Kasus ibu bunuh anak, periksa pelaku ke psikiater
A
A
A
Sindonews.com - Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Muhammad Mustofa mengatakan, kasus ibu membunuh anaknya dengan alasan kemaluannya kecil masuk kategori kasus khusus. Karena hal ini tidak mencerminkan gejala sosial karena jarang terjadi. Sehingga pendapat psikiater sangat penting dalam proses pemeriksaan kasus itu.
"Hasil dari psikiater harus ada. Kalau ada gangguan kejiwaan maka tidak bisa dihukum," kata Mustofa, kepada wartawan di Depok, Rabu (27/2/2013).
Kendati demikian, proses hukum tetap berjalan. Hanya saja, pada putusannya nanti jika memang pelaku terbukti mengalami gangguan kejiwaan, maka tidak dapat dikenakan hukuman kurungan badan. Melainkan dikenakan rehabilitasi di rumah sakit jiwa (RSJ).
Sama halnya seperti pengguna narkotik yang seharusnya dikenakan rehabilitasi. Dalam kasus ini, pelaku terkesan melakukan pembunuhan secara terencana. Misalnya dengan memiliki niat menghabisi anaknya.
"Namun, yang perlu diperhatikan apakah pembunuhan dilakukan dengan sadar atau tidak? Secara proses hukumnya memang tetap berjalan, tapi dibarengi dengan pemeriksaan juga dari psikiater," tukasnya.
Pemeriksaan ini, dalam beberapa kasus sering kali terlewati. Karena keterbatasan pemahaman penyidik. Mustofa menilai, dalam kasus ini ada yang menarik. Pasalnya, pelaku justru menyerahkan diri pada polisi.
"Kalau orang yang sadar melakukan kejahatan justru akan menghilangkan jejak. Kalau ini justru melaporkan dirinya sendiri," tandas Mustofa.
Dalam menangani kasus seperti ini, penyidik diminta lebih cermat. Jika ada hal yang diluar kewajaran, maka sebaiknya disertai dengan pemeriksaan psikiater. Dalam UU Gangguan Jiwa, disebutkan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa direhabilitasi di RSJ dengan waktu maksimal satu tahun.
"Batasan waktu ini yang harusnya direvisi. Karena belum tentu orang bisa sembuh dalam waktu setahun. Ada orang yang gangguan kejiwaannya tidak bisa disembuhkan," tutupnya.
"Hasil dari psikiater harus ada. Kalau ada gangguan kejiwaan maka tidak bisa dihukum," kata Mustofa, kepada wartawan di Depok, Rabu (27/2/2013).
Kendati demikian, proses hukum tetap berjalan. Hanya saja, pada putusannya nanti jika memang pelaku terbukti mengalami gangguan kejiwaan, maka tidak dapat dikenakan hukuman kurungan badan. Melainkan dikenakan rehabilitasi di rumah sakit jiwa (RSJ).
Sama halnya seperti pengguna narkotik yang seharusnya dikenakan rehabilitasi. Dalam kasus ini, pelaku terkesan melakukan pembunuhan secara terencana. Misalnya dengan memiliki niat menghabisi anaknya.
"Namun, yang perlu diperhatikan apakah pembunuhan dilakukan dengan sadar atau tidak? Secara proses hukumnya memang tetap berjalan, tapi dibarengi dengan pemeriksaan juga dari psikiater," tukasnya.
Pemeriksaan ini, dalam beberapa kasus sering kali terlewati. Karena keterbatasan pemahaman penyidik. Mustofa menilai, dalam kasus ini ada yang menarik. Pasalnya, pelaku justru menyerahkan diri pada polisi.
"Kalau orang yang sadar melakukan kejahatan justru akan menghilangkan jejak. Kalau ini justru melaporkan dirinya sendiri," tandas Mustofa.
Dalam menangani kasus seperti ini, penyidik diminta lebih cermat. Jika ada hal yang diluar kewajaran, maka sebaiknya disertai dengan pemeriksaan psikiater. Dalam UU Gangguan Jiwa, disebutkan bahwa orang yang mengalami gangguan jiwa direhabilitasi di RSJ dengan waktu maksimal satu tahun.
"Batasan waktu ini yang harusnya direvisi. Karena belum tentu orang bisa sembuh dalam waktu setahun. Ada orang yang gangguan kejiwaannya tidak bisa disembuhkan," tutupnya.
(san)