Kejagung pelajari pelanggaran jaringan frekuensi empat operator
A
A
A
Sindonews.com - Kasus dugaan tindak pidana korupsi penggunaan jaringaan frekuensi, yang melibatkan empat operator seluler beserta 16 perusahaan Internet Service Provider (ISP), masih terus berlanjut.
Menurut Setia Untung Arimuadi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, sampai kini masih mempelajari kasus dugaan korupsi, yang merugikan keuangan negara mencapai Rp16,8 triliun.
"Laporan akan kasus ini sedang ditelaah Pidsus Kejagung," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Setia Untung Arimuadi.
Kuasa hukum pelapor, Rolas Budiman Sitinjak, menilai, dalam kasus ini Kejagung seharusnya tak perlu lagi kesulitan menindaklanjuti laporan tersebut. Mengingat, kasus ini dianggap sama dengan kasus yang kini tengah ditangani Kejagung, yakni, dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan internet 3G di frekuensi 2.1 GHz antara Indosat dan anak usahanya, IM2.
"Kami sudah menyerahkan data dan bukti-bukti surat lainnya, jadi harusnya tidak ada permasalahan lagi untuk ditindaklanjuti," katanya.
Meski demikian, kata Rolas, pihaknya akan menunggu jawaban dari Kejagung atas laporan tersebut. Sebab, sesuai peraturan, tindak lanjut dari laporan diberikan waktu 60 hari setelah kasus dilaporkan.
"Kita sudah melaporkan kasus ini ke Kejagung sejak 18 Februari 2013. Sekarang, kita tunggu saja jawaban dari Kejagung," paparnya.
Ia menjelaskan, inti dari laporan yang dilayangkan pihaknya berisi dugaan tindak pidana korupsi, pada tubuh penyelenggara Jaringan telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi dengan modus Perjanjian Kerja Sama terhadap Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
Dalam laporan itu, disebutkan jika mereka tidak membayarkan Biaya Hak Penggunaan (BHP) kepada Negara, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara hingga miliaran rupiah.
"Atau dengan kata lain setiap Penyelenggara Jasa Telekomunikasi yang menggunakan frekuensi yang biasanya dilakukan Internet Service Provider (ISP), seharusnya wajib membayar BHP kepada Negara," terangnya.
Bila tidak, sambung Rolas, maka yang terjadi mereka telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun berdasarkan hitungan dari beberapa bahan yang kami dapatkan. Antara lain White Paper BHP Pita Frekuensi Ditjen Postel tahun 2009, untuk FWA (Fiexed Wireless Access) dan perhitungan Pemenang 3G untuk Operator GSM sebanyak Rp320 miliar pertahun," tutupnya.
Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat Realisasi Implementasi Pemberantasan Kolusi, Korupsi & Nepotisme (LSM RIP-KKN), juga melaporkan lima operator telepon seluler dan 16 perusahaan IVP terkait dugaan penggunaan jaringan frekuensi, yang disinyalir telah berlangsung sejak 2004 sampai sekarang.
Keempat operator yang dilaporkan itu terdiri dari Telkomsel Flash dengan Frekuensi 3G, XL Axiata dengan Frekuensi 3G, Indosat 3G dan Bakrie Telekom (FWA) dengan mempergunakan Fixed Wireless Access.
Sementara laporan terhadap 16 ISP meliputi Indonet, IM2, AT&T LSP, Sistelindo, BizNet, CBN, Central Online, Centrin Online, IPNet, Jalawave, Radnet, Cepatnet/Moratel, Quasar, Andalas Internet dan Lintasarta (Anak Perusahaan Indosat).
Menurut Setia Untung Arimuadi Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, sampai kini masih mempelajari kasus dugaan korupsi, yang merugikan keuangan negara mencapai Rp16,8 triliun.
"Laporan akan kasus ini sedang ditelaah Pidsus Kejagung," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Setia Untung Arimuadi.
Kuasa hukum pelapor, Rolas Budiman Sitinjak, menilai, dalam kasus ini Kejagung seharusnya tak perlu lagi kesulitan menindaklanjuti laporan tersebut. Mengingat, kasus ini dianggap sama dengan kasus yang kini tengah ditangani Kejagung, yakni, dugaan tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan internet 3G di frekuensi 2.1 GHz antara Indosat dan anak usahanya, IM2.
"Kami sudah menyerahkan data dan bukti-bukti surat lainnya, jadi harusnya tidak ada permasalahan lagi untuk ditindaklanjuti," katanya.
Meski demikian, kata Rolas, pihaknya akan menunggu jawaban dari Kejagung atas laporan tersebut. Sebab, sesuai peraturan, tindak lanjut dari laporan diberikan waktu 60 hari setelah kasus dilaporkan.
"Kita sudah melaporkan kasus ini ke Kejagung sejak 18 Februari 2013. Sekarang, kita tunggu saja jawaban dari Kejagung," paparnya.
Ia menjelaskan, inti dari laporan yang dilayangkan pihaknya berisi dugaan tindak pidana korupsi, pada tubuh penyelenggara Jaringan telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi dengan modus Perjanjian Kerja Sama terhadap Penyelenggara Jasa Telekomunikasi.
Dalam laporan itu, disebutkan jika mereka tidak membayarkan Biaya Hak Penggunaan (BHP) kepada Negara, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian negara hingga miliaran rupiah.
"Atau dengan kata lain setiap Penyelenggara Jasa Telekomunikasi yang menggunakan frekuensi yang biasanya dilakukan Internet Service Provider (ISP), seharusnya wajib membayar BHP kepada Negara," terangnya.
Bila tidak, sambung Rolas, maka yang terjadi mereka telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun berdasarkan hitungan dari beberapa bahan yang kami dapatkan. Antara lain White Paper BHP Pita Frekuensi Ditjen Postel tahun 2009, untuk FWA (Fiexed Wireless Access) dan perhitungan Pemenang 3G untuk Operator GSM sebanyak Rp320 miliar pertahun," tutupnya.
Sebelumnya, Lembaga Swadaya Masyarakat Realisasi Implementasi Pemberantasan Kolusi, Korupsi & Nepotisme (LSM RIP-KKN), juga melaporkan lima operator telepon seluler dan 16 perusahaan IVP terkait dugaan penggunaan jaringan frekuensi, yang disinyalir telah berlangsung sejak 2004 sampai sekarang.
Keempat operator yang dilaporkan itu terdiri dari Telkomsel Flash dengan Frekuensi 3G, XL Axiata dengan Frekuensi 3G, Indosat 3G dan Bakrie Telekom (FWA) dengan mempergunakan Fixed Wireless Access.
Sementara laporan terhadap 16 ISP meliputi Indonet, IM2, AT&T LSP, Sistelindo, BizNet, CBN, Central Online, Centrin Online, IPNet, Jalawave, Radnet, Cepatnet/Moratel, Quasar, Andalas Internet dan Lintasarta (Anak Perusahaan Indosat).
(stb)