Soal Perda Miras, Mendagri abaikan kearifan lokal
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi VIII DPR Jazuli Juwaini sangat menyayangkan di tengah upaya bersama menyemai moralitas anak bangsa muncul berita pembatalan perda tentang minuman keras di sejumlah daerah oleh Kementerian Dalam Negeri.
Menurut dia, jika hal ini benar adalah sesuatu yang ironis, karena banyak kasus kriminalitas di tengah-tengah masyarakat selalu ada kaitannya atau dipicu minuman keras. "Minuman keras jelas mudharat-nya, tidak ada manfaatnya," tandas Jazuli dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Kamis (12/1/2012).
Dengan demikian, ketika satu daerah membuat perda pembatasan peredaran minuman beralkohol, sudah selayaknya semua pihak melihat spiritnya untuk menjaga kebaikan moral masyarakat. “Khususnya anak-anak kita,” kata politikus PKS asal Banten ini.
Jazuli mengatakan, seharusnya Mendagri memperhatikan semangat dan kearifan lokal masyarakat tersebut sehingga dalam evaluasinya terhadap sejumlah perda miras dapat lebih jernih dan konstruktif.
Apalagi, kata dia, perda ini termasuk sensitif di tengah-tengah masyarakat kita yang agamis. Hampir seluruh masyarakat dipastikan mendukung perda semacam ini karena dampaknya bagi perbaikan masyarakat. “Karena itu seharusnya mendagri berhati-hati dalam melakukan verifikasi dan evaluasi,” ujarnya.
Dalam sejumlah pemberitaan, Perda Miras yang dicabut oleh Mendagri antara lain Perda No 7 tahun 2005 di Kota Tangerang, Perda No 15 tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda No 11 tahun 2010 di Kota Bandung.
Jazuli juga mempertanyakan apa alasan Mendagri menertibkan dan membatalkan perda-perda tersebut? Karena itu, Mendagri harus menjelaskan sebaik-baiknya untuk menjernihkan permasalahannya ini. "Agar isu ini tidak berkembang menjadi kontraproduktif seolah-olah pemerintah mendukung peredaran miras di tengah-tengah masyarakat,” jelanya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan, pihaknya tidak pernah membatalkan perda, karena bukan kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Mendagri hanya memiliki kewenangan mengevaluasi dan memverifikasi.
Dijelaskan Reydonnyzar, pemerintah provinsi (pemprov) pernah membuat Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang perda. Setelah dievaluasi, rupanya aturan UU itu menindas. "Isi dalam perda itu rezimnya represif, bahkan terdapat larangan yang kontraproduktif dengan iklim investasi," kata Reydoonyzar.
Sehingga Pemerintah Pusat merevisi UU tersebut dan mengganti dengan UU 32 tahun 2004 tentang perda. Dalam perda yang sudah direvisi itu, aturannya lebih bersifat ke arah pencegahan.
"Jadi yang kita lakukan adalah merevisi UU no 22 mengganti UU 32, yang bersifat rezimnya preventif. Pusat memang punya kewajiban mengklarifikasi dan evaluasi setiap perda yang dikeluarkan," imbunya.
Ditegaskan lagi, banyak perda yang dibatalkan, karena dinilai memberatkan masyarakat. Baru-baru ini terdapat UU No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan restribusi, saat ini masih dievaluasi.
Tahun 2010, Pemerintah Pusat sudah mengingatkan pemprov soal adanya 407 perda yang tak sesuai dengan UU yang berlaku. Sedangkan tahun ini terdapat 351 perda, 9 diantaranya Perda miras.
Menurut dia, jika hal ini benar adalah sesuatu yang ironis, karena banyak kasus kriminalitas di tengah-tengah masyarakat selalu ada kaitannya atau dipicu minuman keras. "Minuman keras jelas mudharat-nya, tidak ada manfaatnya," tandas Jazuli dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Kamis (12/1/2012).
Dengan demikian, ketika satu daerah membuat perda pembatasan peredaran minuman beralkohol, sudah selayaknya semua pihak melihat spiritnya untuk menjaga kebaikan moral masyarakat. “Khususnya anak-anak kita,” kata politikus PKS asal Banten ini.
Jazuli mengatakan, seharusnya Mendagri memperhatikan semangat dan kearifan lokal masyarakat tersebut sehingga dalam evaluasinya terhadap sejumlah perda miras dapat lebih jernih dan konstruktif.
Apalagi, kata dia, perda ini termasuk sensitif di tengah-tengah masyarakat kita yang agamis. Hampir seluruh masyarakat dipastikan mendukung perda semacam ini karena dampaknya bagi perbaikan masyarakat. “Karena itu seharusnya mendagri berhati-hati dalam melakukan verifikasi dan evaluasi,” ujarnya.
Dalam sejumlah pemberitaan, Perda Miras yang dicabut oleh Mendagri antara lain Perda No 7 tahun 2005 di Kota Tangerang, Perda No 15 tahun 2006 di Kabupaten Indramayu, dan Perda No 11 tahun 2010 di Kota Bandung.
Jazuli juga mempertanyakan apa alasan Mendagri menertibkan dan membatalkan perda-perda tersebut? Karena itu, Mendagri harus menjelaskan sebaik-baiknya untuk menjernihkan permasalahannya ini. "Agar isu ini tidak berkembang menjadi kontraproduktif seolah-olah pemerintah mendukung peredaran miras di tengah-tengah masyarakat,” jelanya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek mengatakan, pihaknya tidak pernah membatalkan perda, karena bukan kewenangan Kementerian Dalam Negeri. Mendagri hanya memiliki kewenangan mengevaluasi dan memverifikasi.
Dijelaskan Reydonnyzar, pemerintah provinsi (pemprov) pernah membuat Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang perda. Setelah dievaluasi, rupanya aturan UU itu menindas. "Isi dalam perda itu rezimnya represif, bahkan terdapat larangan yang kontraproduktif dengan iklim investasi," kata Reydoonyzar.
Sehingga Pemerintah Pusat merevisi UU tersebut dan mengganti dengan UU 32 tahun 2004 tentang perda. Dalam perda yang sudah direvisi itu, aturannya lebih bersifat ke arah pencegahan.
"Jadi yang kita lakukan adalah merevisi UU no 22 mengganti UU 32, yang bersifat rezimnya preventif. Pusat memang punya kewajiban mengklarifikasi dan evaluasi setiap perda yang dikeluarkan," imbunya.
Ditegaskan lagi, banyak perda yang dibatalkan, karena dinilai memberatkan masyarakat. Baru-baru ini terdapat UU No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan restribusi, saat ini masih dievaluasi.
Tahun 2010, Pemerintah Pusat sudah mengingatkan pemprov soal adanya 407 perda yang tak sesuai dengan UU yang berlaku. Sedangkan tahun ini terdapat 351 perda, 9 diantaranya Perda miras.
()