Telkomsel tolak putusan PN Niaga Jakpus
A
A
A
Sindonews.com - Operator seluler PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) menyatakan menolak pembayaran fee kurator senilai Rp146,808 miliar yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat melalui Putusan Penetapan (PP) No. 48/Pailit/2012/PN. Niaga JKT.PST jo No.704K/Pdt.Sus/2012.
“Kami menolak membayar fee kurator karena terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam penetapan yang dikeluarkan PN Niaga Jakarta Pusat, tertanggal 31 Januari 2013,” ujar Tim Kuasa Hukum Telkomsel Andri W. Kusumah, kepada Sindonews, Selasa (12/2/2013).
Dijelaskan Andri, terdapat beberapa alasan kuat untuk melakukan penolakan terhadap penetapan fee kurator yang diputuskan oleh PN Niaga Jakarta pusat itu.
Pertama, bahwa kepailitan Telkomsel telah dibatalkan. Sehingga tidak ada tindakan pemberesan yang dilakukan kurator. Kedua, fee kurator menjadi beban Pemohon Pailit (PT Prima Jaya Informatika) karena Telkomsel batal pailit sebagaimana yang diatur pada pasal 2 ayat (1) huruf c permenkumham No 1 Tahun 2013, 11 Januari 2013.
Ketiga, fee kurator menjadi beban dari pemohon pailit, sebab tugas kurator baru berakhir (menjalankan kewajiban hukumnya) dengan melakukan pengumuman atas batalnya kepailitan Telkomsel pada 14 Januari 2013.
“Hak kurator baru terbit ketika telah berakhir menjalankan kewajiban tersebut, sehingga yang berlaku adalah permenkumham No 1 Tahun 2013,” katanya.
Kelima, kurator mengajukan permohonan penetapan fee dan biaya kepalitan tanggal 22 Januari 2013 dan penetapan hakim pada 31 Januari 2013 (No. 48/Pailit/2012/PN. Niaga. Jkt. Pst jo No. 704K/pdt.Sus/2012). Karena pengajuan permohonan terjadi setelah adanya Permenkumham No 1/2013, yang dipakai seharusnya peraturan tersebut.
Dikatakannya, penetapan fee kurator sangatlah tidak wajar dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Kepatutan dan kepantasan sebab fee kurator tersebut dihitung dari nilai persentase nilai aset Telkomsel, sementara faktanya tidak terjadi pailit atas Telkomsel jadi sesungguhnya tidak ada pemberesan harta.
“Bagi kami besaran fee kurator sangat tidak wajar karena berdasarkan penetapan hakim adalah sebesar Rp293.616.135.000 (0,5 % X Rp58.723.227.000.000 aset Telkomsel) yang dibagi dua antara Telkomsel dengan pemohon pailit sehingga masing-masing dibebankan sebesar Rp146.808 miliar,” tegasnya.
Pasalnya, karena tidak terjadi pailit, maka baik mempergunakan ketentuan Kepmen Kehakiman No M.09-HT.05.10/1998 lama maupun Permenkumham No 1 Tahun 2013 yang baru, seharusnya perhitungan fee kurator adalah berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan persentase aset pailit.
Terakhir, hal lain yang aneh dalam penetapan pembayaran fee kurator itu menurut Andri, adalah Majelis Hakim baik dalam pertimbangan maupun amar putusan tetap menggunakan istilah Telkomsel dalam pailit. Sementara majelis hakim telah mengetahui status kepailitan Telkomsel telah dibatalkan berdasarkan putusan kasasi.
“Berdasarkan fakta-fakta yang kami paparkan, maka kita berpandangan penetapan tersebut adalah cacat dan patut dibatalkan,” tegasnya.
“Kami menolak membayar fee kurator karena terdapat kejanggalan-kejanggalan dalam penetapan yang dikeluarkan PN Niaga Jakarta Pusat, tertanggal 31 Januari 2013,” ujar Tim Kuasa Hukum Telkomsel Andri W. Kusumah, kepada Sindonews, Selasa (12/2/2013).
Dijelaskan Andri, terdapat beberapa alasan kuat untuk melakukan penolakan terhadap penetapan fee kurator yang diputuskan oleh PN Niaga Jakarta pusat itu.
Pertama, bahwa kepailitan Telkomsel telah dibatalkan. Sehingga tidak ada tindakan pemberesan yang dilakukan kurator. Kedua, fee kurator menjadi beban Pemohon Pailit (PT Prima Jaya Informatika) karena Telkomsel batal pailit sebagaimana yang diatur pada pasal 2 ayat (1) huruf c permenkumham No 1 Tahun 2013, 11 Januari 2013.
Ketiga, fee kurator menjadi beban dari pemohon pailit, sebab tugas kurator baru berakhir (menjalankan kewajiban hukumnya) dengan melakukan pengumuman atas batalnya kepailitan Telkomsel pada 14 Januari 2013.
“Hak kurator baru terbit ketika telah berakhir menjalankan kewajiban tersebut, sehingga yang berlaku adalah permenkumham No 1 Tahun 2013,” katanya.
Kelima, kurator mengajukan permohonan penetapan fee dan biaya kepalitan tanggal 22 Januari 2013 dan penetapan hakim pada 31 Januari 2013 (No. 48/Pailit/2012/PN. Niaga. Jkt. Pst jo No. 704K/pdt.Sus/2012). Karena pengajuan permohonan terjadi setelah adanya Permenkumham No 1/2013, yang dipakai seharusnya peraturan tersebut.
Dikatakannya, penetapan fee kurator sangatlah tidak wajar dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Kepatutan dan kepantasan sebab fee kurator tersebut dihitung dari nilai persentase nilai aset Telkomsel, sementara faktanya tidak terjadi pailit atas Telkomsel jadi sesungguhnya tidak ada pemberesan harta.
“Bagi kami besaran fee kurator sangat tidak wajar karena berdasarkan penetapan hakim adalah sebesar Rp293.616.135.000 (0,5 % X Rp58.723.227.000.000 aset Telkomsel) yang dibagi dua antara Telkomsel dengan pemohon pailit sehingga masing-masing dibebankan sebesar Rp146.808 miliar,” tegasnya.
Pasalnya, karena tidak terjadi pailit, maka baik mempergunakan ketentuan Kepmen Kehakiman No M.09-HT.05.10/1998 lama maupun Permenkumham No 1 Tahun 2013 yang baru, seharusnya perhitungan fee kurator adalah berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan persentase aset pailit.
Terakhir, hal lain yang aneh dalam penetapan pembayaran fee kurator itu menurut Andri, adalah Majelis Hakim baik dalam pertimbangan maupun amar putusan tetap menggunakan istilah Telkomsel dalam pailit. Sementara majelis hakim telah mengetahui status kepailitan Telkomsel telah dibatalkan berdasarkan putusan kasasi.
“Berdasarkan fakta-fakta yang kami paparkan, maka kita berpandangan penetapan tersebut adalah cacat dan patut dibatalkan,” tegasnya.
(san)