Gratifikasi seks berpotensi korupsi
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diapresiasi oleh banyak pihak, dengan memasukkan kategori pemberian hadiah wanita kepada pejabat termasuk bentuk gratifikasi seks.
Pengamat Sosial dan Peneliti Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, kebijakan KPK tersebut memang bisa dikaitkan dengan potensi korupsi.
Devie mencontohkan, budaya wanita dapat memuluskan sebuah rencana para pejabat dalam sebuah tender, bukan hanya terjadi pada saat ini. Namun bahkan sudah terjadi sejak zaman Romawi kuno.
"Bukan hanya terjadi di Indonesia, pada zaman Romawi kita lihat Cleopatra berupaya sekuat tenaga untuk taklukan cesar. Ini merupakan kemajuan besar sebagai upaya bongkar kasus korupsi, kita patut apresiasi KPK," tegasnya kepada wartawan, Jumat (11/01/2013).
Devie menilai gratifikasi seks dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi, jika bisa mempengaruhi kebijakan dan memuluskan proyek. Bahkan Devie menyebutnya hal itu dilakukan sebagai bentuk rekreasi politik.
"Ini sudah jadi rahasia umum dan banyak dilakukan, karena sebagai bentuk rekreasi politik. Sebab kita tahu dunia politik memiliki tingkat stres yang begitu tinggi," ungkapnya.
Namun untuk menelusurinya, lanjut Devie, penyidik KPK harus dibekali lebih dalam dan lihai dalam menginvestigasi gratifikasi seks. Dengan diungkapkan ke masyarakat, kata Devie, hal itu bisa membuat publik untuk ikut mengawasi.
"Kalau itu bisa membuat proyek gol atau meluluskan proyek, itu disebut gratifikasi. Pejabat paling rentan terkena skandal, apalagi kalau itu sanpai rugikan keuangan negara, ranah pribadi. Publik juga bisa turut awasi publik, bukan hanya mengawasi rekening dan rumah yang dibangun tidak wajar misalnya," imbuhnya.
Pengamat Sosial dan Peneliti Kajian Budaya Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, kebijakan KPK tersebut memang bisa dikaitkan dengan potensi korupsi.
Devie mencontohkan, budaya wanita dapat memuluskan sebuah rencana para pejabat dalam sebuah tender, bukan hanya terjadi pada saat ini. Namun bahkan sudah terjadi sejak zaman Romawi kuno.
"Bukan hanya terjadi di Indonesia, pada zaman Romawi kita lihat Cleopatra berupaya sekuat tenaga untuk taklukan cesar. Ini merupakan kemajuan besar sebagai upaya bongkar kasus korupsi, kita patut apresiasi KPK," tegasnya kepada wartawan, Jumat (11/01/2013).
Devie menilai gratifikasi seks dapat dikategorikan sebagai bentuk korupsi, jika bisa mempengaruhi kebijakan dan memuluskan proyek. Bahkan Devie menyebutnya hal itu dilakukan sebagai bentuk rekreasi politik.
"Ini sudah jadi rahasia umum dan banyak dilakukan, karena sebagai bentuk rekreasi politik. Sebab kita tahu dunia politik memiliki tingkat stres yang begitu tinggi," ungkapnya.
Namun untuk menelusurinya, lanjut Devie, penyidik KPK harus dibekali lebih dalam dan lihai dalam menginvestigasi gratifikasi seks. Dengan diungkapkan ke masyarakat, kata Devie, hal itu bisa membuat publik untuk ikut mengawasi.
"Kalau itu bisa membuat proyek gol atau meluluskan proyek, itu disebut gratifikasi. Pejabat paling rentan terkena skandal, apalagi kalau itu sanpai rugikan keuangan negara, ranah pribadi. Publik juga bisa turut awasi publik, bukan hanya mengawasi rekening dan rumah yang dibangun tidak wajar misalnya," imbuhnya.
(mhd)