Dialogkan kenaikan BBM melalui kampus
A
A
A
Sindonews.com - Rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bakal memicu gelombang demonstrasi di mana-mana sudah diprediksi jauh hari. Pemerintah barangkali telah siap mengantisipasi kemungkinan terburuk akan terjadi akibat kebijakan menaikkan harga BBM itu.
Pengamat politik Gun-Gun Heryanto mengatakan, kenaikan BBM sebenarnya memang bukan isu populis bagi masyarakat. Namun, kenaikan itu tentu akan menohok hajat hidup orang banyak.
"Secara psiko politis ini juga akan mengganggu kenyamanan penguasa. Meskipun substansi kenaikan BBM itu sendiri bisa dipahami dalam konteks pilihan-pilihan sulit pemerintah terkait beban APBN untuk subsidi BBM," ujar Gun Gun kepada Sindonews melalui pesan singkatnya, Kamis (15/3/2012).
Dalam kondisi itu sendiri sebenarnya, pemerintah merasa gamang. Sedangkan kegamangan menjelang kenaikan sudah menstimulasi resistensi terutama dari kelompok berperhatian (attentive public), pressure group, media, sebagian figur politik dan sebagian partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Jadi ini bukan lagi soal substansi bahwa BBM layak naik atau tidak, ini persoalan 'Uncertainty and Unxiety Management' atau manajemen ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mereduksi beban psiko-politis dari kenaikan BBM itu," tambahnya.
Akhirnya problem yang muncul terdapat pada proses komunikasi politik dan komunikasi sosial yang dibangun oleh pemerintah. Cara-cara represif untuk mereduksi resistensi sebagian khalayak atas rencana kenaikan BBM itu menjadi salah.
"Karena jika rezim represif atas ekspresi ketidaksetujuan sebagian rakyat atas kebijakan yang dibuatnya maka akan memantik gerakan politik yang meluas. Terlebih jika gerakan anti kenaikan BBM itu menemukan agenda yang sama antar elemen gerakan," tambahnya.
Menurut Gun Gun, yang harus dilakukan pemerintah dengan mekanisme dialog-dialog, Forum Grouo Dialog (FGD), mengefektifkan jejaring informasi dan sosialiasi.
"Cara-cara yang ditempuh dengan dialog seperti dengan rektor-rektor itu menurut saya malah bagus dan konstruktif. Selama tidak diorientasikan untuk memberangus para aktivis kampus seperti di era Soeharto. Dan, saya kira tak mungkin lagi cara-cara seprti itu efektif dilakukan pada rektor-rektor dan kampus-kampus yang ada sekarang," jelasnya.(lin)
Pengamat politik Gun-Gun Heryanto mengatakan, kenaikan BBM sebenarnya memang bukan isu populis bagi masyarakat. Namun, kenaikan itu tentu akan menohok hajat hidup orang banyak.
"Secara psiko politis ini juga akan mengganggu kenyamanan penguasa. Meskipun substansi kenaikan BBM itu sendiri bisa dipahami dalam konteks pilihan-pilihan sulit pemerintah terkait beban APBN untuk subsidi BBM," ujar Gun Gun kepada Sindonews melalui pesan singkatnya, Kamis (15/3/2012).
Dalam kondisi itu sendiri sebenarnya, pemerintah merasa gamang. Sedangkan kegamangan menjelang kenaikan sudah menstimulasi resistensi terutama dari kelompok berperhatian (attentive public), pressure group, media, sebagian figur politik dan sebagian partai di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Jadi ini bukan lagi soal substansi bahwa BBM layak naik atau tidak, ini persoalan 'Uncertainty and Unxiety Management' atau manajemen ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mereduksi beban psiko-politis dari kenaikan BBM itu," tambahnya.
Akhirnya problem yang muncul terdapat pada proses komunikasi politik dan komunikasi sosial yang dibangun oleh pemerintah. Cara-cara represif untuk mereduksi resistensi sebagian khalayak atas rencana kenaikan BBM itu menjadi salah.
"Karena jika rezim represif atas ekspresi ketidaksetujuan sebagian rakyat atas kebijakan yang dibuatnya maka akan memantik gerakan politik yang meluas. Terlebih jika gerakan anti kenaikan BBM itu menemukan agenda yang sama antar elemen gerakan," tambahnya.
Menurut Gun Gun, yang harus dilakukan pemerintah dengan mekanisme dialog-dialog, Forum Grouo Dialog (FGD), mengefektifkan jejaring informasi dan sosialiasi.
"Cara-cara yang ditempuh dengan dialog seperti dengan rektor-rektor itu menurut saya malah bagus dan konstruktif. Selama tidak diorientasikan untuk memberangus para aktivis kampus seperti di era Soeharto. Dan, saya kira tak mungkin lagi cara-cara seprti itu efektif dilakukan pada rektor-rektor dan kampus-kampus yang ada sekarang," jelasnya.(lin)
()