Wisata Malam Jalan Jaksa yang Hampir Punah

Rabu, 11 Desember 2019 - 04:36 WIB
Wisata Malam Jalan Jaksa yang Hampir Punah
Wisata Malam Jalan Jaksa yang Hampir Punah
A A A
JAKARTA - Plang biru bertulis 'wisata malam jaksa' di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, tak lagi berkilau. Plang setinggi tujuh meter itu kini telah berkarat, tulisannya berwarna putih dan telah pudar tersapu hujan serta karena dimakan usia.

Bak tersapu gelombang tsunami, wisata malam jaksa kini mengenaskan. Hanya tersisa kurang dari lima kafe, bila membandingkan di periode awal 1990 hingga tahun 2000-an yang berjumlah puluhan kafe. Ibarat binatang dilindungi, kawasan wisata ini hampir punah.

Saat SINDO menyambangi kawasan itu malam hari, tak terlihat hingar bingar keributan seperti yang terjadi di awal tahun 2000-an. Sejumlah kafe memilih tutup karena biaya sewa yang tinggi.

Hanya beberapa kafe yang mencoba bertahan dengan kondisi mengenaskan. Tak banyak pembeli dan tak lagi ramai. Meski pedestarian telah terbangun rapih dan dilengkapi garis kuning disabilitas. Namun, kondisi kafe di jalan Jaksa tak sebagus pedestariannya. Kafe-kafe kecil mulai redup seiring munculnya sejumlah cafe besar di luar jalan Jaksa.

Pembeli tak lagi ramai, karena petugas Dishub lalu lalang menderek dan mengangkut kendaraan yang terparkir di bibir jalan. Wisata malam Jaksa kini hanya tinggal hitungan hari.

"Jangankan untuk malam minggu atau weekend. Acara hari kemerdekaan yang biasanya ramai juga kini sudah tak terlihat," kata Oppa, 57, pengunjung salah satu cafe di Jalan Jaksa, Selasa (10/12/2019).

Saat pertama kali datang ke jalan Jaksa periode 90-an. Oppa mengingat jalan Jaksa cukup ramai. Kafe-kafe bermunculan bak jamur di musim penghujan. Sejumlah wisatawan, baik asing dan lokal tumpah ruah di kawasan ini, mereka berjoget seiring alunan musik kafe.

Seperti kawasan Kuta-Bali, lanjut Oppa, jalan Jaksa dipenuhi sejumlah hiburan. Gadis gadis lalu lalang di kawasan ini, para turis asing dari Eropa dan Amerika berkumpul sebelum pelesiran ke sejumlah pelosok Indonesia, seperti Bali, Lombok, danau Toba, hingga beberapa tempat lainnya yang eksotik.

Keberadaan sejumlah hostel di kawasan ini membuat Jaksa diserbu para backpacker dari luar negeri. Mereka kemudian tinggal beberapa hari sebelum melanjutkan keliling Indonesia.

Kini berbalik 180 derajat, kondisi kafe jalan Jaksa memburuk. Di antara beberapa kafe yang tersebar, hanya memories kafe yang kini bertahan. Itupun jauh lebih beruntung setelah 30 persen tempat duduknya terisi warga sekitar yang nongkrong, hanya dua orang wisatawan luar negeri yang terlihat di kawasan itu.

"Dulu waktu tahun 2012, buat duduk di sini aja ngantri," timpal Toga, 38, pengunjung lainnya.

Hampir tiap malam di akhir tahun 2000-an, Toga berkunjung ke jalan Jaksa. Di sana ia memilih meminum bir sembari mengobrol bersama sejumlah rekan rekannya.

Namun semenjak tahun 2015, Toga memilih tak lagi menongkrong di kawasan itu. Hampir setiap kali menongkrong, mobil toga di derek petugas Dishub, niatnya untuk bersantai mendadak pusing.

Untuk memeriahkan jalan Jaksa, Festival tahunan sempat digelar di jalan ini. Anak anak, remaja, orang tua, hingga wisatawan asing bermain di kawasan ini. Membuat jalan jaksa menjadi kawasan tersibuk siang itu.

Kini jalan jaksa sudah tak lagi ramai, festival yang dulu menarik wisatawan sudah tak lagi ada sejak dua tahun terakhir. Wisatawan asing pun perlahan menjauh dari Jaksa. Mereka memilih menongkrong di tempat lain yang kondisinya jauh lebih tertutup seperti camden dan beer garden yang berlokasi kurang dari satu kilometer.

Termasuk sejumlah hostel yang dahulu penuh, kini perlahan mulai sepi senyap. Hostel-hostel ini kini mulai ditinggal pelancong, meski harganya cukup murah, sekira Rp120-175 ribu per malam, namun hostel ini kalah saing dengan hotel yang harganya berkisar Rp500-700, bermunculan di sekitaran jalan Wahid Hasyim.

Sejumlah kafe pun kini berganti menjadi kawasan perkantoran. Beberapa restoran yang dibuka tahun 2017 kini tak lagi terlihat, cafe dan restoran itu kini mendadak tutup dan dibiarkan terbengkalai, debu tebal terlihat dari kaca yang begitu besar.

Pemilik kafe memories, Helmi mengaku pasrah dengan kondisi ini. Karenanya kafe yang telah dibuatnya sejak 35 tahun lalu bakal dijual bersama rumahnya. Harga miliaran rupiah menjadi harga yang pantas untuk kafe dan hostelnya.

"Selain itu, juga hostel saya yang di seberang," kata Helmi.

Helmi mengaku kondisi ini terjadi sejak cukup lama. Dahulu dirinya bisa menjual lebih dari 150 botol per hari. Kini untuk menjual 16 botol per hari sangatlah sulit.

Kondisi ini membuat dirinya terpaksa mengubah strategi bisnis. Bila sebelumnya ia modal untuk cafe dan menggaji pekerjanya. Setahun terakhir, ia hanya menyediakan tempat, modal 100 juta ia berikan kepada empat karyawannya dengan sistem pembagian hasil.

"Dulu kita punya 40 pekerja, sekarang cuma empat," tutupnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5499 seconds (0.1#10.140)