Pelaku pencabulan anggap dirinya manusia super
A
A
A
Sindonews.com - Maraknya kasus pelecehan seksual yang menimpa anak-anak, mengindikasikan lemahnya posisi anak sehingga rentan menjadi korban. Untuk itu, orang tua harus lebih memperhatikan anak-anaknya. Siapa saja teman mereka dan dengan siapa mereka berinteraksi.
Karena jika lepas dari perhatian, anak-anak selalu jadi korban. Baik korban kekerasan maupun pelecehan seksual. Seperti yang terjadi di Depok. Sebanyak 15 bocah laki-laki di Perumahan Grand Depok City (GDC), sektor Melati, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Cilodong, menjadi korban pelecehan seksual.
Pelaku tega melakukan hal tak senonoh pada bocah-bocah di sekitar rumahnya. Modus yang dilakukan seperti yang pernah dilakukan pelaku pelecehan seksual lainnya.
W yang berjualan makanan ringan kerap mengiming-imingin jajanan pada anak-anak. Dia dikenal pemurah di hadapan korbannya. Pria asal Malang, Jawa Timur, itu sering memberikan makanan pada para korban. Dia juga tak segan memberikan jajanan dengan cara dihutangi. Maksudnya, agar para korban terus datang ke rumah yang dihuni dari rekannya.
Di rumah itu, W melakukan pelecehan terhadap para korban. Menanggapi hal itu, Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Nathanael Sumampouw menilai, dalam berbagai kasus anak-anak adalah sebagai korban.
Anak-anak adalah kaum yang lemah sehingga rentan menjadi korban. Kelemahan tersebut dimanfaatkan pelaku dan di sisi lain pelaku menciptakan sendiri persepsi bahwa dirinya memiliki kekuatan.
"Ada abuse of power sehingga saat pelaku berbuat tindak kejahatan, maka anak-anak sebagai kaum lemah tak dapat berbuat apa-apa," kata Nael kepada wartawan di Depok, Rabu (20/2/2013).
Pelaku, sambung dia, menciptakan persepsi kekuatan itu dengan pola pikirnya sendiri. Mereka juga bersikap baik dengan tujuan mendapatkan tempat di sisi waktu korban. Ketika sudah tercipta pola tersendiri dalam benak anak-anak, pelaku kemudian memanfaatkan untuk berbuat kejahatan.
"Saat itulah pelaku menganggap dirinya sebagai super power," tukasnya.
Dalam banyak kasus yang terjadi, biasanya orang yang berbuat seperti ini memiliki gangguan. Namun tidak semua pelaku seperti itu. "Orang dewasa yang berbuat seperti itu adalah orang yang tidak mampu mengelola diri dan memiliki keterbatasan ilmu," ungkapnya.
Karena jika lepas dari perhatian, anak-anak selalu jadi korban. Baik korban kekerasan maupun pelecehan seksual. Seperti yang terjadi di Depok. Sebanyak 15 bocah laki-laki di Perumahan Grand Depok City (GDC), sektor Melati, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Cilodong, menjadi korban pelecehan seksual.
Pelaku tega melakukan hal tak senonoh pada bocah-bocah di sekitar rumahnya. Modus yang dilakukan seperti yang pernah dilakukan pelaku pelecehan seksual lainnya.
W yang berjualan makanan ringan kerap mengiming-imingin jajanan pada anak-anak. Dia dikenal pemurah di hadapan korbannya. Pria asal Malang, Jawa Timur, itu sering memberikan makanan pada para korban. Dia juga tak segan memberikan jajanan dengan cara dihutangi. Maksudnya, agar para korban terus datang ke rumah yang dihuni dari rekannya.
Di rumah itu, W melakukan pelecehan terhadap para korban. Menanggapi hal itu, Psikolog dari Universitas Indonesia (UI) Nathanael Sumampouw menilai, dalam berbagai kasus anak-anak adalah sebagai korban.
Anak-anak adalah kaum yang lemah sehingga rentan menjadi korban. Kelemahan tersebut dimanfaatkan pelaku dan di sisi lain pelaku menciptakan sendiri persepsi bahwa dirinya memiliki kekuatan.
"Ada abuse of power sehingga saat pelaku berbuat tindak kejahatan, maka anak-anak sebagai kaum lemah tak dapat berbuat apa-apa," kata Nael kepada wartawan di Depok, Rabu (20/2/2013).
Pelaku, sambung dia, menciptakan persepsi kekuatan itu dengan pola pikirnya sendiri. Mereka juga bersikap baik dengan tujuan mendapatkan tempat di sisi waktu korban. Ketika sudah tercipta pola tersendiri dalam benak anak-anak, pelaku kemudian memanfaatkan untuk berbuat kejahatan.
"Saat itulah pelaku menganggap dirinya sebagai super power," tukasnya.
Dalam banyak kasus yang terjadi, biasanya orang yang berbuat seperti ini memiliki gangguan. Namun tidak semua pelaku seperti itu. "Orang dewasa yang berbuat seperti itu adalah orang yang tidak mampu mengelola diri dan memiliki keterbatasan ilmu," ungkapnya.
(san)