Narkoba di Jakarta Barat masih tinggi
A
A
A
Sindonews.com - Peredaran Narkoba di DKI Jakarta khususnya Jakarta Barat masih terbilang mengkhawatirkan. Sepanjang 2013 sedikitnya tercatat 961 kasus yang berhasil diungkap oleh satuan Narkoba Polres Jakarta Barat. Angka tersebut lebih tinggi dari 2012 lalu yang mencapai 926 kasus.
Kasat Narkoba Polres Jakarta Barat AKBP Gembong Yudha mengatakan berdasarkan catatannya, wilayah Jakarta Barat merupakan wilayah terbesar peredaran narkoba dibanding empat wilayah lainnya di DKI Jakarta. Sebab letak geografis yang berdekatan dengan daerah perbatasan seperti Tangerang dan Banten yang umumnya tidak terpantau, membuat Jakarta Barat menjadi tempat singgah penyimpanan, peredaran dan pembuatan narkotika.
Selain itu, lanjut Gembong, banyaknya tempat hiburan dan pemukiman padat penduduk serta apartemen tanpa pengamanan yang ketat juga sering dijadikan para pelaku narkoba memilih untuk menjadikan Jakarta Barat sebagai tempat yang aman.
"Dari 961 kasus narkoba sepanjang 2013 kami telah mengamankan 1.255 pelaku penyalahgunaan narkoba. 679 diantaranya pemakai, 557 pengedar dan 19 produsen narkoba," kata AKBP Gembong Yudha, Minggu (29/12/2013).
Gembong menjelaskan, untuk mengurangi peredaran narkoba, masyarakat harus berani melaporkan adanya peredaran narkoba di wilayahnya masing-masing. Untuk itu di 2013 ini pihaknya telah membentuk 10 RW antinarkoba yang tersebar di delapan kecamatan Jakarta Barat. Selain itu, para stakeholder tempat hiburan ataupun para pemilik apartemen harus lebih ketat dalam mengawasi penghuninya.
Di Jakarta Barat sendiri, kata Gembong ada tiga kecamatan yang dinilai paling rawan dalam peredaran narkoba, yakni Kecamatan Taman Sari, Cengkareng, dan Kalideres.
"Taman Sari hampir seluruh kecamatan tersebut terdapat tempat hiburan. Sedangkan kecamatan Cengkareng, dan Kalideres, selain daerah perbatasan, kedua kecamatan tersebut terdapat banyak pemukiman padat dan perumahan serta apartemen yang kurang pengawasan. Bahkan di dua kecamatan tersebut kami selalu menangkap bandar kelas kakap," jelasnya.
Dari 961 kasus narkoba yang ditangani, lanjut Gembong, sedikitnya terdapat 41 kasus yang menonjol dengan para bandar kelas kakap. Kasus tersebut rata-rata merupakan industri rumahan dan penyimpanan narkoba hasil impor.
"Sampai 2009 itu masih banyak pabrik yang digerebek. Namun kini, meski masih ada, kebanyakan yang digerebek hanyalah bandar yang memiliki narkoba impor," ujarnya.
Adapun alasan para mafia narkoba memilih narkoba impor, Gembong menjelaskan, para pengedar saat ini lebih berpikir keuntungan dan meredam risiko. Mereka lebih, memilih impor narkoba, sehingga para pengedar bisa menekan biaya dan meredam risiko terendusnya pabrik narkoba.
”Narkoba di Jakarta Barat, banyak dari Cina. Jaringan itu, sebelum masuk barang ke Indonesia, transit dahulu di Malaysia. Biasanya menggunakan jalur darat dan laut,” jelasnya.
Mengenai barang bukti dari 961 kasus narkoba teraebut, Gembong merincikan sedikitnya terdapat 143 kg Ganja, 415 gram heroin, 127 kg sabu-sabu dan 7533 butir ekstasi. Para tersangka kasus narkoba tersebut, terdiri dari anggota polisi sebanyak empat orang, TNI sebanyak satu orang, PNS tiga orang, wiraswasta 234 orang, karyawan 387 orang, mahasiswa 25 orang, dan pelajar 19 orang, dan lain-lain sebanyak 522 orang.
Adapun lokasi yang potensial untuk melakukan transaksi narkoba berada di sarana umum sebanyak 475 kasus, di pemukiman dan Apartemen 436 kasus, tempat hiburan sembilan kasus, hotel 37 kasus, dan pasar empat kasus.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat mengatakan, peredaran narkoba yang terus marak meskipun kepolisian terus melakukan penangkapan narkoba itu terjadi karena banyaknya kegagalan.
Yang pertama, pihak Kepolisian Republik Indonesia gagal mencegah masuknya barang-barang narkoba melalui pintu-pintu kecil pelabuhan. Di Indonesia sendiri dengan 100 lebih pelabuhan kecil yang ada, kepolisian tidak bisa mencegah barang tersebut masuk. Sehingga narkoba terus beredar.
Dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba, kepolisian pun gagal lantaran masih banyaknya korban yang mati akibat narkoba. "50 orang setiap hari meninggal," ujarnya.
Sindikat narkoba itu, lanjut Henry merupakan sebuah jaringan yang sistematis, konsepsual, dan modus yang digunakan selalu berubah-ubah. "Kepolisian belum bisa mengimbangi kecerdikan sindikat narkoba," jelasnya.
Selain itu, Henry juga mengatakan komitmen moral dari para penegak hukum mengenai pemberantasan narkoba masih terbilang rendah.
"Yang terakhir sosialisasi bahaya narkoba, masyarakat elemen apapun harus bisa memberikan sosialisasi akan dampak bahaya narkoba, mereka jangan berpikir kalau tugas memberantas narkoba itu hanya wewenang penegak hukum," tegasnya. (lal)
Kasat Narkoba Polres Jakarta Barat AKBP Gembong Yudha mengatakan berdasarkan catatannya, wilayah Jakarta Barat merupakan wilayah terbesar peredaran narkoba dibanding empat wilayah lainnya di DKI Jakarta. Sebab letak geografis yang berdekatan dengan daerah perbatasan seperti Tangerang dan Banten yang umumnya tidak terpantau, membuat Jakarta Barat menjadi tempat singgah penyimpanan, peredaran dan pembuatan narkotika.
Selain itu, lanjut Gembong, banyaknya tempat hiburan dan pemukiman padat penduduk serta apartemen tanpa pengamanan yang ketat juga sering dijadikan para pelaku narkoba memilih untuk menjadikan Jakarta Barat sebagai tempat yang aman.
"Dari 961 kasus narkoba sepanjang 2013 kami telah mengamankan 1.255 pelaku penyalahgunaan narkoba. 679 diantaranya pemakai, 557 pengedar dan 19 produsen narkoba," kata AKBP Gembong Yudha, Minggu (29/12/2013).
Gembong menjelaskan, untuk mengurangi peredaran narkoba, masyarakat harus berani melaporkan adanya peredaran narkoba di wilayahnya masing-masing. Untuk itu di 2013 ini pihaknya telah membentuk 10 RW antinarkoba yang tersebar di delapan kecamatan Jakarta Barat. Selain itu, para stakeholder tempat hiburan ataupun para pemilik apartemen harus lebih ketat dalam mengawasi penghuninya.
Di Jakarta Barat sendiri, kata Gembong ada tiga kecamatan yang dinilai paling rawan dalam peredaran narkoba, yakni Kecamatan Taman Sari, Cengkareng, dan Kalideres.
"Taman Sari hampir seluruh kecamatan tersebut terdapat tempat hiburan. Sedangkan kecamatan Cengkareng, dan Kalideres, selain daerah perbatasan, kedua kecamatan tersebut terdapat banyak pemukiman padat dan perumahan serta apartemen yang kurang pengawasan. Bahkan di dua kecamatan tersebut kami selalu menangkap bandar kelas kakap," jelasnya.
Dari 961 kasus narkoba yang ditangani, lanjut Gembong, sedikitnya terdapat 41 kasus yang menonjol dengan para bandar kelas kakap. Kasus tersebut rata-rata merupakan industri rumahan dan penyimpanan narkoba hasil impor.
"Sampai 2009 itu masih banyak pabrik yang digerebek. Namun kini, meski masih ada, kebanyakan yang digerebek hanyalah bandar yang memiliki narkoba impor," ujarnya.
Adapun alasan para mafia narkoba memilih narkoba impor, Gembong menjelaskan, para pengedar saat ini lebih berpikir keuntungan dan meredam risiko. Mereka lebih, memilih impor narkoba, sehingga para pengedar bisa menekan biaya dan meredam risiko terendusnya pabrik narkoba.
”Narkoba di Jakarta Barat, banyak dari Cina. Jaringan itu, sebelum masuk barang ke Indonesia, transit dahulu di Malaysia. Biasanya menggunakan jalur darat dan laut,” jelasnya.
Mengenai barang bukti dari 961 kasus narkoba teraebut, Gembong merincikan sedikitnya terdapat 143 kg Ganja, 415 gram heroin, 127 kg sabu-sabu dan 7533 butir ekstasi. Para tersangka kasus narkoba tersebut, terdiri dari anggota polisi sebanyak empat orang, TNI sebanyak satu orang, PNS tiga orang, wiraswasta 234 orang, karyawan 387 orang, mahasiswa 25 orang, dan pelajar 19 orang, dan lain-lain sebanyak 522 orang.
Adapun lokasi yang potensial untuk melakukan transaksi narkoba berada di sarana umum sebanyak 475 kasus, di pemukiman dan Apartemen 436 kasus, tempat hiburan sembilan kasus, hotel 37 kasus, dan pasar empat kasus.
Sementara itu, Ketua Umum Gerakan Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat mengatakan, peredaran narkoba yang terus marak meskipun kepolisian terus melakukan penangkapan narkoba itu terjadi karena banyaknya kegagalan.
Yang pertama, pihak Kepolisian Republik Indonesia gagal mencegah masuknya barang-barang narkoba melalui pintu-pintu kecil pelabuhan. Di Indonesia sendiri dengan 100 lebih pelabuhan kecil yang ada, kepolisian tidak bisa mencegah barang tersebut masuk. Sehingga narkoba terus beredar.
Dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba, kepolisian pun gagal lantaran masih banyaknya korban yang mati akibat narkoba. "50 orang setiap hari meninggal," ujarnya.
Sindikat narkoba itu, lanjut Henry merupakan sebuah jaringan yang sistematis, konsepsual, dan modus yang digunakan selalu berubah-ubah. "Kepolisian belum bisa mengimbangi kecerdikan sindikat narkoba," jelasnya.
Selain itu, Henry juga mengatakan komitmen moral dari para penegak hukum mengenai pemberantasan narkoba masih terbilang rendah.
"Yang terakhir sosialisasi bahaya narkoba, masyarakat elemen apapun harus bisa memberikan sosialisasi akan dampak bahaya narkoba, mereka jangan berpikir kalau tugas memberantas narkoba itu hanya wewenang penegak hukum," tegasnya. (lal)
(hyk)