Seniman Betawi Terus Gaungkan Upaya Pelestarian Lenong

Minggu, 12 Januari 2020 - 15:10 WIB
Seniman Betawi Terus Gaungkan Upaya Pelestarian Lenong
Seniman Betawi Terus Gaungkan Upaya Pelestarian Lenong
A A A
JAKARTA - Upaya melestarikan kesenian Betawi terus digaungkan para seniman dan sejumlah tokoh Jakarta. Mereka berjaga agar seni ini tidak punah.

Para seniman mengharapkan kesenian dan kebudayaan Betawi bisa tersohor dan jadi tuan rumah di negeri sendiri. Terlebih soal seni pertunjukan teater rakyat Betawi.

Seniman dan pemerhati budaya Betawi, Nendra WD, mengatakan, saat ini Jakarta seolah kehilangan ruhnya, terlebih dalam hal menjaga warisan seni dan budaya Betawi.

"Saat ini cerita hanya ramai soal begal dan rampok. Alhamdulillah dulu ada bang Yamin, menjadi catatan penting, ini menjadi penulis cerita Betawi," kata Nendra saat diskusi mengenang Yamin Azhari bertema 'Mengembalikan Teater Rakyat Betawi agar Tak Asyik Sendiri' di Selasar Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuku (TIM).

Diskusi itu diadakan Teater Pangkeng, komunitas Baca Betawi dan Lembaga Kebudayaan Betawi. Menurut dia, seni pertunjukan teater di Jakarta telah berkembang sejak awal abad ke-19. Seperti Lenong yang telah berkembang sejak 1960-an.

Bahkan dalam catatan sejarah, sejak 1969-1988 berkali-kali diadakan pertunjukan Lenong di TIM oleh sutradara SM Ardan, Achmad MS, Sumantri Sastrosuwondo, Firman Muntaco, dan lain-lain.

"Bang Yamin itu juga di antaranya Ondel-Ondel Bengek dan Hantu Kerak Telor. Beliau itu yang menuliskan," beber Nendra.

Peneliti kebudayaan Betawi, Syaiful Amri, menambahkan, butuh peran serta seluruh elemen untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan. Di antaranya Lembaga Kebudayaan Betawi dan para pemangku kepentingan terkait.

Masyarakat juga tak melulu hanya menuntut kehadiran atau konsistensi seniman dalam menggelar pertunjukan. "Semuanya harus turun. Pemerintah harus bisa memfasilitasi, seniman juga ayo, dan masyarakat juga. Jangan teriak jaga tradisi tapi sudah ditampilkan nontonnya enggak mau," imbuh Syaiful.

Jangan Asyik Sendiri
Di tempat yang sama, budayawan sekaligus peneliti dan pemerhati kesenian terutama seni pertunjukan, Julianti Parani, mengatakan, tulisan soal "Jangan Asyik Sendiri" memiliki falsafah tinggi.

Menurut Julianti, dalam berkesenian ada kalanya butuh lompatan. Namun tetap kuat dalam menarik esensinya. Seringkali pelaku seni juga belum menarik esensi dari seni itu sendiri. Seperti seni pertunjukan lenong.

"Jangan Asyik Sendiri itu falsafah tinggi. Tapi kemajuan tidak bisa dielak. Yang penting itu sebenarnya kan masing-masing bisa menarik esensi. Jadi sampai yang nonton bisa paham oh di sini ada lenongnya," beber Julianti.

Julianti melihat Jakarta kini seperti kehilangan marwahnya dalam hal melahirkan atau melestarikan kesenian Betawi. Dia mencontohkan, berdirinya Institut Kesenian Jakarta (IKJ) malah seolah-olah tidak ikut ambil peran. Buktinya, tidak ada sekolah Lenong. Padahal Lenong lekat dan menjadi esensi dalam memahami Jakarta.

"IKJ tapi esensinya enggak ada Jakartanya. Ada enggak latihan buat Lenong, Gambang Kromongnya. Ada enggak latihan atau sekolahnya. Ini warisan ini harus dijaga," tegas dia.

Ia berharap esensi seni ini nantinya dapat menjadi tuan rumah dan berhasil di negeri sendiri. “Enggak usah untuk se-Indonesia tapi Jakarta aja dulu. Bagaimana Lenong itu ada komunikasi, tapi tergantung maknanya," pungkasnya.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6885 seconds (0.1#10.140)
pixels