Banjir dan Longsor Awal Tahun Akibat Krisis Tata Kelola Sumber Daya Alam
A
A
A
JAKARTA - Banjir dan longsor yang melanda wilayah Jabodetabek , Jawa Barat dan Banten awal tahun ini, merupakan gambaran akibat krisis lingkungan dan sumber daya alam (SDA) dalam hal ini krisis tata kelola. Artinya ada kegagalan mengatur tindakan para aktor/pihak (negara, swasta, masyarakat) yang berkepentingan terhadap sumber daya.
Hal tersebut diungkapkan Rektor IPB University, Prof Arif Satria dalam keterangan pers praorasi ilmiah tiga Guru Besar di IPB International Convention Center (IICC), Baranangsiang, Kota Bogor, Kamis (09/01/2020).
Arif yang juga Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia IPB University menyatakan sudah jelas bahwa bencana banjir dan longsor ini merupakan masalah tata kelola SDA. "Jadi banjir dan longsor ini, apakah ini masalah tata kelola sumber daya alam, ya sudah tentu. Tata kelola yang harus terus disempurnakan," ujarnya, Kamis (09/01/2020).
Pihaknya juga mendukung upaya pemerintah dalam pemulihan pasca-bencana ini dengan menggerakkan pemanfaatan tanaman yang bisa menahan laju erosi semacam vertiver."IPB sudah memberi masukan juga kepada pemerintah bahwa, saya kira vertver itu bisa mempunyai akar sampai dua meter kedalam yang bisa menahan itu (erosi). Tapi pada kondisi slup tertentu, vertiver itu juga harus dimanfaatkan secara hati-hati, sehingga perlu zonasi pemanfaatan," ungkapnya.
Sebab, lanjut dia, kalau dalam kondisi slupnya terlalu tajam, kemudian dimanfaatkan masyarakat maka akan terjadi lagi erosi, bahkan jika akar dicabut tanah akan rusak lagi."Maka alternatifnya adalah pertama perlu zonasi. Kemudian yang kedua adalah menggunakan tumpang sari. Dalam hal ini tanaman-tanaman lain selain vertiver. Seperti tanaman buah pala, kopi, cengkeh, kayu putih dan lain sebagainya yang bisa ditumpang sarikan," paparnya.
Pihaknya telah mengumpulkan tim ahli terkait penanganan bencana ini yang dalam waktu dekat hasilnya segera dirumuskan untuk memberi masukan kepada pemerintah tentang bagaimana memanfaatkan tanaman vertiver dengan melibatkan masyarakat. "Karena dengan ditanamnya vertiver itu, masyarakat bisa diuntungkan dari segi ekonomi. Tak sekedar bagaimana mengatasi erosi. Sebab kalau dimungkinkan antara kepentingan ekologi dan ekonomi ini bisa berjalan akan sangat bagus sekali," ujarnya.
Dia mengaku telah dihubungi Kepala BNPB Doni Monardo yang meminta kontribusi dari IPB dalam penanganan bencana. "Alhamdulillah tim ahli IPB sudah berkumpul dan segera menyampaikan secara resmi kepada pemerintah tentang masukan-masukan terkait teknis mengatasinya masalah erosi," ujarnya.
Prinsipnya, lanjut dia, adalah jika masalah ekologi dan ekonomi dalam mengatasi permasalahan bencana alam ini bisa dijalankan akan sangat bagus. Tapi kalau dimanfaatkan hanya ekonomi saja, jelas sangat bahaya.
Namun demikian, kata dia, tanaman vertiver ini tak cukup hanya 10.000, tapi butuh lebih banyak lagi. "Intinya apa yang sudah dilakukan pemerintah saya kira sudah bagus. Sehingga perlu disupport, termasuk IPB juga untuk bisa mensukseskan program itu. Saya kira itu solusi yang harus segera dilakukan," ujarnya.
Pihaknya menambahkan selaku akademisi maupun peneliti dalam hal ini (mitigasi risiko pengurangan bencana) dari IPB sebetulnya sudah banyak. "Tinggal bagaimana, riset tersebut aplikable untuk semua kondisi bencana. Memang tak semua daerah sama, sehingga perlu riset yang lain," katanya.
Sehingga ketika ada bencana, akademisi fokus pada solusi jangka menengah dan jangka panjang dan ini memang sebuah keharusan. Dalam tanggap darurat bencana baik evakuasi dan lain sebagainya ada yang menangani tapi harus ada juga yang memikirkan paska bencana terkait langkah selanjutnya (jangka menengah dan panjang).
"Karena keahlian kita disini, maka kita akan fokus kepada pemulihan atau recovery, setelah tanggap darurat yang melibatkan tim SAR gabungan selesi kita akan masuk," ucapnya.
Hal tersebut diungkapkan Rektor IPB University, Prof Arif Satria dalam keterangan pers praorasi ilmiah tiga Guru Besar di IPB International Convention Center (IICC), Baranangsiang, Kota Bogor, Kamis (09/01/2020).
Arif yang juga Guru Besar Tetap Fakultas Ekologi Manusia IPB University menyatakan sudah jelas bahwa bencana banjir dan longsor ini merupakan masalah tata kelola SDA. "Jadi banjir dan longsor ini, apakah ini masalah tata kelola sumber daya alam, ya sudah tentu. Tata kelola yang harus terus disempurnakan," ujarnya, Kamis (09/01/2020).
Pihaknya juga mendukung upaya pemerintah dalam pemulihan pasca-bencana ini dengan menggerakkan pemanfaatan tanaman yang bisa menahan laju erosi semacam vertiver."IPB sudah memberi masukan juga kepada pemerintah bahwa, saya kira vertver itu bisa mempunyai akar sampai dua meter kedalam yang bisa menahan itu (erosi). Tapi pada kondisi slup tertentu, vertiver itu juga harus dimanfaatkan secara hati-hati, sehingga perlu zonasi pemanfaatan," ungkapnya.
Sebab, lanjut dia, kalau dalam kondisi slupnya terlalu tajam, kemudian dimanfaatkan masyarakat maka akan terjadi lagi erosi, bahkan jika akar dicabut tanah akan rusak lagi."Maka alternatifnya adalah pertama perlu zonasi. Kemudian yang kedua adalah menggunakan tumpang sari. Dalam hal ini tanaman-tanaman lain selain vertiver. Seperti tanaman buah pala, kopi, cengkeh, kayu putih dan lain sebagainya yang bisa ditumpang sarikan," paparnya.
Pihaknya telah mengumpulkan tim ahli terkait penanganan bencana ini yang dalam waktu dekat hasilnya segera dirumuskan untuk memberi masukan kepada pemerintah tentang bagaimana memanfaatkan tanaman vertiver dengan melibatkan masyarakat. "Karena dengan ditanamnya vertiver itu, masyarakat bisa diuntungkan dari segi ekonomi. Tak sekedar bagaimana mengatasi erosi. Sebab kalau dimungkinkan antara kepentingan ekologi dan ekonomi ini bisa berjalan akan sangat bagus sekali," ujarnya.
Dia mengaku telah dihubungi Kepala BNPB Doni Monardo yang meminta kontribusi dari IPB dalam penanganan bencana. "Alhamdulillah tim ahli IPB sudah berkumpul dan segera menyampaikan secara resmi kepada pemerintah tentang masukan-masukan terkait teknis mengatasinya masalah erosi," ujarnya.
Prinsipnya, lanjut dia, adalah jika masalah ekologi dan ekonomi dalam mengatasi permasalahan bencana alam ini bisa dijalankan akan sangat bagus. Tapi kalau dimanfaatkan hanya ekonomi saja, jelas sangat bahaya.
Namun demikian, kata dia, tanaman vertiver ini tak cukup hanya 10.000, tapi butuh lebih banyak lagi. "Intinya apa yang sudah dilakukan pemerintah saya kira sudah bagus. Sehingga perlu disupport, termasuk IPB juga untuk bisa mensukseskan program itu. Saya kira itu solusi yang harus segera dilakukan," ujarnya.
Pihaknya menambahkan selaku akademisi maupun peneliti dalam hal ini (mitigasi risiko pengurangan bencana) dari IPB sebetulnya sudah banyak. "Tinggal bagaimana, riset tersebut aplikable untuk semua kondisi bencana. Memang tak semua daerah sama, sehingga perlu riset yang lain," katanya.
Sehingga ketika ada bencana, akademisi fokus pada solusi jangka menengah dan jangka panjang dan ini memang sebuah keharusan. Dalam tanggap darurat bencana baik evakuasi dan lain sebagainya ada yang menangani tapi harus ada juga yang memikirkan paska bencana terkait langkah selanjutnya (jangka menengah dan panjang).
"Karena keahlian kita disini, maka kita akan fokus kepada pemulihan atau recovery, setelah tanggap darurat yang melibatkan tim SAR gabungan selesi kita akan masuk," ucapnya.
(whb)