan dengan baik dan tidak menambah beban kawan-kawan kurir atau ojol di kemudian harinya," bebernya.

Kent mempertanyakan soal transparansi dalam penerimaan tarif ERP tersebut. Ia khawatir hal tersebut akan dijadikan lahan korupsi baru bagi sejumlah oknum yang memanfaatkan momen tersebut.

"Penerimaan tarif ERP ini harus transparan, jangan sampai nanti malah menjadi lahan korupsi baru, tolong jelaskan dan sampaikan ke publik untuk apa uang ini. Jadi peran serta kelibatan masyarakat juga harus ada dalam hal ini agar semua jelas dan transparan," lanjut Kent.

Oleh karena itu, Kent meminta kepada Pemprov DKI Jakarta, Dinas Perhubungan dan Polda Metro Jaya agar mengkaji secara mendalam, mengenai peraturan ERP tersebut sebelum nantinya benar-benar diterapkan di Ibukota. Karena peraturan tersebut akan berdampak sistemik dalam keberlangsungan hidup di Jakarta.

Dalam menerapkan peraturan itu, bukan hanya pada aspek teknisnya, bukan pada aspek sekadar mengatur, tetapi perlu memperhatikan aspek sosiologis. Sebab hambatan penerapan ERP di Indonesia itu biasanya adalah masalah kultur atau budaya.

"Sebagai pemimpin kalau membuat kebijakan itu harus bisa melihat 10 tahun ke depan atau 20 tahun ke depan terkait apa yang sudah kita kerjakan, karena hal itulah akan menjadi warisan buat anak dan cucu kita nanti. Jangan kebijakan satu gubernur sebelumnya nanti ganti gubernur baru tidak bisa digunakan lagi. Jangan seperti itu yang ujung ujungnya membuat kebijakan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat saja, dosa kita semua," ketus Kent.

Kent pun berharap Plt Gubernur DKI Jakarta Heru Budi dapat melakukan pengkajian kembali terkait penerapan ERP di 25 ruas tersebut. "Saya melihat Pak PJ Gubernur ini adalah orang baik. Saya berharap Pak Heru bisa mendengar aspirasi ini. Aspirasi yang saya sampaikan ini adalah kumpulan dari keluhan para warga dan saya harus sampaikan ke Pak Heru," pungkasnya.
(thm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2089 seconds (0.1#10.140)