Mudah dapat izin, peredaran senpi tak terkendali
A
A
A
Sindonews.com - Peredaran senjata api (senpi) sudah tidak terkendali dan semakin meresahkan. Pemerintah dan kepolisian diminta segera menertibkan keberadaan senpi yang sudah sangat mengganggu ketenteraman masyarakat tersebut.
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Ade Erlangga Masdiana meminta perizinan kepemilikan senpi harus dilakukan secara ketat. Dia menilai screening yang dilakukan pihak kepolisian untuk penerbitan izin kepemilikan senpi selama ini sangat longgar.
"Harusnya (izin kepemilikan senpi) untuk Perbakin saja, tidak usah kepada masyarakatsipil, nantinya akanada efek-efek yang sudah kita lihat sekarang. Harus ada kebijakan dari polisi untuk menghentikan tindakan-tindakan yang sudah meresahkan masyarakat," kata Erlangga di Jakarta, tadi malam.
Seminggu terakhir ini, masyarakat dikejutkan dengan berbagai aksi tidak bertanggung jawab yang menggunakan senpi.Salah satunya, aksi pengusaha Iswahyudi Sahari yang diduga mengancam seorang karyawan kafe dengan menggunakan senpi (selengkapnya lihat grafis).
Kasus tersebut merupakan dampak buruk dari maraknya peredaran senpi dan sikap tak bertanggung jawab para pemegangnya. Data yang dirilis Imparsial menyebutkan kurang lebih 46 kasus penyalahgunaan senpi baik yang dilakukan aparat keamanan maupun masyarakat sipil dari tahun 2005 hingga 2012. Bahkan, menurut Imparsial, data versi Polri sepanjang 2009 hingga 2011 kepolisian telah menangani 453 kasus penggunaan senpi ilegal.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai maraknya peredaran senpi ini dipicu ketidaktegasan polisi. Padahal pada 2005, kata Pane, Kapolri Jenderal Pol Sutanto memutuskan untuk melarang warga sipil memiliki senpi.
"Polisi bersikap ganda dalam menyikapi kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Melarang, tapi di sisi lain diam-diam ada pembiaran terhadap (warga) sipil untuk memiliki senjata api," ujar Neta.
Bahkan, ujar Neta, dari kepemilikan senpi oleh warga sipil, Polri melakukan pungutan untuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang per tahunnya mencapai ratusan miliar rupiah. Akibat sikap menduaini, Polri menjadi tidak tegas dalam membasmi keberadaan senpi yang dipegang warga sipil.
"Sehingga senjata rakitan dan senjata selundupan kian marak. Aksi kriminal bersenjata muncul di mana-mana. Dalam kondisi ini masyarakat sipil yang memiliki senjata maupun aparat keamanan yang sedang tidak bertugas menjadi paranoid dan ke mana-mana membawa senjata apinya," jelas Neta.
Untuk mengatasi ini, pemerintah harus mencabut PP PNBP yang mengatur senpi. Dari PNBP senjata, menurut catatan IPW, pemerintah mendapat pemasukan Rp1,5 juta per senjata setiap tahunnya. Akibat adanya PBNP ini, Polri punya dalih untuk mengizinkan warga sipil memegang senpi.
"Dan maraknya aksi koboikoboian belakangan ini tidak terlepas dari sikap masyarakat yang mencontoh aksi koboi-koboian yang dipertontonkan Polri belakangan ini," tuturnya.
IPW menyebutkan sedikitnya ada 8.000 senjata gelap yang beredar di kalangan masyarakat sipil. Senjata-senjata itu ada yang awalnya legal, tetapi belakangan menjadi ilegal karena izinnya tak lagi diperpanjang Polri serta ada senjata milik purnawirawan TNI dan Polri.
Sementara senjata ilegal yang banyak beredar adalah berupa selundupan, rakitan, dan sisa-sisa dari daerah konflik. "Yang paling banyak adalah rakitan. Asalnya memang dari senjata tua yang rusak dan digudangkan oleh TNI dan Polri, tetapi ada oknum mengambil bagian-bagian tertentu lantas dikanibal menjadi rakitan," jelas Neta. (san)
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Ade Erlangga Masdiana meminta perizinan kepemilikan senpi harus dilakukan secara ketat. Dia menilai screening yang dilakukan pihak kepolisian untuk penerbitan izin kepemilikan senpi selama ini sangat longgar.
"Harusnya (izin kepemilikan senpi) untuk Perbakin saja, tidak usah kepada masyarakatsipil, nantinya akanada efek-efek yang sudah kita lihat sekarang. Harus ada kebijakan dari polisi untuk menghentikan tindakan-tindakan yang sudah meresahkan masyarakat," kata Erlangga di Jakarta, tadi malam.
Seminggu terakhir ini, masyarakat dikejutkan dengan berbagai aksi tidak bertanggung jawab yang menggunakan senpi.Salah satunya, aksi pengusaha Iswahyudi Sahari yang diduga mengancam seorang karyawan kafe dengan menggunakan senpi (selengkapnya lihat grafis).
Kasus tersebut merupakan dampak buruk dari maraknya peredaran senpi dan sikap tak bertanggung jawab para pemegangnya. Data yang dirilis Imparsial menyebutkan kurang lebih 46 kasus penyalahgunaan senpi baik yang dilakukan aparat keamanan maupun masyarakat sipil dari tahun 2005 hingga 2012. Bahkan, menurut Imparsial, data versi Polri sepanjang 2009 hingga 2011 kepolisian telah menangani 453 kasus penggunaan senpi ilegal.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menilai maraknya peredaran senpi ini dipicu ketidaktegasan polisi. Padahal pada 2005, kata Pane, Kapolri Jenderal Pol Sutanto memutuskan untuk melarang warga sipil memiliki senpi.
"Polisi bersikap ganda dalam menyikapi kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil. Melarang, tapi di sisi lain diam-diam ada pembiaran terhadap (warga) sipil untuk memiliki senjata api," ujar Neta.
Bahkan, ujar Neta, dari kepemilikan senpi oleh warga sipil, Polri melakukan pungutan untuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang per tahunnya mencapai ratusan miliar rupiah. Akibat sikap menduaini, Polri menjadi tidak tegas dalam membasmi keberadaan senpi yang dipegang warga sipil.
"Sehingga senjata rakitan dan senjata selundupan kian marak. Aksi kriminal bersenjata muncul di mana-mana. Dalam kondisi ini masyarakat sipil yang memiliki senjata maupun aparat keamanan yang sedang tidak bertugas menjadi paranoid dan ke mana-mana membawa senjata apinya," jelas Neta.
Untuk mengatasi ini, pemerintah harus mencabut PP PNBP yang mengatur senpi. Dari PNBP senjata, menurut catatan IPW, pemerintah mendapat pemasukan Rp1,5 juta per senjata setiap tahunnya. Akibat adanya PBNP ini, Polri punya dalih untuk mengizinkan warga sipil memegang senpi.
"Dan maraknya aksi koboikoboian belakangan ini tidak terlepas dari sikap masyarakat yang mencontoh aksi koboi-koboian yang dipertontonkan Polri belakangan ini," tuturnya.
IPW menyebutkan sedikitnya ada 8.000 senjata gelap yang beredar di kalangan masyarakat sipil. Senjata-senjata itu ada yang awalnya legal, tetapi belakangan menjadi ilegal karena izinnya tak lagi diperpanjang Polri serta ada senjata milik purnawirawan TNI dan Polri.
Sementara senjata ilegal yang banyak beredar adalah berupa selundupan, rakitan, dan sisa-sisa dari daerah konflik. "Yang paling banyak adalah rakitan. Asalnya memang dari senjata tua yang rusak dan digudangkan oleh TNI dan Polri, tetapi ada oknum mengambil bagian-bagian tertentu lantas dikanibal menjadi rakitan," jelas Neta. (san)
()