Impian Jakarta miliki monorel sirna

Selasa, 20 September 2011 - 16:27 WIB
Impian Jakarta miliki monorel sirna
Impian Jakarta miliki monorel sirna
A A A
Sindonews.com - Tiang-tiang beton yang menjulang di ruas Jalan HR Rasuna Said dan Jalan Asia Afrika, kini menjadi saksi bisu kegagalan megaproyek monorel. Benar, akhirnya proyek impian monorel harus terhenti.

Setelah mangkrak sekian lama akibat krisis pendanaan, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo memastikan proyek monorel dipastikan berhenti. Hal itu menyusul kebijakan Pemerintah DKI Jakarta yang pengakhiran masa perjanjian terhadap konsesi dengan PT Jakarta Monorel.

Atas penghentian perjanjian ini, pengembang meminta penggantian biaya investasi Rp600 miliar. Namun, permintaan itu ditolak Gubernur Foke. Pemprov akan mengganti sesuai rekomendasi dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyatakan, ganti rugi dapat dibayarkan kepada investor monorel maksimal Rp204 miliar.

Sebagai gantinya, Pemprov DKI tengah memikirkan moda alternatif lainnya yang lebih baik dengan biaya pembangunan yang tidak terlalu tinggi. Kendati demikian, pemerintah DKI tetap akan memanfaatkan keberadaan tiang jalan layang yang semula akan digunakan untuk perlintasan monorel.

Mau tidak mau, Jakarta memang membutuhkan layanan transportasi massal. Persoalan kemacetan lalu lintas di Jakarta selama ini tidak pernah tuntas. Pertambahan warga Jakarta selalu tidak bisa diikuti peningkatan pelayanan di sektor transportasi yang memadai.

Sebenarnya berbagai gagasan sempat dilempar utuk mengurai benang kusut persoalan transportasi di Ibu Kota ini, selain proyek monorel. Misalnya, Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto (1987-1992) pernah melontarkan ide pengoperasian O-bahn, yakni bus terpadu berupa rangkaian bus gandeng yang berjalan di atas track tersendiri di luar jalur yang ada. Model ini bisa ditemui di Tokyo, Jepang. Trayek O-bahn mengambil jalur Kota-Blok M, seperti yang dilalui Transjakarta saat ini.

Untuk mewujudkan proyek besar ini, Pemprov kemudian menggandeng PT Citra-Summa, sebuah konsorsium yang dibentuk Grup Bimantara dan Summa. Namun, proyek O-bahn mandeg dan tak jelas juntrungannya akibat konsorsium tak mampu menyediakan dana pembangunan yang (saat itu) nilainya diperkirakan mencapai Rp190 miliar.

Di masa Gubernur Surjadi Soedirdja (1992-1997), juga muncul konsep subway atau kereta bawah tanah yang menghubungkan Kota-Blok M dengan 17 stasiun pemberhentiannya. Rencananya, proyek subway tersebut dilaksanakan tahun 1997.

Di masa Surjadi, juga sempat terlontar rencana pembangunan triple decker yang membelah Kota Jakarta. Proyek ini dikerjakan PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Konsorsium ini dipimpin pengusaha Siti Hardijanti Rukmana untuk membangun sarana angkutan massal tersebut dengan nilai investasi USD5,8 triliun.

Sementara untuk proyek subway atau kereta bawah tanah dengan total investasi USD3 miliar, melalui investor perusahaan Indonesia-Jepang dan Eropa, yang dipimpin dua pengusaha nasional Aburizal Bakrie dan Fadel Muhammad.

Akhir tahun 1997, pemerintah menyetujui pembangunan Terminal Terpadu Manggarai (TTM). Investor dalam pembangunan TTM ini terdiri atas tujuh perusahaan yang dipimpin PT Citrautama Mitrajaya Mardisentono milik Siti Hardijanti Rukmana. Dana yang dibutuhkan sebesar USD285 juta.

TTM ini rencananya dibangun di atas tanah seluas 124 hektare dan 72 hektare merupakan tanah milik Perumka. Namun, semua rencana proyek mengatasi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota itu hanya tinggal mimpi. Tidak ada satu pun yang terwujudkan.

Pemerintah juga pernah merencanakan pembangunan monorel. Proyek ini mangkrak karena masalah jaminan dari Pemprov DKI. Padahal, Bank Islamic Dubai sudah siap mengucurkan dananya. Akibatnya, proyek ini hanya menyisakan monumen yang tak sedap dipandang mata di sepanjang Jalan HR Rasuna Said dan Jalan Asia Afrika, Jakarta.

Monorel ini rencananya dibagi menjadi dua jalur, jalur hijau dan jalur biru, dan diperkirakan dapat mengangkut 120 ribu orang per hari. Monorel jalur hijau sepanjang 14,2 kilometer akan melayani Semanggi-Kuningan. Jalur biru sepanjang 12,2 kilometer melayani Kampung Melayu-Casablanca-Tanah Abang-Roxy.

Gubernur DKI Fauzi Bowo mengatakan, proyek monorel tidak bisa dilanjutkan karena membutuhkan biaya penyelesaian yang besar. Proyek monorel Jakarta diperkirakan akan memakan biaya USD650 juta yang terdiri atas jalur hijau 14,8 kilometer rute melingkar dan jalur biru 13 km rute timur-barat.

Tersendatnya proyek monorail sebenarnya telah diprediksi oleh banyak pakar transportasi. Prakiraan proyek ini mandek didasarkan pada banyaknya kajian yang menyatakan sistem angkutan umum massal jenis ini memerlukan dukungan subsidi yang besar dari pemerintah. Jadi sejak awal sudah salah.

Kegagalan lainnya menimpa angkutan waterway yang menyusuri Kali Ciliwung dengan rute Halimun-Dukuh Atas. Waterway merupakan salah satu alternatif angkutan yang dirancang Pemprov DKI dalam Pola Transportasi Makro. Waterway sempat dioperasikan mulai Manggarai sampai Muara Angke itu, akan terintegrasi dengan moda transportasi lainnya, seperti bus jalur khusus (busway).

Efektivitas waterway juga dipertanyakan. Dari minimnya penumpang, penumpukan sampah dan air Sungai Ciliwung yang bau, menjadi penghambat bagi pengguna jasa kapal motor. Nasib transportasi sungai ini kini hanya tinggal kenangan. Dua kapal yang pernah dioperasikan terpaksa dikirim kembali ke Kepulauan Seribu.

Angkutan sungai sudah gagal total. Monorel semakin tidak jelas dengan tiang-tiangnya yang merana di pusat kota terpadat di Nusantara. Ada juga benarnya jika masyarakat menuding pekerjaan ini hanya mengejar proyek.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Bambang Susantono bahkan mengistilahkan dengan myway. Yakni, warga memilih caranya sendiri dalam bertransportasi meski melanggar aturan. Alhasil, dari busway, waterway, railway, dan kini subway atau mass rapid transit, kita berharap tidak berujung myway.

Editor: Dadan M Ramdan
Laporan: -
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3073 seconds (0.1#10.140)