Single parent, wanita dipandang sebelah mata
A
A
A
Sindonews.com - Para buruh perempuan menuntut perlakuan yang sama dengan buruh laki-laki. Salah satu contohnya, mereka mengaku ada perbedaan sikap kepada buruh perempuan saat mengajukan kredit di perbankan.
"Saat perempuan menjadi single parent dan tulang punggung, hal seperti ini tidak menjadi perhatian. Bahkan mereka masih melihat adanya bias gender. Kita tidak ingin adanya diskriminasi yang dialami perempuan," ujar Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kota Depok Asri Mulyanita kepada wartawan, Kamis (17/10/2013).
Walaupun sudah ada undang-undang tentang buruh dan Jamsostek, kata Asri, namun kenyataan di lapangan, mereka masih mengalami diskriminasi. Dikatakannya, dari data yang dihimpun Apindo menunjukkan wanita pengusaha di Indonesia usia 25 sampai 44 tahun berada dalam kondisi tanpa pendidikan bisnis khusus, dengan latar pendidikan SD 61 persen, SMP 16 persen, SMA 21 persen.
"Sebanyak 35,2 persen menggunakan modal sendiri, dan sebesar 11,3 persen modal pinjaman bank. Sedangkan Data ADB tahun 2002, menyebut 30 persen UKM didirikan dan dikelola wanita, dan 30 persen lainnya dirikan pria tapi dikelola wanita," ungkapnya.
Menurut aktivis perempuan Gefarina Johan, kondisi pekerja perempuan di Depok dan Bekasi tidak jauh berbeda. Bahkan, pekerja perempuan juga masih dimarjinalkan. Tidak heran, lanjutnya, bila gaji yang mereka terima masih dianggap sebelah mata.
"Buruh yang ada di Depok dan Bekasi masih termarjinalkan. Indikasinya, gaji yang diterima masih dipandang dibedakan dengan laki-laki. Ini yang terus kita perjuangkan," ungkapnya. (mhd)
"Saat perempuan menjadi single parent dan tulang punggung, hal seperti ini tidak menjadi perhatian. Bahkan mereka masih melihat adanya bias gender. Kita tidak ingin adanya diskriminasi yang dialami perempuan," ujar Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Kota Depok Asri Mulyanita kepada wartawan, Kamis (17/10/2013).
Walaupun sudah ada undang-undang tentang buruh dan Jamsostek, kata Asri, namun kenyataan di lapangan, mereka masih mengalami diskriminasi. Dikatakannya, dari data yang dihimpun Apindo menunjukkan wanita pengusaha di Indonesia usia 25 sampai 44 tahun berada dalam kondisi tanpa pendidikan bisnis khusus, dengan latar pendidikan SD 61 persen, SMP 16 persen, SMA 21 persen.
"Sebanyak 35,2 persen menggunakan modal sendiri, dan sebesar 11,3 persen modal pinjaman bank. Sedangkan Data ADB tahun 2002, menyebut 30 persen UKM didirikan dan dikelola wanita, dan 30 persen lainnya dirikan pria tapi dikelola wanita," ungkapnya.
Menurut aktivis perempuan Gefarina Johan, kondisi pekerja perempuan di Depok dan Bekasi tidak jauh berbeda. Bahkan, pekerja perempuan juga masih dimarjinalkan. Tidak heran, lanjutnya, bila gaji yang mereka terima masih dianggap sebelah mata.
"Buruh yang ada di Depok dan Bekasi masih termarjinalkan. Indikasinya, gaji yang diterima masih dipandang dibedakan dengan laki-laki. Ini yang terus kita perjuangkan," ungkapnya. (mhd)
(hyk)