Dapat Remisi, Warga Binaan Lapas Gunung Sindur Cuci Kaki Orang Tua
A
A
A
BOGOR - Berbagai cara dilakukan lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun LP untuk pembinaan para napi. Tak terkecuali Lapas Kelas III Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Misalnya saat sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Remisi, warga binaan yang mendapat remisi diharuskan mencuci kaki orang-orang yang menjamin mereka. Mereka yang masih punya orang tua harus mencuci kaki orang tua dan memohon maaf.
“Mereka yang tidak punya orang tua, harus mencuci kaki kakak, istri, dan orang-orang yang mereka cintai, seraya mengucapkan maaf,” kata Kepala Lapas Kelas III Gunung Sindur, Sopiana, Kamis (25/7/2019).
Banyak dari mereka yang sesenggukan, menangis seraya mencuci kaki ibu kandung, atau siapa pun yang menjamin mereka. “Harapan kami, mereka tidak akan pernah lupa dengan orang yang menjamin, dan si penjamin menjaga mereka tidak kembali lagi ke lapas,” ujarnya.
Pembinaan kepribadian juga dilakukan dengan memadatkan kegiatan pengajian, dan mengajak setiap santri beribadah di masjid. Pengajian tidak hanya di masjid, tapi juga di setiap blok. Tidak hanya narapidana beragama Islam yang menggelar kegiatan rohani setiap hari, mereka yang beragama lain melakukan hal serupa.
Khusus aktivitas keagamaan, Lapas Gunung Sindur kini memiliki 400 sampai 500 santri tetap. Mereka diberikan kamar khusus, sebagai cara memprovokasi warga binaan untuk mengikuti jejak rekan-rekan mereka menjadi santri.
Di luar kegiatan itu, lapas punya kegiatan baru, yaitu mengajak napi bercocok tanam, budi daya ikan, pertukangan, belajar bisnis laundry, dan menjahit. Lahan kosong di belakang lapas disulap menjadi kebun sayur dan empang.
Usaha pertanian dan perikanan belum sampai ke skala ekonomi karena keterbatasan lahan. Namun kegiatan ini berhasil menarik minat banyak warga binaan.
Sejak enam bulan terakhir Lapas Kelas III Gunung Sindur yang kini dihuni 1034 WBP melakukan pembinaan intensif. Yang kali pertama mendapat pembinaan adalah petugas dari semua lapisan. Pembinaan tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berkelanjutan, agar setiap petugas memahami tugas pokok dan fungsinya.
Pembinaan kepada WBP berupa pemberian kepastian semua yang menjadi hak dan kewajiban. Setiap WBP, harus tahu bahwa pemberian remisi, mutasi kamar, dan berbagai pelayanan lainnya, tanpa biaya alias gratis.
“Kami juga memperkenalkan self service layanan informasi digital bagi WBP tentang hak-hak mereka. WBP yang ingin tahu apakah mendapatkan remisi tahun ini, misalnya, tinggal tempelkan sidik jari. Mesin akan menginformasikan apakah WBP mendapatkan remisi atau tidak,” kata Sopiana.
Kalapas juga rutin melakukan pertemuan saat apel pagi dan tatap muka di tempat ibadah. Dua pekan sekali digelar sesi curhat. Di saat itu ditekankan pemahaman bahwa semua narapidana memiliki hak yang sama. Tidak ada yang diistimewakan.
Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami senantiasa mengingatkan jajarannya untuk memiliki pola pikir adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif. Ini sesuai dengan program revitalisasi pemasyarakatan.
Di berbagai kesempatan Utami selalu mengajak jajarannya untuk terus berupaya mewujudkan Ditjen Pas sebagai birokrasi yang kian sederhana, simpel, lincah, cepat dan responsif. "Kalau kita tak mempersiapkan diri, kita bisa terlempar ke pinggiran," ujar Utami saat memberikan pengarahan pada Kelompok Diskusi Terfokus (FGD) Penyusunan Rencana Strategis Ditjen Pemasyarakatan, pekan lalu.
Utami meminta jajarannya tak perlu ragu berinovasi meski itu berdampak pada pengubahan metode, pola kerja bahkan bila perlu nilai-nilai lama. Dengan cara itu diharapkan jajaran Ditjen Pas bisa mewariskan sesuatu yang baik kepada lingkungan kerja dan masyarakat.
"Kita harus meninggalkan legacy yang baik. Sebab itu yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah, kelak di Hari Akhir. Sekaranglah kita harus berbuat, bukan besok atau kapan nanti," ujarnya.
Misalnya saat sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Remisi, warga binaan yang mendapat remisi diharuskan mencuci kaki orang-orang yang menjamin mereka. Mereka yang masih punya orang tua harus mencuci kaki orang tua dan memohon maaf.
“Mereka yang tidak punya orang tua, harus mencuci kaki kakak, istri, dan orang-orang yang mereka cintai, seraya mengucapkan maaf,” kata Kepala Lapas Kelas III Gunung Sindur, Sopiana, Kamis (25/7/2019).
Banyak dari mereka yang sesenggukan, menangis seraya mencuci kaki ibu kandung, atau siapa pun yang menjamin mereka. “Harapan kami, mereka tidak akan pernah lupa dengan orang yang menjamin, dan si penjamin menjaga mereka tidak kembali lagi ke lapas,” ujarnya.
Pembinaan kepribadian juga dilakukan dengan memadatkan kegiatan pengajian, dan mengajak setiap santri beribadah di masjid. Pengajian tidak hanya di masjid, tapi juga di setiap blok. Tidak hanya narapidana beragama Islam yang menggelar kegiatan rohani setiap hari, mereka yang beragama lain melakukan hal serupa.
Khusus aktivitas keagamaan, Lapas Gunung Sindur kini memiliki 400 sampai 500 santri tetap. Mereka diberikan kamar khusus, sebagai cara memprovokasi warga binaan untuk mengikuti jejak rekan-rekan mereka menjadi santri.
Di luar kegiatan itu, lapas punya kegiatan baru, yaitu mengajak napi bercocok tanam, budi daya ikan, pertukangan, belajar bisnis laundry, dan menjahit. Lahan kosong di belakang lapas disulap menjadi kebun sayur dan empang.
Usaha pertanian dan perikanan belum sampai ke skala ekonomi karena keterbatasan lahan. Namun kegiatan ini berhasil menarik minat banyak warga binaan.
Sejak enam bulan terakhir Lapas Kelas III Gunung Sindur yang kini dihuni 1034 WBP melakukan pembinaan intensif. Yang kali pertama mendapat pembinaan adalah petugas dari semua lapisan. Pembinaan tidak hanya sekali atau dua kali, tapi berkelanjutan, agar setiap petugas memahami tugas pokok dan fungsinya.
Pembinaan kepada WBP berupa pemberian kepastian semua yang menjadi hak dan kewajiban. Setiap WBP, harus tahu bahwa pemberian remisi, mutasi kamar, dan berbagai pelayanan lainnya, tanpa biaya alias gratis.
“Kami juga memperkenalkan self service layanan informasi digital bagi WBP tentang hak-hak mereka. WBP yang ingin tahu apakah mendapatkan remisi tahun ini, misalnya, tinggal tempelkan sidik jari. Mesin akan menginformasikan apakah WBP mendapatkan remisi atau tidak,” kata Sopiana.
Kalapas juga rutin melakukan pertemuan saat apel pagi dan tatap muka di tempat ibadah. Dua pekan sekali digelar sesi curhat. Di saat itu ditekankan pemahaman bahwa semua narapidana memiliki hak yang sama. Tidak ada yang diistimewakan.
Dirjen Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami senantiasa mengingatkan jajarannya untuk memiliki pola pikir adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif. Ini sesuai dengan program revitalisasi pemasyarakatan.
Di berbagai kesempatan Utami selalu mengajak jajarannya untuk terus berupaya mewujudkan Ditjen Pas sebagai birokrasi yang kian sederhana, simpel, lincah, cepat dan responsif. "Kalau kita tak mempersiapkan diri, kita bisa terlempar ke pinggiran," ujar Utami saat memberikan pengarahan pada Kelompok Diskusi Terfokus (FGD) Penyusunan Rencana Strategis Ditjen Pemasyarakatan, pekan lalu.
Utami meminta jajarannya tak perlu ragu berinovasi meski itu berdampak pada pengubahan metode, pola kerja bahkan bila perlu nilai-nilai lama. Dengan cara itu diharapkan jajaran Ditjen Pas bisa mewariskan sesuatu yang baik kepada lingkungan kerja dan masyarakat.
"Kita harus meninggalkan legacy yang baik. Sebab itu yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah, kelak di Hari Akhir. Sekaranglah kita harus berbuat, bukan besok atau kapan nanti," ujarnya.
(poe)