BNPB Sebut Bencana Hidrometeorologi Dominasi dari Januari-Oktober 2019
A
A
A
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan sebanyak 98% bencana yang terjadi dari Januari hingga Oktober 2019 merupakan bencana hidrometeorologi . Puting beliung mendominasi kejadian hingga mencapai 964 kali.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo mengungkapkan, akibat puting beliung tidak hanya korban jiwa, sejumlah kerusakan bangunan pun terjadi akibat bencana tersebut. "Data BNPB hingga akhir Oktober 2019 mencatat 16 jiwa meninggal dunia dan dua lain hilang, sedangkan 177 jiwa mengalami luka-luka. Kerusakan rumah hingga mencapai puluhan ribu. Rumah rusak berat (RB) mencapai 1.794 unit, rusak sedang (RS) 2.978 dan rusak ringan (RR) 17.816. Kerusakan di sektor lain, seperti pendidikan sejumlah 115 unit, peribadatan 93 dan kesehatan 15," ungkap Agus dalam siaran tertulis yang diterima SINDOnews pada Kamis (31/10/2019).
Menurut Agus, angin puting beliung merupakan angin kencang dengan parameter kecepatan angin yang menyertai dan waktu kejadiannya. BMKG merilis informasi seputar puting beliung ini dan warga dapat mengaksesnya.
Fenomena puting beliung terjadi saat pancaroba, baik peralihan dari musim penghujan maupun sebaliknya. Kejadian puting beliung lebih sering terjadi pada saat siang atau sore hari.
Masyarakat, lanjut Agus, dapat mengenali tanda-tanda akan terjadinya fenomena puting beliung, seperti udara panas pada malam hingga pagi, terlihat pertumbuhan awan cumulus, serta hembusan udara dingin. Pada awan tadi, pada pagi hari tampak di antara awan, jenis awan lain yang terbatas tepi dan sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol. Lalu awan kumulus akan berubah warna secara cepat.
Agus mengatakan, bencana hidrometeorologi lain yang terjadi yaitu banjir, tanah longsor dan kekeringan."BNPB mencatat 673 kali banjir, 631 longsor dan 121 kekeringan. Banjir mengakibatkan korban meninggal 254 jiwa dan hilang 101, sedangkan tanah longsor mengakibatkan korban meninggal 108 dan hilang enam orang," katanya.
Meskipun kekeringan tidak mengakibatkan korban dan kerusakan, tetapi jumlah populasi yang terdampak tertinggi pada jenis bencana ini yaitu lebih dari 3,8 juta. Sementara itu, bencana geologi seperti gempa bumi terjadi sebanyak 25 kali.
Gempa mengakibatkan korban meninggal 68 jiwa, luka-luka 1.889 orang dan mengungsi 312.110 jiwa. Sedangkan pada kerusakan, sejumlah gempa tadi mengakibatkan ribuan rumah rusak dengan kategori berbeda. Rumah RB berjumlah 8.587, RS 6.304 dan RR 6.536, sedangkan sektor lain, fasilitas pendidikan 474 unit, peribadatan 173 dan kesehatan 108.
Sejumlah sebaran bencana tadi banyak terjadi di Pulau Jawa. Kejadian bencana tertinggi terjadi di Jawa Tengah dengan 748 kejadian, dan disusul Jawa Barat 593, Jawa Timur 455, Aceh 149 dan Sulawesi Selatan 142.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terjadi hingga Kamis (31/10/2019). Data BNPB per 31 Oktober 2019, pukul 09.00 WIB mencatat titik panas di wilayah prioritas penangana karhutla di Sumatera Selatan sebanyak 185 titik, Jambi 8, dan Riau tidak terdeteksi. Sedangkan di Kalimantan Tengah, titik panas berjumlah 134 titik, Kalimantan Selatan 107 dan Kalimantan Barat 36.
Masih terpantaunya titik panas, kualitas udara yang diukur dengan PM 2,5 dan bersumber dari KLHK masih pada ambang sedang hingga tidak sehat. Kualitas udara tidak sehat masih terpantau di Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Selatan, sedangkan wilayah lain pada kualitas sedang.
Karhutla pada kawasan lain terpantau masih terjadi di Gunung Cikuray, Sumbing, Ungaran dan Rinjani. Luas lahan terdampak di seluruh wilayah Indonesia mencapai 857.756 ha.
Memasuki bulan November ini, masyarakat diimbau untuk waspada terhadap potensi cuaca ekstrem. BMKG menginformasikan bahwa perlu kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem seperti puting beliung, hujan es, hujan lebat disertai petir dan angin kencang pada periode transisi musim atau pada November hingga Desember.
Potensi gelombang tinggi selama November perlu diwaspadai di perairan barat Sumatera hingga selatan Bali dan Nusa Tenggara Barat. Di samping potensi bahaya karena iklim dan cuaca, warga diimbau selalu waspada terhadap potensi ancaman bahaya gempa bumi.
"Bahaya ini tidak dapat diperkirakan sehingga kita harus selalu waspada dan siaga. Dampak pada korban dan kerusakan biasanya diakibatkan bukan karena gempa tetapi bangunannya," ucapnya.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo mengungkapkan, akibat puting beliung tidak hanya korban jiwa, sejumlah kerusakan bangunan pun terjadi akibat bencana tersebut. "Data BNPB hingga akhir Oktober 2019 mencatat 16 jiwa meninggal dunia dan dua lain hilang, sedangkan 177 jiwa mengalami luka-luka. Kerusakan rumah hingga mencapai puluhan ribu. Rumah rusak berat (RB) mencapai 1.794 unit, rusak sedang (RS) 2.978 dan rusak ringan (RR) 17.816. Kerusakan di sektor lain, seperti pendidikan sejumlah 115 unit, peribadatan 93 dan kesehatan 15," ungkap Agus dalam siaran tertulis yang diterima SINDOnews pada Kamis (31/10/2019).
Menurut Agus, angin puting beliung merupakan angin kencang dengan parameter kecepatan angin yang menyertai dan waktu kejadiannya. BMKG merilis informasi seputar puting beliung ini dan warga dapat mengaksesnya.
Fenomena puting beliung terjadi saat pancaroba, baik peralihan dari musim penghujan maupun sebaliknya. Kejadian puting beliung lebih sering terjadi pada saat siang atau sore hari.
Masyarakat, lanjut Agus, dapat mengenali tanda-tanda akan terjadinya fenomena puting beliung, seperti udara panas pada malam hingga pagi, terlihat pertumbuhan awan cumulus, serta hembusan udara dingin. Pada awan tadi, pada pagi hari tampak di antara awan, jenis awan lain yang terbatas tepi dan sangat jelas berwarna abu-abu menjulang tinggi seperti bunga kol. Lalu awan kumulus akan berubah warna secara cepat.
Agus mengatakan, bencana hidrometeorologi lain yang terjadi yaitu banjir, tanah longsor dan kekeringan."BNPB mencatat 673 kali banjir, 631 longsor dan 121 kekeringan. Banjir mengakibatkan korban meninggal 254 jiwa dan hilang 101, sedangkan tanah longsor mengakibatkan korban meninggal 108 dan hilang enam orang," katanya.
Meskipun kekeringan tidak mengakibatkan korban dan kerusakan, tetapi jumlah populasi yang terdampak tertinggi pada jenis bencana ini yaitu lebih dari 3,8 juta. Sementara itu, bencana geologi seperti gempa bumi terjadi sebanyak 25 kali.
Gempa mengakibatkan korban meninggal 68 jiwa, luka-luka 1.889 orang dan mengungsi 312.110 jiwa. Sedangkan pada kerusakan, sejumlah gempa tadi mengakibatkan ribuan rumah rusak dengan kategori berbeda. Rumah RB berjumlah 8.587, RS 6.304 dan RR 6.536, sedangkan sektor lain, fasilitas pendidikan 474 unit, peribadatan 173 dan kesehatan 108.
Sejumlah sebaran bencana tadi banyak terjadi di Pulau Jawa. Kejadian bencana tertinggi terjadi di Jawa Tengah dengan 748 kejadian, dan disusul Jawa Barat 593, Jawa Timur 455, Aceh 149 dan Sulawesi Selatan 142.
Selain itu, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih terjadi hingga Kamis (31/10/2019). Data BNPB per 31 Oktober 2019, pukul 09.00 WIB mencatat titik panas di wilayah prioritas penangana karhutla di Sumatera Selatan sebanyak 185 titik, Jambi 8, dan Riau tidak terdeteksi. Sedangkan di Kalimantan Tengah, titik panas berjumlah 134 titik, Kalimantan Selatan 107 dan Kalimantan Barat 36.
Masih terpantaunya titik panas, kualitas udara yang diukur dengan PM 2,5 dan bersumber dari KLHK masih pada ambang sedang hingga tidak sehat. Kualitas udara tidak sehat masih terpantau di Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Selatan, sedangkan wilayah lain pada kualitas sedang.
Karhutla pada kawasan lain terpantau masih terjadi di Gunung Cikuray, Sumbing, Ungaran dan Rinjani. Luas lahan terdampak di seluruh wilayah Indonesia mencapai 857.756 ha.
Memasuki bulan November ini, masyarakat diimbau untuk waspada terhadap potensi cuaca ekstrem. BMKG menginformasikan bahwa perlu kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem seperti puting beliung, hujan es, hujan lebat disertai petir dan angin kencang pada periode transisi musim atau pada November hingga Desember.
Potensi gelombang tinggi selama November perlu diwaspadai di perairan barat Sumatera hingga selatan Bali dan Nusa Tenggara Barat. Di samping potensi bahaya karena iklim dan cuaca, warga diimbau selalu waspada terhadap potensi ancaman bahaya gempa bumi.
"Bahaya ini tidak dapat diperkirakan sehingga kita harus selalu waspada dan siaga. Dampak pada korban dan kerusakan biasanya diakibatkan bukan karena gempa tetapi bangunannya," ucapnya.
(whb)