KPAI menilai korban kekerasan seksual kurang dilindungi
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menganggap, aparat penegak hukum di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum maksimal terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Ketua KPAI Badriyah Fayumi menjelaskan, para korban itu belum mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan serta memadai. Para korban ini kemudian mengalami gangguan tumbuh kembang seperti trauma psikologis dan depresi yang mendalam. Paling parah, korban juga mendapat stigma negatif serta terancam mengalami penyakit kelamin dan gangguan reproduksi.
"Keluarga, sekolah dan lingkungan belum mampu melakukan pencegahan dan penanganan secara efektif, sistemik dan sinergis," kata Badriyah di sela sela acara sidang HAM III di gedung Perpustakanaan Nasional, Jakarta, Kamis (12/12/2013).
Badriyah pun merasa, banyak pelaku kejahatan seksual pada anak bebas melenggang atau bahkan dihukum sangat ringan. Norma-norma hukum yang ada sangat sulit menjerat pelaku dan sangat mudah membebaskannya.
"Kebijakan dan program pemerintah yang diorientasikan untuk mencegah, menangani dan memulihkan anak dari kejahatan seksual juga belum menjadi prioritas. Keadaan ini yang menjadikan anak dalam kerentanan tertinggi dari menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual," jelasnya.
DPR, tambahnya, perlu menyusun sebuah UU yang memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi anak korban kejahatan seksual yang saat ini sulit terlindungi. Hal itu dikarenakan norma hukum yang tidak bisa menjerat pelaku karena kurangnya alay bukti.
"Pembuktian hukum kejahatan seksual semestinya tidak disamakan dengan kejahatan lainnya yang relatif lebih mudah dicarikan barang bukti dan saksi," pungkasnya.
Ketua KPAI Badriyah Fayumi menjelaskan, para korban itu belum mendapatkan hak yang seharusnya mereka dapatkan serta memadai. Para korban ini kemudian mengalami gangguan tumbuh kembang seperti trauma psikologis dan depresi yang mendalam. Paling parah, korban juga mendapat stigma negatif serta terancam mengalami penyakit kelamin dan gangguan reproduksi.
"Keluarga, sekolah dan lingkungan belum mampu melakukan pencegahan dan penanganan secara efektif, sistemik dan sinergis," kata Badriyah di sela sela acara sidang HAM III di gedung Perpustakanaan Nasional, Jakarta, Kamis (12/12/2013).
Badriyah pun merasa, banyak pelaku kejahatan seksual pada anak bebas melenggang atau bahkan dihukum sangat ringan. Norma-norma hukum yang ada sangat sulit menjerat pelaku dan sangat mudah membebaskannya.
"Kebijakan dan program pemerintah yang diorientasikan untuk mencegah, menangani dan memulihkan anak dari kejahatan seksual juga belum menjadi prioritas. Keadaan ini yang menjadikan anak dalam kerentanan tertinggi dari menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual," jelasnya.
DPR, tambahnya, perlu menyusun sebuah UU yang memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi anak korban kejahatan seksual yang saat ini sulit terlindungi. Hal itu dikarenakan norma hukum yang tidak bisa menjerat pelaku karena kurangnya alay bukti.
"Pembuktian hukum kejahatan seksual semestinya tidak disamakan dengan kejahatan lainnya yang relatif lebih mudah dicarikan barang bukti dan saksi," pungkasnya.
(ysw)