Pupus permusuhan abadi SMA 6 dan SMA 70

Selasa, 20 September 2011 - 13:51 WIB
Pupus permusuhan abadi SMA 6 dan SMA 70
Pupus permusuhan abadi SMA 6 dan SMA 70
A A A
Sindonews.com - Mengerikan. Itulah ungkapan saat menyaksikan aksi tawuran antarpelajar. Bagaimana tidak, remaja tanggung ini ketika duduk di kursi ruang kelas dan mendengarkan uraian materi dari guru, begitu polos, lugu, serta santun.

Tapi saat di jalanan dengan pakaian masih sama saat di ruang kelas, mereka berubah total. Brutal dan beringas, layaknya preman yang mengamuk lantaran wilayah kekuasaannya diganggu. Dalam tawuran, senjata yang mereka bawa juga sama dengan preman yang terlibat tawuran berdarah seperti di Jalan Ampera Raya, tak jauh dari Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, beberapa waktu yang lalu.

Ada pedang, golok, pisau belati, gear, bandul sabuk, yang dijadikan alat untuk melukai musuh. Sungguh menakutkan, bukan? Alhasil, bagi orangtua, bulu kudu begidik, merinding apabila menyaksikan anak semata wayang menjelma bak preman sadis yang siap mengeksekusi korbannya.

Memang tak bisa dipungkiri, tawuran pelajar di ibu kota merupakan fenomena sosial yang memprihatinkan. Tak hanya menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa. Akibat tawuran, tak sedikit murid yang terpaksa masuk bui untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, padahal mereka harusnya sekolah. Tawuran juga berdampak sosial karena menimbulkan keresahan di masyarakat.

Kasus kekerasan ini di Jakarta memang cukup tinggi. Berdasarkan data Pusat Pengendalian Gangguan Sosial DKI Jakarta, pelajar SD, SMP, dan SMA, yang terlibat tawuran sebanyak 1.318 siswa dari total 1.647.835 siswa di DKI Jakarta. Bahkan, 26 siswa di antaranya meninggal dunia.

Tawuran pelajar paling anyar terjadi di Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan, antara pelajar SMA 70 dan 56. Tawuran ini bukan kali pertama, tapi bisa di bilang sering terjadi. Kedua sekolah itu saling berdekatan dan bermusuhan secara abadi. Kedua sekolah ini berdekatan dan berjarak hanya 200 meter, tepat berada di kawasan pusat perbelanjaan Blok M, dan bersebelahan dengan Gedung Bundar Kejaksaan Agung.

Biasanya, mereka tawuran memanfaatkan waktu selepas pulang sekolah hingga petang hari. Para pelajar ini bergerombol atau nongkrong di sekitar lokasi sekolah. Tawuran pecah hanya karena masalah sepele, seperti saling ejek atau rebutan pacar. Anda yang pernah duduk di bangku sekolah tentu paham istilah siswa gang yang suka memalak?

Pelakunya adalah pelajar senior, sedangkan korban merupakan yuniornya yang masih satu sekolah atau beda sekolah. Malak dengan ancaman fisik memaksa korban untuk menyerahkan uangnya. Bila tidak terima, korban mengadu ke kelompok lain, sehingga berujung bentrokan. Diketahui, tawuran antara murid SMA 6 dengan SMA 70 sudah berlangsung sejak lama. SMA 6 didirikan pada 1952 atas pelopor dari Martodipuro dibantu tokoh masyarakat setempat.

Sementara itu SMA 70 Jakarta merupakan gabungan 2 SMA Negeri yaitu SMA Negeri 9 dan SMA Negeri 11 yang masing-masing berdiri tahun 1959 dan 1960. Sesuai SK Menteri P dan K Nomor : 025/0/80 pada tanggal 3 Oktober 1981 SMA 70 berdiri. Mulai belajar tanggal 5 Oktober 1981 dan sekaligus sebagai Hari Ulang Tahun SMA Negeri 70 Jakarta.

"Permusuhan SMA 6 dan 70 seperti diwariskan, turun-temurun selalu terjadi berulang. Kita akan lakukan pemetaan dengan kalangan profesional, kita akan coba cari akar persoalan SMA 70 dengan SMA 6 itu apa," ungkap Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Imam Sugianto.

Kendati demikian, kepolisian belum bisa menganalisa akar masalah dari konflik kedua sekolah itu. Imam juga membantah jika pihaknya tidak berusaha mencegah tradisi kekerasan tersebut terus berulang. Upaya pencegahan dilakukan dengan cara mendirikan pos polisi.

Menurutnya, penganiayaan terhadap wartawan oleh pelajar adalah buntut dari tradisi tawuran antara SMA 6 dengan SMA 70. Sebab itu, dalam menyelesaikannya tidak hanya aspek hukum namun moral semua pihak yang terkait. Wacana pemindahan sekolah perlu dipertimbangkan untuk mencegah tawuran. "Mungkin saja (pemindahan sekolah) dilakukan kalau itu salah satu cara yang tepat. Nanti akan kita rekomendasikan," ujarnya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Maria Ulfah Anshor mengatakan, dalam kasus bentrok antara wartawan dengan siswa SMA 6, maka sebagai pengelola harus bertanggung jawab. Pihak kepala sekolah harus bertanggung jawab. Bahwa yang melakukan tindakan adalah anak memang iya, tapi dia kepala sekolah sebagai orang yang mengelola sekolah harus bertanggung jawab," katanya.

Mantan politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini mengatakan, ketika siswa sangat "liar" dalam mengekspresikan emosinya, maka ada yang harus ditinjau kembali dalam keluarga atau sistem pendidikannya. "Harus ditinjau kembali terkait pembentukan karakter siswa di rumah atau di sekolah," ujarnya.

Maria Ulfah menambahkan, salah satu yang harus diusahakan sekolah agar kekerasan yang dilakukan siswa tidak menjadi kebiasaan adalah meningkatkan bimbingan konseling melalui guru Bimbingan Konseling (BK). Menurutnya, bimbingan dari guru BK tidak hanya dilakukan ketika siswa ada masalah, tapi juga ketika siswa belum memunyai masalah. "Jadi guru BK harus proaktif konseling justru ketika anak lagi belum ada masalah karena itu bisa memotivasi potensi anak. Daripada atasi anak ketika anak sudah punya masalah," tutup Maria.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun angkat bicara. SBY meminta agar polisi melakukan langkah preventif agar bentrokan serupa tidak kembali terulang kembali. "Cegah jangan sampai ada benturan begitu, negara kita rawan soal begitu di seluruh Indonesia, ya harus pakai pencegahnya. Tapi begitu kejadiannya ya harus diselesaikan dengan baik supaya ada pelajaran yang berharga," katanya.

Hal senada diutarakan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, yang berharap polisi termasuk pihak sekolah melakukan upaya preventif untuk menghindari tawuran antarpelajar. "Saya kira ini harus diserahkan pada kepolisian. Saya kira polisi dari dulu sudah bertindak tegas. Cuma kan masyarakat kita banyak, ada yang terjangkau dengan cepat ada yang tidak," tuturnya.

Menurut Patrialis, siapapun pelanggar hukum harus ditindak tegas meski pelaku adalah pelajar. Harus dong ditindak tegas. Tidak boleh orang melanggar hukum. Tidak ada pengecualian, tapi nanti pemberian sanksinya itu yang bagaimana yang harus dipikirkan," sambungnya.

Editor: Dadan M Ramdan
Laporan: Tri Kurniawan-K Yudha Wirakusuma (Okezone), Kholil Rokhman (Koran Sindo)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4273 seconds (0.1#10.140)