BMKG soal Kualitas Udara Jakarta: Debu Meningkat tapi Belum Membahayakan

Selasa, 30 Juli 2019 - 11:15 WIB
BMKG soal Kualitas Udara...
BMKG soal Kualitas Udara Jakarta: Debu Meningkat tapi Belum Membahayakan
A A A
JAKARTA - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan kualitas udara di Jakarta memang mengalami penurunan, terutama pada saat peak hour pagi hari akibat beban kendaraan bermotor dan proyek konstruksi. Namun, penurunan kualitas udara itu belum berdampak besar pada kesehatan manusia secara umum.

Pengamatan BMKG terhadap jarak penglihatan mendatar (visibility) pada pagi hari Senin, 29 Juli 2019, menunjukkan jarak pandang menurun dari biasanya. Laporan pengamatan meteorologi Stasiun Meteorologi Cengakareng dan Stasiun Meteorologi Kemayoran Jakarta Pusat, jarak pandang terjauh yang tercatat adalah 5 sampai 7 km dengan kelembaban relative (RH) berkisar 70 – 85 %.

"Pengukuran konsentrasi PM 10 pagi hari tercatat antara 145-160 µg/m3, mengindikasikan cukup tingginya konsentrasi polutan yang berkorelasi dengan kekeruhan udara dan berkurangnya jarak pandang yang terjadi pagi ini," ujar Plh Deputi Bidang Klimatologi, BMKG, Nasrullah, Selasa (30/7/2019).

PM10 adalah debu partikulat yang mengapung di udara yang memiliki ukuran <10 mikrogram, sekitar 1/10 ukuran helai rambut. Sejauh ini MenLHK dan Pemda DKI, yang juga didukung BMKG, telah mengukur kualitas udara di Jakarta dengan memasang alat pengukur konsentrasi PM10 dan PM2.5.

Sepanjang Juni hingga Juli, data konsentrasi PM10 dan PM2.5 di BMKG mengindikasikan peningkatan konsentrasi partikel polutan, terutama pada 20 hari terakhir. Pengukuran BMKG terhadap konsentrasi PM10 selama periode 10-20 Juli 2019 di enam lokasi pengamatan menunjukkan nilai konsentrasi PM10 tertinggi di Kemayoran pada tanggal 16 Juli 2019 sebesar 94,38 µg/m3.

Nilai konsentrasi PM10 tertinggi pada periode dasarian II Juli 2019 ini lebih rendah dari nilai konsentrasi PM10 pada dasarian sebelumnya yaitu sebesar 101,04 µg/m3 di Kemayoran. Untuk Jakarta, konsentrasi partikel polutan PM10 di Kemayoran memiliki variasi harian dimana pada jam-jam tertentu mencapai nilai konsentrasi tinggi, yaitu pagi hari pada saat peak hour beban transportasi, dan konsentrasi rendah pada jam-jam yang lain.

Demikian halnya konsentrasi PM2.5 yang mencapai peak menjelang tengah hari. Konversi konsentrasi PM10 selama 24 jam menjadi ISPU menghasilkan nilai berkisar 65–88 kategori “sedang”. Kualitas udara "sedang" pengertiannya adalah kualitas udara yang tidak memberikan efek bagi kesehatan manusia atau hewan.

Akan tetapi dapat berpengaruh pada kelompok yang sensitif (yang memiliki gangguan pernapasan dan cardiovaskular) dan dapat mengurangi nilai estetika udara pada waktu tertentu. Misalnya tampak sebagai udara keruh dan penglihatan mendatar yang berkurang karena kabur. (Baca juga: Polusi Udara Jakarta Pengaruhi Kesehatan Pernapasan)

Selain tingginya kadar polusi pagi hari akibat beban kendaraan bermotor saat peak hour, dari sudut pandang meteorologi, pagi hari setelah matahari terbit, merupakan saat dimana terjadi lapisan inversi suhu, yaitu lapisan atmosfer dimana suhu udara menghangat dan lebih panas daripada lapisan di bawahnya. Sehingga menyebabkan penumpukan masa udara dan zat polutan karena tidak bebas bergerak ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi.

Ia menjelaskan, pada Juni hingga September merupakan bulan bulan dimana konsentrasi partikulat polutan lebih tinggi dibandingkan bulan bulan lainnya. Pada musim kemarau, kualitas udara memang dapat memburuk karena ketiadaan hujan dapat mengurangi pengendapan (pencucian) polutan di udara oleh proses rain washing). (Baca juga: Dinas LH Sebut Proyek Trotoar Pengaruhi Kualitas Udara di Jakarta)

"Pada musim kemarau, terutama pada hari-hari sudah lama tidak terjadi hujan, udara yang stagnan, cuaca cerah, adanya lapisan inversi suhu, atau kecepatan angin yang rendah memungkinkan polusi udara tetap mengapung di udara suatu wilayah dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi polutan yang tinggi," bebernya.

Penampakannya dapat dilihat dari kondisi udara yang kabur hasil reaksi kimia antara udara dengan kontaminan. Terlebih lagi pada saat ini masih terus berlangsung pekerjaan konstruksi pembangunan tol atas, jalur LRT, dan pengerjaan trotoar. Hal ini tentu akan menghasilkan debu partikel polutan dan menurunkan AQI pada saat-saat tertentu. "BMKG mengimbau kepada pemerintah daerah dan juga kepada masyarakat luas, untuk saling membantu dalam mengatasi persoalan memburuknya kualitas udara," jelasnya.

Menurut dia, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat mengatur waktu pekerjaan konstruksi, sehingga tidak bertepatan dengan waktu puncak konsentrasi polutan. Pemerintah daerah juga bisa terus berupaya menambah ruang-ruang terbuka hijau, menanam tanaman yang dapat menghisap polutan secara lebih efektif, dan melakukan pengaturan rekayasa lalu lintas sehingga kondisi terlampau tingginya kadar polutan tidak terjadi pada saat peak hour.

"Masyarakat juga dapat mendukung langkah-langkah tersebut dengan semakin meningkatkan kesadaran lingkungan yang dibuktikan dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengutamakan kendaraan umum, gemar melakukan penghijauan lingkungan dengan konsep urban farming," tuturnya.

Secara umum, kata dia, setiap negara memiliki indeks kualitas udara yang berbeda, sesuai dengan standar kualitas udara nasional yang telah ditetapkan masing-masing. Semakin tinggi nilai Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) maka semakin meningkat risiko kesehatan masyarakat.

Untuk saat ini, ISPU masih menggunakan perhitungan berdasarkan konsentrasi debu partikulat PM10 (debu polutan berukuran ~10 mikron). Brbeda dengan AQI Airvisual yang menggunakan perhitungan standar US AQI yang ditetapkan oleh US EPA (Badan Lingkungan Amerika Serikat) dari pengukuran PM2.5.

Beberapa contoh terhadap indeks itu di antaranya the Air Quality Health Index (AQHI, Canada), the Air Pollution Index (Malaysia), US AQI (United States), the Pollutant Standards Index (PSI, Singapore), Common AQI (CAQI, Europa), serta Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU, Indonesia).

Meskipun sama-sama berasal dari data konsentrasi partikel polutan, rumusan yang berbeda akan menghasilkan indeks yang berbeda pula. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri memiliki indeks yang berbeda sebagaimana ditentukan dalam inisiatif Platform Global tentang kualitas dan kesehatan udara.

"Indeks kualitas udara, AQI atau ISPU tersebut merupakan nilai atau angka yang diperoleh dari pembandingan konsentrasi debu pada periode rata-rata yang ditentukan terhadap ambang batas acuan yang ditetapkan. Saat ini umumnya rata-rata harian, bulanan atau tahunan," jelasnya.

AQI juga menggambarkan dosis polutan udara yang berdampak pada kesehatan dan dikelaskan berdasarkan penelitian epidemiologis. Berdasaran regulasi Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997, Standar Pencemar Udara di Indonesia (ISPU) dihitung dari konsentrasi PM10.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8309 seconds (0.1#10.140)