DPRD Nilai Larangan Sepeda Motor di Thamrin Diskriminatif
A
A
A
JAKARTA - DPRD DKI Jakarta menilai, larangan sepeda motor melintas Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat sangat diskriminatif.
Seharusnya, Pemprov DKI menyiapkan dahulu infrastruktur pendukung sebelum kebijakan itu dimulai.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Abdul Goni menuturkan, kebijakan larangan melintas untuk sepeda motor memicu kecemburuan sosial dan terkesan terburu-buru.
Saat ini di ruas jalan tersebut tetap dilintasi oleh mobil. Bahkan mobil mewah sekalipun, sementara sepeda motor dilarang. Padahal kedua jenis kendaraan ini pemiliknya tetap membayar pajak kendaraan bermotor (PKB).
Mestinya masyarakat yang membayar pajak mendapatkan imbal balik dari pemerintah untuk menikmati fasilitas publik atas pajak yang dibayarkannya.
"Ini sangat diskriminatif," ujar Abdul Goni di DPRD DKI Jakarta, Selasa (11/11/2014).
Menurutnya kebijakan itu terburu-buru. Infrastruktur pendukung larangan sepeda motor ini belum siap. Sebagai contoh, jumlah bus tingkat yang dijanjikan untuk mengakomodir pesepeda motor belum mencukupi.
Ditambah pula jam operasional bus itu hanya sampai pukul 21.00 WIB. Sedangkan kebijakan larangan melintasnya sepeda motor berlangsung 24 jam.
"Bagaimana dengan pengendara sepeda motor yang berjalan di sekitar lokasi itu di malam hari. Siapa yang akan melayani," imbuhnya.
Lahan parkir yang akan menampung roda dua juga sangat sedikit. Alternatif yang disebutkan Dinas Perhubuungan (Dishub) DKI sangat tidak memadai. Sebutlah itu IRTI Monas, Carefour Harmoni dan gedung di sekitar Bunderan HI tidak memadai.
Kalau pun ada lahan parkir, umumnya lahar parkir itu disiapkan oleh pemilik untuk kebutuhan internal. Kalau bukan untuk ekternal gedung itu akan enggan menggunakan fasilitas parkir.
Kendala lain dalam ketersediaan infrastruktur pendukung berupa angkutan massal lainnya, seperti mass rapid transit (MRT) belum selesai dikerjakan.
"Sebaiknya larangan untuk sepeda motor dimulai pada 2018 atau pada saat MRT mulai dioperasionalkan. Sehingga pemilik sepeda motor dapat dilayani dengan baik," ungkapnya.
Seharusnya, Pemprov DKI menyiapkan dahulu infrastruktur pendukung sebelum kebijakan itu dimulai.
Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Abdul Goni menuturkan, kebijakan larangan melintas untuk sepeda motor memicu kecemburuan sosial dan terkesan terburu-buru.
Saat ini di ruas jalan tersebut tetap dilintasi oleh mobil. Bahkan mobil mewah sekalipun, sementara sepeda motor dilarang. Padahal kedua jenis kendaraan ini pemiliknya tetap membayar pajak kendaraan bermotor (PKB).
Mestinya masyarakat yang membayar pajak mendapatkan imbal balik dari pemerintah untuk menikmati fasilitas publik atas pajak yang dibayarkannya.
"Ini sangat diskriminatif," ujar Abdul Goni di DPRD DKI Jakarta, Selasa (11/11/2014).
Menurutnya kebijakan itu terburu-buru. Infrastruktur pendukung larangan sepeda motor ini belum siap. Sebagai contoh, jumlah bus tingkat yang dijanjikan untuk mengakomodir pesepeda motor belum mencukupi.
Ditambah pula jam operasional bus itu hanya sampai pukul 21.00 WIB. Sedangkan kebijakan larangan melintasnya sepeda motor berlangsung 24 jam.
"Bagaimana dengan pengendara sepeda motor yang berjalan di sekitar lokasi itu di malam hari. Siapa yang akan melayani," imbuhnya.
Lahan parkir yang akan menampung roda dua juga sangat sedikit. Alternatif yang disebutkan Dinas Perhubuungan (Dishub) DKI sangat tidak memadai. Sebutlah itu IRTI Monas, Carefour Harmoni dan gedung di sekitar Bunderan HI tidak memadai.
Kalau pun ada lahan parkir, umumnya lahar parkir itu disiapkan oleh pemilik untuk kebutuhan internal. Kalau bukan untuk ekternal gedung itu akan enggan menggunakan fasilitas parkir.
Kendala lain dalam ketersediaan infrastruktur pendukung berupa angkutan massal lainnya, seperti mass rapid transit (MRT) belum selesai dikerjakan.
"Sebaiknya larangan untuk sepeda motor dimulai pada 2018 atau pada saat MRT mulai dioperasionalkan. Sehingga pemilik sepeda motor dapat dilayani dengan baik," ungkapnya.
(ysw)