Aksi Perkosaan Tak Pandang Gender
A
A
A
JAKARTA - Awal Januari 2020 publik Indonesia dikejutkan dengan munculnya berita seputar vonis pengadilan Manchester Inggris terhadap warga Indonesia bernama Reynhard Sinaga. Reynhard adalah mahasiswa berusia 36 tahun yang dinyatakan bersalah lantaran terbukti melakukan 136 perkosaan dan pelanggaran seksual terhadap 48 pria muda di Manchester, Inggris.
Modus yang digunakan jebolan universitas ternama di Indonesia ini cukup unik, Reynhard “berburu” pria di tengah malam dan membawanya ke apartemen untuk kemudian dicekoki dengan minuman yang telah dicampur obat. Setelah korban tak berdaya, Reynhard pun melakukan praktik asusila terhadap korbannya. Reynhard juga melengkapi aksinya dengan mendokumentasikan perbuatannya dengan kamera ponsel.
Pada persidangan, Hakim Suzanne Goddard QC mengatakan, Reynhard adalah seorang predator seksual serial jahat. “Dalam penilaian saya, Anda adalah individu yang sangat berbahaya, licik, dan licik yang tidak akan pernah aman untuk dibebaskan,” ujar Suzanne kepada Reynhard seperti dikutip daribbc.com 6 Januari 2020. (Baca: Teman Seangkatan Reynhard Sinaga di UI Mengaku Kaget)
Pascaputusan pengadilan, sontak semua portal berita menghiasi lamannya dengan berbagai berita seputar Reynhard, termasuk juga media konvensional seperti televisi serta media cetak. Begitu pun para warganet di media sosial turut dibuat “panas” dengan adanya kasus ini. Sejak media Inggris memublikasikan hasil sidang ke publik, para warganet secara aktif mengeluarkan berbagai komentar pedas tentang sosok Reynhard. Kasus perkosaan berantai ini bahkan menjadi trending topic yang mampu menggegerkan jagat siber di seluruh dunia.
Sosok Reynhard yang muda, punya penampilan trendi, cakap, dan berpendidikan tinggi tak pelak menjadikan kasus ini memiliki “magnitude” yang besar bagi khalayak, khususnya di Indonesia. Dalam berbagai cuitan di sosial media, banyak publik menyatakan tidak menyangka bahwa di balik sosok yang dari luar tampak ideal, ternyata pemuda berkacamata ini mampu melakukan aksi kejahatan yang mengerikan.
Meski demikian, di luar semua pemberitaan yang menghangat, faktanya terdapat insight yang bisa diambil dari kasus ini. Kasus yang memakan waktu persidangan selama empat kali tersebut bisa membuka mata kita bahwa ternyata kasus kejahatan perkosaan tak hanya berisiko terjadi pada kaum perempuan dan anak-anak seperti yang selama ini dipersepsikan, melainkan kejahatan itu juga menjadi ancaman bagi laki-laki dewasa.
Dalam kajian soal korban, perempuan dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang masuk ke dalam kelompok vulnerable (rentan). Vulnerable diartikan sebagai orang yang karena faktor usia, kondisi fisik, atau mentalnya menjadi sangat rentan menjadi korban tindak pidana (1 Cir. Mass. 2005).
Perempuan dalam hal ini menjadi golongan yang rentan karena faktor fisik dinilai lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Tak hanya kaum perempuan, kejahatan perkosaan juga berisiko terjadi pada anak, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan secara fisik serta psikologis, anak lebih lemah dari pada orang dewasa.
Begitu pun karena kelemahannya tersebut, hidup anak sangat tergantung pada orang dewasa. Berdasarkan data KPAI, sebagaimana di lansir dalam situs kpai.go.id, jumlah kekerasan seksual di Indonesia yang melibatkan anak laki-laki lebih besar daripada anak perem puan. Pada 2017 korban dan pelaku anak laki-laki untuk kejahatan seksual mencapai sebanyak 1.234 orang, sedangkan anak perempuan mencapai 1.064 orang.
Perempuan dan anak dengan segala karakteristiknya masuk dalam golongan yang rentan menjadi korban kejahatan seksual. Namun, berkaca dari kasus Reynhard, karena korbannya adalah bukan golongan rentan (mayoritas laki-laki yang duduk di bangku kuliah), maka pria dewasa juga harus tetap waspada dengan jenis kejahatan ini. Terlebih saat ini modus kejahatan yang diterapkan semakin beragam.
Modus merayu korban, mencekoki dengan minuman keras, dan mencampurkannya dengan obat merupakan strategi “soft” yang dilakukan pelaku untuk menaklukkan korban sehingga korban menjadi tidak berdaya. Modus ini berbeda dengan kasus-kasus perkosaan pada umumnya, karena pelaku melakukan aksi kekerasan untuk menguasai korban.
Reynhard tidak melakukancara “hard” semacam itu, karena bisa saja dia menyadari kelemahannya sehingga menggunakan strategi lain untuk menguasai korban. Modus awal berupa kata-kata manis dan penampilan rapi juga menjadi trik untuk menaklukkan korban sehingga mereka pun pada akhirnya secara sukarela berkenan diajak ke apartemen pelaku.
Ian Rushton dari Crown Prosecut Service mengatakan, para korban terpikat oleh sikap ramah dan bersahabat yang ditunjukkan Reynhard. “Dia menawari mereka minuman atau tempat untuk mengisi baterai ponsel di flatnya yang berdekatan. Dalam beberapa menit mereka memasuki rumahnya, mereka telah diberi obat bius, benar-benar di kuasai oleh obat yang dia beri kan,” kata Rushton seperti dilansir dari insider.com (6 Januari 2020).
Pilihan Gaya Hidup
Laki-laki maupun perempuan sama-sama berisiko menjadi korban kekerasan seksual dan kondisi tersebut bukan semata-mata terjadi karena atribut yang melekat pada diri masing-masing, melainkan bisa terjadi salahsatunya dilatarbelakangi oleh pilihan gaya hidup. Dalam kajianviktimo logi, hal itu bisa di -jelaskan dalam teori High RiskLifestyle.
Dalam teori ini disebutkan bahwa kejahatan bersifat sangat acak, semua orang bisa menjadi korban. Akan tetapi, ada faktor-faktor yang meningkatkan peluang seseorang menjadi korban dan salah satunya adalah pilihan gaya hidup atau cara individu memilih untuk berperilaku. Seseorang yang memiliki gaya hidup berisiko tinggi otomatis akan menyebabkan risiko viktimisasi lebih tinggi pula pada dirinya.
Dalam kasus Reynhard misalnya, orang-orang yang menjadi korban adalah yang memiliki gaya hidup berisiko tinggi yaitu pergi ke klub pada waktu tengah malam dan gemar mengonsumsi alkohol hingga mabuk.
Seperti juga yang dijelaskan melalui Routine Activity Theory (Cohen & Felson,1979). Menurut teori ini, kejahatan akan terjadi ketika tiga kondisi terpenuhi, yaitu kehadiran pelaku kejahatan, kehadiran target yang cocok, serta ketiadaan orang yang mampu berperan sebagai pelindung atau pengawas. Hal yangdimaksud dengan target cocok adalah orang-orang yang memang dilihat pelaku sebagai orang rentan dan sesuai kriteria yang diharapkan.
Dalam kasus Reynhard, korban adalah orang-orang yang rentan karena rata-rata berada dalam kondisi mabuk serta ada pula beberapa sedang bermasalah dan membutuhkan bantuan, semisal handphone yang mengalami lowbattery.
Sementara itu, pelindung adalah orang yang secara formal (polisi, penjaga khusus) atau informal (masyarakat sekitar) berada di lokasi dan mampu bertindak mencegah terjadinya kejahatan. Dalam konteks kasus Reynhard, peristiwa terjadi di malam hari dan ditempat-tempat minim penjagaan.
Ia juga membawa korbannya ke apartemen pribadi karena tidak ada orang yang bisa melihat aksinya. Hal ini membuat Reynhard dengan sangat mudah menjalankan misinya. Ketiga syarat di atas adalah syarat terikat dalam ruang dan waktu di mana semuanya saling memengaruhi. Teori ini juga tidak memandang perbedaan gender, selama tiga syarat tersebut memenuhi, maka terjadilah kejahatan. (Wiendy Hapsari)
Modus yang digunakan jebolan universitas ternama di Indonesia ini cukup unik, Reynhard “berburu” pria di tengah malam dan membawanya ke apartemen untuk kemudian dicekoki dengan minuman yang telah dicampur obat. Setelah korban tak berdaya, Reynhard pun melakukan praktik asusila terhadap korbannya. Reynhard juga melengkapi aksinya dengan mendokumentasikan perbuatannya dengan kamera ponsel.
Pada persidangan, Hakim Suzanne Goddard QC mengatakan, Reynhard adalah seorang predator seksual serial jahat. “Dalam penilaian saya, Anda adalah individu yang sangat berbahaya, licik, dan licik yang tidak akan pernah aman untuk dibebaskan,” ujar Suzanne kepada Reynhard seperti dikutip daribbc.com 6 Januari 2020. (Baca: Teman Seangkatan Reynhard Sinaga di UI Mengaku Kaget)
Pascaputusan pengadilan, sontak semua portal berita menghiasi lamannya dengan berbagai berita seputar Reynhard, termasuk juga media konvensional seperti televisi serta media cetak. Begitu pun para warganet di media sosial turut dibuat “panas” dengan adanya kasus ini. Sejak media Inggris memublikasikan hasil sidang ke publik, para warganet secara aktif mengeluarkan berbagai komentar pedas tentang sosok Reynhard. Kasus perkosaan berantai ini bahkan menjadi trending topic yang mampu menggegerkan jagat siber di seluruh dunia.
Sosok Reynhard yang muda, punya penampilan trendi, cakap, dan berpendidikan tinggi tak pelak menjadikan kasus ini memiliki “magnitude” yang besar bagi khalayak, khususnya di Indonesia. Dalam berbagai cuitan di sosial media, banyak publik menyatakan tidak menyangka bahwa di balik sosok yang dari luar tampak ideal, ternyata pemuda berkacamata ini mampu melakukan aksi kejahatan yang mengerikan.
Meski demikian, di luar semua pemberitaan yang menghangat, faktanya terdapat insight yang bisa diambil dari kasus ini. Kasus yang memakan waktu persidangan selama empat kali tersebut bisa membuka mata kita bahwa ternyata kasus kejahatan perkosaan tak hanya berisiko terjadi pada kaum perempuan dan anak-anak seperti yang selama ini dipersepsikan, melainkan kejahatan itu juga menjadi ancaman bagi laki-laki dewasa.
Dalam kajian soal korban, perempuan dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang masuk ke dalam kelompok vulnerable (rentan). Vulnerable diartikan sebagai orang yang karena faktor usia, kondisi fisik, atau mentalnya menjadi sangat rentan menjadi korban tindak pidana (1 Cir. Mass. 2005).
Perempuan dalam hal ini menjadi golongan yang rentan karena faktor fisik dinilai lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki. Tak hanya kaum perempuan, kejahatan perkosaan juga berisiko terjadi pada anak, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan secara fisik serta psikologis, anak lebih lemah dari pada orang dewasa.
Begitu pun karena kelemahannya tersebut, hidup anak sangat tergantung pada orang dewasa. Berdasarkan data KPAI, sebagaimana di lansir dalam situs kpai.go.id, jumlah kekerasan seksual di Indonesia yang melibatkan anak laki-laki lebih besar daripada anak perem puan. Pada 2017 korban dan pelaku anak laki-laki untuk kejahatan seksual mencapai sebanyak 1.234 orang, sedangkan anak perempuan mencapai 1.064 orang.
Perempuan dan anak dengan segala karakteristiknya masuk dalam golongan yang rentan menjadi korban kejahatan seksual. Namun, berkaca dari kasus Reynhard, karena korbannya adalah bukan golongan rentan (mayoritas laki-laki yang duduk di bangku kuliah), maka pria dewasa juga harus tetap waspada dengan jenis kejahatan ini. Terlebih saat ini modus kejahatan yang diterapkan semakin beragam.
Modus merayu korban, mencekoki dengan minuman keras, dan mencampurkannya dengan obat merupakan strategi “soft” yang dilakukan pelaku untuk menaklukkan korban sehingga korban menjadi tidak berdaya. Modus ini berbeda dengan kasus-kasus perkosaan pada umumnya, karena pelaku melakukan aksi kekerasan untuk menguasai korban.
Reynhard tidak melakukancara “hard” semacam itu, karena bisa saja dia menyadari kelemahannya sehingga menggunakan strategi lain untuk menguasai korban. Modus awal berupa kata-kata manis dan penampilan rapi juga menjadi trik untuk menaklukkan korban sehingga mereka pun pada akhirnya secara sukarela berkenan diajak ke apartemen pelaku.
Ian Rushton dari Crown Prosecut Service mengatakan, para korban terpikat oleh sikap ramah dan bersahabat yang ditunjukkan Reynhard. “Dia menawari mereka minuman atau tempat untuk mengisi baterai ponsel di flatnya yang berdekatan. Dalam beberapa menit mereka memasuki rumahnya, mereka telah diberi obat bius, benar-benar di kuasai oleh obat yang dia beri kan,” kata Rushton seperti dilansir dari insider.com (6 Januari 2020).
Pilihan Gaya Hidup
Laki-laki maupun perempuan sama-sama berisiko menjadi korban kekerasan seksual dan kondisi tersebut bukan semata-mata terjadi karena atribut yang melekat pada diri masing-masing, melainkan bisa terjadi salahsatunya dilatarbelakangi oleh pilihan gaya hidup. Dalam kajianviktimo logi, hal itu bisa di -jelaskan dalam teori High RiskLifestyle.
Dalam teori ini disebutkan bahwa kejahatan bersifat sangat acak, semua orang bisa menjadi korban. Akan tetapi, ada faktor-faktor yang meningkatkan peluang seseorang menjadi korban dan salah satunya adalah pilihan gaya hidup atau cara individu memilih untuk berperilaku. Seseorang yang memiliki gaya hidup berisiko tinggi otomatis akan menyebabkan risiko viktimisasi lebih tinggi pula pada dirinya.
Dalam kasus Reynhard misalnya, orang-orang yang menjadi korban adalah yang memiliki gaya hidup berisiko tinggi yaitu pergi ke klub pada waktu tengah malam dan gemar mengonsumsi alkohol hingga mabuk.
Seperti juga yang dijelaskan melalui Routine Activity Theory (Cohen & Felson,1979). Menurut teori ini, kejahatan akan terjadi ketika tiga kondisi terpenuhi, yaitu kehadiran pelaku kejahatan, kehadiran target yang cocok, serta ketiadaan orang yang mampu berperan sebagai pelindung atau pengawas. Hal yangdimaksud dengan target cocok adalah orang-orang yang memang dilihat pelaku sebagai orang rentan dan sesuai kriteria yang diharapkan.
Dalam kasus Reynhard, korban adalah orang-orang yang rentan karena rata-rata berada dalam kondisi mabuk serta ada pula beberapa sedang bermasalah dan membutuhkan bantuan, semisal handphone yang mengalami lowbattery.
Sementara itu, pelindung adalah orang yang secara formal (polisi, penjaga khusus) atau informal (masyarakat sekitar) berada di lokasi dan mampu bertindak mencegah terjadinya kejahatan. Dalam konteks kasus Reynhard, peristiwa terjadi di malam hari dan ditempat-tempat minim penjagaan.
Ia juga membawa korbannya ke apartemen pribadi karena tidak ada orang yang bisa melihat aksinya. Hal ini membuat Reynhard dengan sangat mudah menjalankan misinya. Ketiga syarat di atas adalah syarat terikat dalam ruang dan waktu di mana semuanya saling memengaruhi. Teori ini juga tidak memandang perbedaan gender, selama tiga syarat tersebut memenuhi, maka terjadilah kejahatan. (Wiendy Hapsari)
(poe)