Hukum pidana dianggap efektif tekan angka tawuran
A
A
A
Sindonews.com - Palajar di Indonesia saat ini dianggap masih gemar untuk melakukan aksi tawuran yang menyerang sekolah lain. Alasan jati diri pun menjadi alasan klasik yang mereka gunakan untuk melakukan aksi tersebut.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devi Rahmawati mengungkapkan, kebiasaan tawuran itu pun sudah diwariskan secara turun temurun oleh pendahulu mereka. Sehingga, ada kepercayaan jika suatu sekolah bisa menyerang sekolah lain adalah suatu kebangaan untuk mereka.
"Seseorang baru akan dianggap menjadi siswa dari sekolah itu yang utuh apabila mereka menyerang murid sekolah lainnya," kata Devi saat berbincang dengan Sindonews, Sabtu (5/10/2013).
Oleh karena itulah, kata Devi, jika siswa tersebut sudah termakan pemikirian seperti itu, akan sangat sulit bagi mereka untuk melupakannya. Pendekatan yang bersifat penyuluhan tidak akan lagi efektif untuk digunakan dan menekan maraknya angka tawuran.
"Iimbauan dari orangtua, guru, atau pihak-pihak lainnya biasanya akan dianggap sebagai gangguan dari pihak luar, yang dianggap tidak mengerti dengan persoalan 'dendam antarsekolah'. Akibatnya pendekatan yang sifatnya pengajaran moral seperti ini cenderung tidak digubris," paparnya.
Devi kemudian menyarankan sebuah perubahan sistem untuk menekan tawuran di Indonesia khususnya di Jakarta ini. Perubahan itu bisa diawali dengan kebijakan internal sekolah.
"Mau tidak mau, kebijakan yang perlu diambil mesti bersifat perombakan sistem dan skema pergerakan siswa yang menyebabkan mereka tak mungkin mewariskan kultur kekerasan ke generasi selanjutnya atau berfriksi dengan sekolah lainnya," tukasnya.
Tak hanya langkah perubahan mekanisme, Devi pun menegaskan bahwa langkah pidana adalah langkah yang cukup solutif untuk memberi efek jera kepada siswa yang akan melakukan aksi tawuran.
"Selain itu pemidanaan serius serta ancaman bahwa catatan kriminal akan berdampak buruk bagi masa depan para siswa juga dapat menjadi kebijakan yang diambil," pungkasnya.
Pengamat sosial budaya Universitas Indonesia (UI) Devi Rahmawati mengungkapkan, kebiasaan tawuran itu pun sudah diwariskan secara turun temurun oleh pendahulu mereka. Sehingga, ada kepercayaan jika suatu sekolah bisa menyerang sekolah lain adalah suatu kebangaan untuk mereka.
"Seseorang baru akan dianggap menjadi siswa dari sekolah itu yang utuh apabila mereka menyerang murid sekolah lainnya," kata Devi saat berbincang dengan Sindonews, Sabtu (5/10/2013).
Oleh karena itulah, kata Devi, jika siswa tersebut sudah termakan pemikirian seperti itu, akan sangat sulit bagi mereka untuk melupakannya. Pendekatan yang bersifat penyuluhan tidak akan lagi efektif untuk digunakan dan menekan maraknya angka tawuran.
"Iimbauan dari orangtua, guru, atau pihak-pihak lainnya biasanya akan dianggap sebagai gangguan dari pihak luar, yang dianggap tidak mengerti dengan persoalan 'dendam antarsekolah'. Akibatnya pendekatan yang sifatnya pengajaran moral seperti ini cenderung tidak digubris," paparnya.
Devi kemudian menyarankan sebuah perubahan sistem untuk menekan tawuran di Indonesia khususnya di Jakarta ini. Perubahan itu bisa diawali dengan kebijakan internal sekolah.
"Mau tidak mau, kebijakan yang perlu diambil mesti bersifat perombakan sistem dan skema pergerakan siswa yang menyebabkan mereka tak mungkin mewariskan kultur kekerasan ke generasi selanjutnya atau berfriksi dengan sekolah lainnya," tukasnya.
Tak hanya langkah perubahan mekanisme, Devi pun menegaskan bahwa langkah pidana adalah langkah yang cukup solutif untuk memberi efek jera kepada siswa yang akan melakukan aksi tawuran.
"Selain itu pemidanaan serius serta ancaman bahwa catatan kriminal akan berdampak buruk bagi masa depan para siswa juga dapat menjadi kebijakan yang diambil," pungkasnya.
(mhd)