Jakarta Jadi Tuan Rumah Proyek Kota Berketahanan Perubahan Iklim
A
A
A
JAKARTA - DKI Jakarta menjadi tuan rumah dimulainya proyek Climate Resilience and Inclusive Cities (CRIC) untuk wilayah Indonesia dan kawasan Asia Pasifik. Proyek ini diharapkan dapat menyusun strategi khusus bagi pemerintah daerah untuk membentuk kota yang berketahanan menghadapi perubahan iklim.
Proyek yang diselenggarakan Uni Eropa (EU) berkolaborasi bersama Asosiasi Kota dan Pemerintah Daerah se-Asia Pasifik (United Cities and Local Governments Asia Pacifis atau UCLG ASPAC) itu dihadiri oleh lebih dari 80 perwakilan dari 20 Pemerintah Daerah di Indonesia, Kementerian, Badan Pembangunan Daerah tingkat lokal dan nasional, organisasi mitra, serta institusi akademik.
Kepala Bagian Kerja Sama Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Hans Farnhammer mengatakan, kota merupakan kontributor utama emisi karbondioksida, terutama dari penggunaan energi untuk memasak, pendinginan, industri, transportasi, dan pemanasan, yang berkontribusi hingga 70% dari emisi CO2 global. Oleh karena itu, program mitigasi dan adaptasi diperlukan untuk menahan dampak negatif perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Orang-orang yang tinggal di area perkotaan, lanjut Hans, semakin berisiko terkena bencana alam dan terdampak akan kejadian-kejadian terkait iklim. Hal ini menyebabkan terjadinya pemusatan risiko karena lokasi yang paling berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi justru amat berisiko.
"Namun, jika dikelola dengan baik, kota-kota yang berketahanan, inklusif, dan memanfaatkan sumber daya secara efisien dapat memicu kota-kota itu menjadi berketahanan terhadap iklim, rendah karbon, berkontribusi baik terhadap tingkat kehidupan lokal dan berkelanjutan secara global," kata Hans di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruanda Sugardiman menyampaikan, kegiatan proyek baru ini berdampak sangat signifikan dan membantu capaian Indonesia untuk menurunkan emisi dalam rangka pemenuhan national determined contribution.
Indonesia, lanjut dia, mampu menurunkan emisi sebesar 29% dari upaya dan dana sendiri, dan bisa meningkat hinga mencapai 41% apabila ada dukungan dari internasional. "Dengan kegiatan ini, pertama yang harus disusun adalah action plan-nya. Kemudian, good governance. Kemudian, bagaimana kota itu bisa meningkatkan ketahanan terhadap iklimnya. Jakarta dengan adanya kegiatan proyek ini diharapkan mampu menyiapkan instrumen-instrumen itu, sehingga Jakarta bisa mempunyai action plan yang jelas untuk menurunkan emisinya," ujarnya.
Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Bernadia Irawati Tjandradewi menegaskan, projek CRIC ini tidak hanya sekadar menambah jejaring antarkota dan peningkatan kapasitas SDM di lingkungan pemerintah daerah, namun juga membantu pengembangan kota berketahanan secara berkelanjutan.
Dia menuturkan, kota yang berketahanan harus mampu menunjukkan kesiagaan atas setiap masalah, musibah dan bencana alam, antara lain transportasi, tata kelola sampah maupun limbah, saluran air, kawasan pemukiman, termasuk epidemik (wabah) dari penyakit akibat perubahan iklim.
"Jadi, kita ada pertukaran teknologi (dalam proyek ini). Kemudian, kita juga ada namanya best on practice sharing. Tapi, memang mau kita yang persiapkan bukan hanya sekadar rencana, tapi juga harus ada eksekusinya. Di mana nanti pemerintah daerah bisa mengalokasikan anggarannya juga, bagaimana mengurangi risiko-risiko bencana, terutama banjir, kemudian juga ada isu gunung berapi, bencana alam lainnya," jelasnya.
Deputi Gubernur Jakarta Bidang Pencatatan Sipil dan Permukiman, Suharti mengungkapkan, proyek ini akan mendukung usaha Jakarta dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pemprov DKI Jakarta sedang mencoba mengintegrasikan keberlanjutan dan ketahanan ke dalam seluruh elemen manajemen perkotaan dalam mengelola air, sampah, mobilitas dan juga proses konsumsi serta produksi yang terjadi di kota.
Pemprov DKI Jakarta, menurut Suharti, amat menghargai aktivitas pertukaran pengalaman dan dialog terbuka untuk menyesuaikan proyek dan memperkaya perspektif terhadap tantangan ketahanan iklim yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta.
"Dan kami berkomitmen untuk menempatkan inklusivitas sebagai pusat pembuatan kebijakan. Tidak hanya memastikan bahwa pihak yang paling rentan terdampak akan memperoleh manfaat dari tindakan kolektif kita, tetapi menempatkan mereka sebagai subjek yang dari padanya kita dapat belajar tentang cara-cara hidup berkelanjutan," tegasnya.
Dengan pendanaan Uni Eropa sebesar 3,2 juta Euro (sekitar Rp49 miliar), proyek ini dalam lima tahun ke depan akan berupaya mengatasi tantangan multi-dimensi yang dihadapi oleh kota-kota dan pemerintah daerah dalam memperbaiki ketahanan terhadap iklim.
Aktivitas utama proyek CRIC bertujuan untuk memperbaiki kapasitas institusi, pembiayaan dan administratif kota-kota dan pejabat lokal melalui peer-to-peer learning dan aktivitas pertukaran pengetahuan, pengembangan rencana aksi lokal untuk ketahanan iklim dan kota inklusif, dan penyusunan aktivitas pelatihan komunikasi dan pengembangan kapasitas.
Berbagai sarana akan digunakan meliputi penelitian, pembangunan kapasitas, kampanye advokasi, pembuatan pusat pengetahuan, dan kerja sama antara negara di kawasan Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
Proyek yang diselenggarakan Uni Eropa (EU) berkolaborasi bersama Asosiasi Kota dan Pemerintah Daerah se-Asia Pasifik (United Cities and Local Governments Asia Pacifis atau UCLG ASPAC) itu dihadiri oleh lebih dari 80 perwakilan dari 20 Pemerintah Daerah di Indonesia, Kementerian, Badan Pembangunan Daerah tingkat lokal dan nasional, organisasi mitra, serta institusi akademik.
Kepala Bagian Kerja Sama Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Hans Farnhammer mengatakan, kota merupakan kontributor utama emisi karbondioksida, terutama dari penggunaan energi untuk memasak, pendinginan, industri, transportasi, dan pemanasan, yang berkontribusi hingga 70% dari emisi CO2 global. Oleh karena itu, program mitigasi dan adaptasi diperlukan untuk menahan dampak negatif perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Orang-orang yang tinggal di area perkotaan, lanjut Hans, semakin berisiko terkena bencana alam dan terdampak akan kejadian-kejadian terkait iklim. Hal ini menyebabkan terjadinya pemusatan risiko karena lokasi yang paling berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi justru amat berisiko.
"Namun, jika dikelola dengan baik, kota-kota yang berketahanan, inklusif, dan memanfaatkan sumber daya secara efisien dapat memicu kota-kota itu menjadi berketahanan terhadap iklim, rendah karbon, berkontribusi baik terhadap tingkat kehidupan lokal dan berkelanjutan secara global," kata Hans di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Direktorat Jenderal Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ruanda Sugardiman menyampaikan, kegiatan proyek baru ini berdampak sangat signifikan dan membantu capaian Indonesia untuk menurunkan emisi dalam rangka pemenuhan national determined contribution.
Indonesia, lanjut dia, mampu menurunkan emisi sebesar 29% dari upaya dan dana sendiri, dan bisa meningkat hinga mencapai 41% apabila ada dukungan dari internasional. "Dengan kegiatan ini, pertama yang harus disusun adalah action plan-nya. Kemudian, good governance. Kemudian, bagaimana kota itu bisa meningkatkan ketahanan terhadap iklimnya. Jakarta dengan adanya kegiatan proyek ini diharapkan mampu menyiapkan instrumen-instrumen itu, sehingga Jakarta bisa mempunyai action plan yang jelas untuk menurunkan emisinya," ujarnya.
Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC, Bernadia Irawati Tjandradewi menegaskan, projek CRIC ini tidak hanya sekadar menambah jejaring antarkota dan peningkatan kapasitas SDM di lingkungan pemerintah daerah, namun juga membantu pengembangan kota berketahanan secara berkelanjutan.
Dia menuturkan, kota yang berketahanan harus mampu menunjukkan kesiagaan atas setiap masalah, musibah dan bencana alam, antara lain transportasi, tata kelola sampah maupun limbah, saluran air, kawasan pemukiman, termasuk epidemik (wabah) dari penyakit akibat perubahan iklim.
"Jadi, kita ada pertukaran teknologi (dalam proyek ini). Kemudian, kita juga ada namanya best on practice sharing. Tapi, memang mau kita yang persiapkan bukan hanya sekadar rencana, tapi juga harus ada eksekusinya. Di mana nanti pemerintah daerah bisa mengalokasikan anggarannya juga, bagaimana mengurangi risiko-risiko bencana, terutama banjir, kemudian juga ada isu gunung berapi, bencana alam lainnya," jelasnya.
Deputi Gubernur Jakarta Bidang Pencatatan Sipil dan Permukiman, Suharti mengungkapkan, proyek ini akan mendukung usaha Jakarta dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Pemprov DKI Jakarta sedang mencoba mengintegrasikan keberlanjutan dan ketahanan ke dalam seluruh elemen manajemen perkotaan dalam mengelola air, sampah, mobilitas dan juga proses konsumsi serta produksi yang terjadi di kota.
Pemprov DKI Jakarta, menurut Suharti, amat menghargai aktivitas pertukaran pengalaman dan dialog terbuka untuk menyesuaikan proyek dan memperkaya perspektif terhadap tantangan ketahanan iklim yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta.
"Dan kami berkomitmen untuk menempatkan inklusivitas sebagai pusat pembuatan kebijakan. Tidak hanya memastikan bahwa pihak yang paling rentan terdampak akan memperoleh manfaat dari tindakan kolektif kita, tetapi menempatkan mereka sebagai subjek yang dari padanya kita dapat belajar tentang cara-cara hidup berkelanjutan," tegasnya.
Dengan pendanaan Uni Eropa sebesar 3,2 juta Euro (sekitar Rp49 miliar), proyek ini dalam lima tahun ke depan akan berupaya mengatasi tantangan multi-dimensi yang dihadapi oleh kota-kota dan pemerintah daerah dalam memperbaiki ketahanan terhadap iklim.
Aktivitas utama proyek CRIC bertujuan untuk memperbaiki kapasitas institusi, pembiayaan dan administratif kota-kota dan pejabat lokal melalui peer-to-peer learning dan aktivitas pertukaran pengetahuan, pengembangan rencana aksi lokal untuk ketahanan iklim dan kota inklusif, dan penyusunan aktivitas pelatihan komunikasi dan pengembangan kapasitas.
Berbagai sarana akan digunakan meliputi penelitian, pembangunan kapasitas, kampanye advokasi, pembuatan pusat pengetahuan, dan kerja sama antara negara di kawasan Eropa, Asia Tenggara, dan Asia Selatan.
(whb)