Ini Kata LPSK Soal Vonis untuk 2 Terdakwa Kasus JIS

Jum'at, 03 April 2015 - 17:40 WIB
Ini Kata LPSK Soal Vonis untuk 2 Terdakwa Kasus JIS
Ini Kata LPSK Soal Vonis untuk 2 Terdakwa Kasus JIS
A A A
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai vonis penjara 10 tahun kepada terdakwa dugaan pencabulan di Jakarta International School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong bisa menjadi peringatan bagi para pelaku lain.

Dalam rilis yang diterima Sindonews, LPSK menyatakan putusan ini hendaknya menjadi peringatan bagi para pelaku lainnya untuk tidak berani-berani memikirkan, apalagi sampai melakukan kekerasan seksual terhadap anak. Karena peristiwa itu akan sangat berdampak bagi masa depan sang anak.

Apalagi, dalam kasus JIS, kedua pelaku merupakan tenaga pendidik sehingga perbuatan keduanya dianggap telah mencoreng dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengapresiasi putusan majelis hakim PN Jakarta Selatan yang diketuai Nur Aslam Bustaman.

Menurut Semendawai, jatuhnya putusan 10 tahun penjara itu tentu melalui pertimbangan-pertimbangan hukum, meski pada pembacaan vonis terungkap terjadi dissenting opinion, di mana hakim ketua menginginkan keduanya dijatuhi pidana penjara 15 tahun denda Rp300 juta.

Pengungkapkan kasus hingga pembacaan vonis terhadap kedua terdakwa yang merupakan guru JIS ini, kata Semendawai, tidak lepas dari kerja keras sejumlah pihak, mulai polisi, jaksa, majelis hakim dan pihak-pihak lain yang terliba. Sehingga kerja mereka patut diapresiasi meski di tengah banyaknya tekanan.

“Majelis hakim mampu menjalankan perannya dan tidak mudah diintervensi kekuatan mana pun dalam menyidangkan kasus ini,” kata Semendawai, Jumat (3/4/2015).

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menambahkan, majelis hakim telah menggunakan model teleconference dalam mendengarkan kesaksian saksi korban anak. Dengan demikian, saksi korban anak bisa memberikan keterangan tanpa harus takut bertemu muka dengan para terdakwa.

“Model telecoference menjadi sumbangan alat bukti untuk memperkuat keyakinan majelis hakim dalam memutuskan kasus,” ucapnya. Ke depan, kata Edwin, hendaknya pemberian kesaksian model teleconference bisa diterima oleh majelis hakim pada persidangan lain di seluruh Indonesia.

Di mana dalam kondisi tertentu, baik saksi, korban maupun saksi korban, bisa merasa aman memberikan keterangan di pengadilan. Dalam putusan kasus JIS, hakim menyebutkan penggunaan model teleconference mengacu pada UU 13/2006 jo UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain itu, yang paling terpenting, menurut Edwin, putusan majelis hakim dalam kasus dengan terdakwa dua guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinand Tjiong, diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku lainnya. “Ini jadi peringatan bagi pelaku lain untuk tidak melakukan kekerasan seksual pada anak karena peristiwa itu sangat berdampak bagi masa depan korban,” ujarnya.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3881 seconds (0.1#10.140)