Kemenhub Targetkan Pengguna Transportasi di Jabodetabek Capai 60 Persen

Rabu, 05 Februari 2020 - 07:11 WIB
Kemenhub Targetkan Pengguna Transportasi di Jabodetabek Capai 60 Persen
Kemenhub Targetkan Pengguna Transportasi di Jabodetabek Capai 60 Persen
A A A
JAKARTA - Kementerian Perhubungan(Kemenhub) menilai perlu adanya inisiatif dari setiap pemerintah daerah (pemda) untuk membangun dan mengembangkan transportasi di wilayah Jabodetabek.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan perlunya dukungan semua pihak untuk mengoptimalkan pengembangan transportasi massal Jabodetabek dalam rangka meningkatkan persentase penggunaan angkutan massal di Jabodetabek. Dia meminta penggunaan transportasi massal di Jabodetabek bisa mencapai 60%.

“Cita-cita ini tentu tidak bisa diwujudkan oleh pemerintah pusat dan daerah saja. Melainkan perlu ada kolaborasi dan koordinasi dengan seluruh pihak untuk saling komitmen dan bekerja sama mengacu pada rencana induk ini,” kata Budi usai memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) 2020 di Jakarta kemarin.

RITJ ini telah disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 55/2018, yang merupakan manifestasi awal dari hasil koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dan pembangunan transportasi di wilayah Jabodetabek yang disusun oleh Kementerian Perhubungan. (Baca: Atasi Kemacetan, Transportasi Jabodetabek Diintegrasikan)

Saat ini tercatat, pergerakan manusia di Jabodetabek pada 2018 sekitar 88 juta per hari. Pada 2019, tercatat baru 32% masyarakat yang menggunakan angkutan massal. Untuk itu, pemerintah terus mengajak masyarakat beralih dari menggunakan kendaraan pribadi ke transportasi publik dengan push dan pull policy.

Menhub mengatakan, idealnya penggunaan angkutan massal dengan jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 60-70%. “Oleh karenanya, sekarang pemerintah giat membuat berbagai transportasi umum yang andal seperti MRT, LRT, dan BRT. Angkutan massal itu merupakan suatu keniscayaan yang harus kita bangun,” tuturnya.

Adapun langkah-langkah push policy dilakukan dengan cara pembatasan langsung menggunakan kendaraan pribadi, penerapan kebijakan electronic road pricing(ERP) sebagai alternatif pengganti kebijakan ganjil-genap. Pemerintah daerah juga dapat mendorong pembatasan kepemilikan misalnya dengan pajak ataupun persyaratan tertentu untuk memiliki kendaraan pribadi seperti persyaratan memiliki garasi.

Kemudian langkah-langkah yang bersifat pull policy seperti meningkatkan ketersediaan angkutan umum massal, baik berbasis jalan maupun rel serta meningkatkan aspek integrasinya baik dari sisi fisik maupun sistem.

Terkait pembiayaan pembangunan transportasi di Jabodetabek, Budi mengatakan, perlu pemanfaatan skema KPBU atau kerja sama pemerintah dengan badan usaha agar tidak semua dibebankan pada pemerintah pusat.

“Saat ini pemerintah sedang berinisiatif membuat KPBU yang melibatkan swasta untuk mengembangkan transportasi. Sudah kita inisiasi di beberapa tempat kalau lapangan udara itu sudah ada Labuan bajo, kereta api sudah ada di Sulawesi Selatan, laut, dan sebagainya. Oleh karenanya, bukan tidak mungkin LRT, MRT yang ada di Jakarta ini kita akan lakukan dengan pola-pola pendanaan seperti itu,” pungkasnya. (Baca juga: Jakarta ini Memasuki Era Transportasi Massal)

Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, keterlibatan pemda mengikuti kebijakan pemerintah pusat mengenai penggunaan transportasi massal hingga 60% di Jabodetabek harus menjadi perhatian banyak pihak.

Selama ini, pemda masih banyak memberikan iming-iming pembangunan infrastruktur kepada masyarakat. Disisi lain, pemerintah daerahnya melupakan ketersediaan infrastruktur angkutan massal yangsudah tersedia.

“Ini harusnya jadi perhatian, saya kira. Terutama pemerintah di daerah. Selama ini jualan politik masih soal pembangunan infrastruktur, padahal pemanfaatan infrastruktur yang ada, terutama infrastruktur transportasi, tidak diedukasi dengan baik. Misalnya kampanye menggunakan transportasi massal itu harus terus didengungkan,” ungkap Djoko.

Dia menambahkan, justru yang ada janji-janji pembangunan infrastruktur di mana-mana tanpa melakukan kajian studi yang mendalam.

“Misalnya Pemerintah Kota Depok sebagai penyanggah ibu kota, Jakarta, menjanjikan bangun monorel dengan empat atau lima koridor. Sementara kajiannya belum mendalam sudah didengungkan kepada masyarakatnya. Kalau mau yang riil, kampanyekan penggunaan angkutan massal, itu lebih oke,” pungkas dia.
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6466 seconds (0.1#10.140)