Pemda diminta jangan gusur warga Kelurahan Tangki
A
A
A
Sindonews.com - Wali kota Jakarta Barat diminta mencabut surat peringatan pertama dan rencana pembongkaran perumahan warga kelurahan Tangki, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Selain itu, gubernur juga didesak untuk mencabut segala perturan yang dianggap mengabaikan hak rakyat. Penggunaan keputusan gubernur yang represif terhadap rakyat menunjukkan bahwa gubernur DKI Jakarta melakukan politik pembiaran terhadap aparaturnya yang menggunakan keputusan-keputusan gubernur sebagai dasar hukum untuk menghilangkan hak-hak rakyat.
"Bahwa surat perintah Wali kota itu didasarkan pada sejumlah peraturan yaitu Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2010 Tentang Bangunan, Peraturan Gubernur Nomor 46 Tahun 2006 Tentang Pelimpahan Wewenang Sebagian Urusan Pemerintah Daerah dari Gubernur kepada Wali Kota/Bupati Kabupaten, Camat dan Lurah, Keputusan Gubernur DKI Nomor 886 Tahun 1983 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan Tanah Tanpa Hak di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta," ujar anggota Komisi II DPR Arif Wibowo dalam keterangan persnya, Kamis (15/3/2012).
"Dan keputusan gubernur nomor 1068 tahun 1991 tentang petunjuk pelaksanaan penertiban kegiatan membangun dan menggunakan bangunan di DKI Jakarta," tambah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Dia menjelaskan, warga di Rt 09, 10, 11, dan 12 Kelurahan Tangki, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat sudah menempati lokasi tersebut turun-temurun sejak tahun 1947. Bahkan ada pula yang menempati lokasi itu sejak tahun 1930-an.
Warga keturunan tionghoa ini menempati tanah tersebut dengan dasar garapan, jual-beli, verklaring, dan lain-lain. Namun penguasaan mereka yang umumnya telah lebih dari 65 tahun itu terusik oleh adanya klaim dari pihak lain yaitu Atjeng Syamsoejadi melalui kuasa khususnya bernama Soetanto Leo.
Namun, tanah yang ditempati warga diklaim berada di atas tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 357 atas nama Atjeng Syamsoejadi yang didapatkannya dari membeli tanah pada pemilik awal yaitu Tan Lian Thian seluas 2.285 meter persegi.
Status tanah tersebut berasal dari konversi dari hak eigendom nomOr E.824 tanggal 26 Agustus Tahun 1966. Atjeng memberikan surat kuasa khusus untuk melakukan pembongkaran kepada Sutanto Leo yang selanjutnya meminta perlindungan hukum kepada Walikota Jakarta Barat.
"Bahwa proses mediasi sengketa baru dilakukan sebanyak enam kali dan belum ditemukan titik temu mengenai aspek historis penguasaan tanah dan juga aspek legal. Bahwa Kantor Pertanahan Jakarta Barat telah melakukan pengukuran lokasi tanpa persetujuan warga tanggal 28 Oktober 2011 dan atas protes warga dilakukan peninjuan ulang lokasi pada tanggal 2 Februari 2012," jelasnya.
Selain itu, gubernur juga didesak untuk mencabut segala perturan yang dianggap mengabaikan hak rakyat. Penggunaan keputusan gubernur yang represif terhadap rakyat menunjukkan bahwa gubernur DKI Jakarta melakukan politik pembiaran terhadap aparaturnya yang menggunakan keputusan-keputusan gubernur sebagai dasar hukum untuk menghilangkan hak-hak rakyat.
"Bahwa surat perintah Wali kota itu didasarkan pada sejumlah peraturan yaitu Perda DKI Jakarta No. 7 Tahun 2010 Tentang Bangunan, Peraturan Gubernur Nomor 46 Tahun 2006 Tentang Pelimpahan Wewenang Sebagian Urusan Pemerintah Daerah dari Gubernur kepada Wali Kota/Bupati Kabupaten, Camat dan Lurah, Keputusan Gubernur DKI Nomor 886 Tahun 1983 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan Tanah Tanpa Hak di Wilayah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta," ujar anggota Komisi II DPR Arif Wibowo dalam keterangan persnya, Kamis (15/3/2012).
"Dan keputusan gubernur nomor 1068 tahun 1991 tentang petunjuk pelaksanaan penertiban kegiatan membangun dan menggunakan bangunan di DKI Jakarta," tambah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Dia menjelaskan, warga di Rt 09, 10, 11, dan 12 Kelurahan Tangki, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat sudah menempati lokasi tersebut turun-temurun sejak tahun 1947. Bahkan ada pula yang menempati lokasi itu sejak tahun 1930-an.
Warga keturunan tionghoa ini menempati tanah tersebut dengan dasar garapan, jual-beli, verklaring, dan lain-lain. Namun penguasaan mereka yang umumnya telah lebih dari 65 tahun itu terusik oleh adanya klaim dari pihak lain yaitu Atjeng Syamsoejadi melalui kuasa khususnya bernama Soetanto Leo.
Namun, tanah yang ditempati warga diklaim berada di atas tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 357 atas nama Atjeng Syamsoejadi yang didapatkannya dari membeli tanah pada pemilik awal yaitu Tan Lian Thian seluas 2.285 meter persegi.
Status tanah tersebut berasal dari konversi dari hak eigendom nomOr E.824 tanggal 26 Agustus Tahun 1966. Atjeng memberikan surat kuasa khusus untuk melakukan pembongkaran kepada Sutanto Leo yang selanjutnya meminta perlindungan hukum kepada Walikota Jakarta Barat.
"Bahwa proses mediasi sengketa baru dilakukan sebanyak enam kali dan belum ditemukan titik temu mengenai aspek historis penguasaan tanah dan juga aspek legal. Bahwa Kantor Pertanahan Jakarta Barat telah melakukan pengukuran lokasi tanpa persetujuan warga tanggal 28 Oktober 2011 dan atas protes warga dilakukan peninjuan ulang lokasi pada tanggal 2 Februari 2012," jelasnya.
()