Cost politic menurut Gun Gun Heryanto
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat politik Gun-Gun Heryanto saat ini melihat telah terjadi berbagai upaya untuk mengaburkan praktik money politic oleh kandidat calon gubernur (cagub) DKI Jakarta, salah satunya pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.
"Mengaburkan istilah money politic yang secara hukum dan sosial tidak bermasalah. Istilah 'cost politic' kan dianggap netral dan sah apa adanya. Namun kita harus amati pergerakan para kandidat jangan sampai 'cost politic' yang mereka lakukan sesungguhnya dalam rangka 'voter buying' dengan beragam bentuknya," ujarnya kepada Sindonews melalui pesan singkatnya, Jumat (4/5/2012)
Gun yakin, cagub itu tak akan bermain di money politic. "Mengingat, demokrasi elektoral kita masih kerap diposisikan sebagai pasar bebas atau pasar lelang suara," tuturnya.
Sehingga, logika pemilu itu adalah logika akumulasi ekonomi, sesuai dengan logika pasar. Maka saat partai dan pasangan kandidat baru bekerja mempersuasi (ajakan) khalayak dalam jeda waktu yang berdekatan dengan hari pencontrengan, maka khalayak pemilih pun kerap memaknai relasi mereka dengan kandidat seperti relasi pedagang dan pembeli. Sehingga, menurutnya politik akan berubah menjadi 'high cost'.
"Kedua, tradisi partai yang masih dominan dalam tradisi feodal dan oligarkis, bukan berdasarkan sistem kaderisasi dan bekerja di komunitas-komunitas basis konstitituen,"imbuhnya.
Akibatnya, sambung dia, politik menjadi sangat elitis dan menjadi mahal saat harus mengkonversikan suara rakyat dalam pemilihan. "Jadi, menurut saya memang biaya politik itu sebuah kewajaran, tapi biaya politik yang wajar itu bisa dipantau pergerakannya untuk tidak dimanfaatkan sebagai entry bagi kegiatan-kegiatan 'voter buying',"pungkasnya.(lin)
"Mengaburkan istilah money politic yang secara hukum dan sosial tidak bermasalah. Istilah 'cost politic' kan dianggap netral dan sah apa adanya. Namun kita harus amati pergerakan para kandidat jangan sampai 'cost politic' yang mereka lakukan sesungguhnya dalam rangka 'voter buying' dengan beragam bentuknya," ujarnya kepada Sindonews melalui pesan singkatnya, Jumat (4/5/2012)
Gun yakin, cagub itu tak akan bermain di money politic. "Mengingat, demokrasi elektoral kita masih kerap diposisikan sebagai pasar bebas atau pasar lelang suara," tuturnya.
Sehingga, logika pemilu itu adalah logika akumulasi ekonomi, sesuai dengan logika pasar. Maka saat partai dan pasangan kandidat baru bekerja mempersuasi (ajakan) khalayak dalam jeda waktu yang berdekatan dengan hari pencontrengan, maka khalayak pemilih pun kerap memaknai relasi mereka dengan kandidat seperti relasi pedagang dan pembeli. Sehingga, menurutnya politik akan berubah menjadi 'high cost'.
"Kedua, tradisi partai yang masih dominan dalam tradisi feodal dan oligarkis, bukan berdasarkan sistem kaderisasi dan bekerja di komunitas-komunitas basis konstitituen,"imbuhnya.
Akibatnya, sambung dia, politik menjadi sangat elitis dan menjadi mahal saat harus mengkonversikan suara rakyat dalam pemilihan. "Jadi, menurut saya memang biaya politik itu sebuah kewajaran, tapi biaya politik yang wajar itu bisa dipantau pergerakannya untuk tidak dimanfaatkan sebagai entry bagi kegiatan-kegiatan 'voter buying',"pungkasnya.(lin)
()