Wartawan pun terseret tradisi tawuran pelajar

Senin, 19 September 2011 - 18:34 WIB
Wartawan pun terseret tradisi tawuran pelajar
Wartawan pun terseret tradisi tawuran pelajar
A A A
Sindonews.com - Fenomena tawuran memang menjadi protret buram kehidupan warga ibu kota. Tak hanya remaja, orang dewasa, orang tua, bahkan anak-anak pun kerap terlibat tawuran yang dipicu perkara sepele.

Tak ayal, tawuran sudah menjadi bagian dari kehidupan kota Jakarta yang keras dan tersaji dalam kertas-kertas koran atau tayangan kriminal di televisi. Kali ini, tawuran antar murid sekolah ini malah melebar, karena melibatkan awak pekerja media.

Awalnya, tawuran ini melibatkan pelajar SMA 6 dan SMA 70 pada Jumat 16 September 2011, sekira pukul 19.00 WIB. Lokasi tawuran berada di Bundaran Mahakam Bulungan, Jakarta Selatan. Saat itu kebetulan Oktaviardi, wartawan Trans 7 ada di lokasi dan mengambil gambar tawuran. Nahas, Okta malah menjadi korban pengeroyokan.

Tidak terima dianiaya anak sekolahan, Okta minta pertanggung jawaban pihak sekolah. Namun, Kepala Sekolah SMA 6 Jakarta tidak bersedia bertanggung jawab dan minta maaf, karena tawuran tersebut terjadi di luar jam sekolah. Sehingga, masalah tersebut bukan lagi kewenanganya, melainkan tugas masyarakat dan orangtua dalam pengawasanya.

Sikap sekolah yang cuek malah mengundang reaksi dari wartawan lainnya dengan menggelar unjuk rasa di depan halaman SMA 6. Buntutnya, bentrokan antara wartawan dan pelajar ini pecah. Murid SMA 6 melempari para awak media dengan batu dan helm, yang kontan membuat wartawan berang. Baku hantam tak terelakkan, perang terbuka kembali pecah di Bulungan, Blok M Jakarta Selatan.

Kali ini, Yudhistiro Pranoto, fotografer harian Seputar Indonesia menjadi korban. Pria berperawakan tinggi ini dihantam batu bata di bagian kepala. Beberapa bagian tubuh Yudhistiro mengalami memar. Yudhistiro sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina. Selain Yudhistiro, seorang fotografer Media Indonesia, bernama Panca menjadi korban pemukulan sejumlah siswa SMA 6 Jakarta.

Tindakan kekerasan anak sekolahan ini tentu mengundang keprihatinan, karena hal itu sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang terpelajar. Namun demikian, kenyataan lain menujukan jika remaja perkotaan rawan melakukan tindak kekerasan.

Seperti diakui, Alumnus SMAN 6 Jakarta yang kini duduk sebagai Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq. Tawuran yang melibatkan sekolahnya sudah menjadi tradisi. Mahfudz pun pernah dipaksa seniornya untuk berkelahi dengan siswa sekolah lain saat masuk ke SMAN 6 tahun 1981.

“Tawuran disitu bagian dari tradisi yang terus ditradisikan. Dulu semester pertama saya sudah dikondisikan tawuran dengan SMAN 70, itu chauvinisme, faktor solidaritas," kata Mahfudz bercerita kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (19/9/2011).

Menurut politikus PKS ini, kegiatan orientasi pengenalan sekolah (Ospek) terhadap siswa baru memang dilakukan dengan cara melibatkan para junior menguji nyali dengan berkelahi. Kebanyakan siswa baru yang masih polos pun, terpaksa harus mengikuti perintah para senior termasuk alumnus yang kerap berkunjung ke sekolah.

Menurut Mahfudz, terus berulangnya tawuran antar pelajar khususnya SMAN 6 karena faktor lingkungan termasuk pendidikan preventif yang kurang mengena. "SMAN 6 itu kan sekolah elit, isinya artis dan anak pejabat. Jadi ada rasa sungkan untuk melakukan tindakan tegas dari pihak sekolah," pungkasnya.

Sebab itu, dia tak menolerir perilaku buruk pelajar. Dia meminta aparat kepolisian bertindak tegas terhadap pelaku tawuran apalagi pekan lalu siswa SMAN 6 kedapatan mengeroyok wartawan Trans7 saat melakukan peliputan.

Sementara itu Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo berjanji akan menindak tegas pelaku kekerasan yang terjadi terhadap beberapa wartawan di depan SMA 6 Jakarta Selatan. "Pelaku kekerasan akan ditindak, diproses sesuai dengan hukum, kalau itu menimbulkan kerugian, material, kita lakukan langkah-langkah penegakan hukum," tandasnya.

Sekadar diketahui, dalam kajian psikologi, pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA, bila ditinjau dari segi usianya, sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Periode ini sering digambarkan sebagai storm and drang period (topan dan badai).

Dalam kurun ini timbul gejala emosi dan tekanan jiwa, sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dari situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran. Salah satu eksesnya, yaitu tawuran.

Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi itu sendiri menurut Murray (dalam Hall & Lindzey, Psikologi kepribadian, 1993) didefinisikan sebagai suatu cara untuk melawan dengan sangat kuat, berkelahi, melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain. Atau secara singkatnya agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak milik orang lain.

Analisa Murray ini sejalan dengan apa yang diperlihatkan salah satu pelajar SMA 6, Gilang dalam akun twitternya. "Puas gue mukulin wartawan di jalur sampe bonjok-bonjok emosi bet gue,” tulisnya. Namun, setelah Gilang mendapat sejumlah kritikan akun @Gilang_perdanaa pun langsung mengganti akunnya menjadi @giper2K11. Semakin dikritik oleh warga dunia maya, Gilang pun memutuskan untuk mengganti akun twitternya.

Editor: Dadan M Ramdan
Laporan: Rizka Diputra-Ferdinan-K Yudha Wirakusuma (Okezone)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2772 seconds (0.1#10.140)