Penanganan Kasus Pencabulan di Jakarta Selatan, Orang Tua Korban Nilai Banyak Kejanggalan
A
A
A
JAKARTA - Penanganan kasus kejahatan seksual anak di Jakarta Selatan yang menimpa seorang bocah perempuan berusia delapan tahun dinilai orang tua korban banyak kejanggalan. Tanpa ada pemberitahuan dari polisi dan kejaksaan, kasus tersebut tahu-tahu sudah memasuki persidangan di PN Jakarta Selatan.
Peristiwa memilukan itu teradi pada 17 Desember 2018 lalu. Ketika itu korban berinisial AS diajak oleh pelaku ke suatu tempat dan dilecehkan secara seksual. Mirisnya, pelaku adalah mandor dari S, ayah korban. Alhasil, kedua orang tua korban pun melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Jakarta Selatan pada 21 Desember 2018.
Namun, pihak keluarga menemukan kejanggalan saat polisi memproses kasus tersebut. Pengacara korban, Ratunissa mengatakan, polisi tidak langsung menangkap pelaku, padahal bukti-bukti yang diserakan korban sudah lengkap.
"Akhirnya ditangkap, itu pun karena keluarga korban mendesak. Khawatir pelaku melarikan diri. Karena bukti permulaan sudah cukup," kata Ratunissa di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019). (Baca Juga: Polisi Ringkus Terduga Pelaku Pemerkosaan Anak di Bawah Umur)
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, polisi juga dianggap tidak transparan. Menurut Ratunissa, keluarga korban tidak pernah dipanggil sebagai saksi atas kasus tersebut. "Setelah itu prosesnya panjang lagi, bahkan sampai 60 hari. Padahal bukti sudah cukup. Pelimpahan berkas sangat lama," ucap Ratunissa.
Selain itu, kejanggalan juga ditemukan saat berkas sudah di Kejaksaan. Ratunissa mengaku, keluarga korban tidak diberitahu oleh Kejaksaan bahwa berkas atas perkara tersebut telah lengkap. (Baca Juga: Usai Nonton Film Porno, ABG 17 Tahun Perkosa Siswi SD di Tangsel)
Fakta itu baru diketahui ketika Ratunissa berinisiatif mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada April 2019 lalu. Bahkan saat menanyakan langsung ke Jaksa, perkara itu malah sudah masuk persidangan.
"Katanya sidang sudah jalan. Keluarga korban enggak tau kalau proses dakwaan sudah dilewati. Proses eksepsi sudah dilewati. Keluarga juga enggak terima surat dakwaan," ungkap Ratunissa.
Hingga kini, keluarga juga tidak dikabarkan oleh jaksa perihal jadwal sidang perkara tersebut. Padahal pada Senin 27 Mei 2019 kemarin, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang."Jadwal sidang diubah jadi Senin tanpa ada konfirmasi baik terhadap keluarga korban apalagi pendamping hukum, jadi kita enggak tau agenda sidang apa dan kapan," kata dia.
Keluarga korban juga sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas peristiwa ini. LPSK merekomendasikan pemeriksaan medis terhadap AS.
Dari hasil pemeriksaan medis, korban diketahui mengalami luka sobek di bagian kelaminnya. Bahkan terjadi pembengkakan pada rahim. "Itu yang menyebabkan sering kali korban merasakan demam, sehingga diarahkan untuk diperiksa oleh Dokter kandungan. Risiko terburuk apabila terus mengalami pembengkakan akan ada resiko pengangkatan rahim," ucap Ratunissa.
Untuk hasil pemeriksan psikologis, keluarga korban masih menunggu hasilnya. Namun dari keterangan sementara, korban mengalami ketakutan karena pernah diancam dibunuh oleh pelaku.
"Sehingga korban berkeberatan bercerita tentang peristiwa yang dialami, sehingga korban berelasi memegang tangan Phisikolog tersebut, memeluk, berteriak dan merengek agar tidak bertanya itu dan korban selalu menghindar saat diberi pertanyaan atas seputar kejadian yang menimpaku dirinya, dengan meminta makan, memutari kursi dan meminta keluar dari ruangan," terang Ratunissa.
Peristiwa memilukan itu teradi pada 17 Desember 2018 lalu. Ketika itu korban berinisial AS diajak oleh pelaku ke suatu tempat dan dilecehkan secara seksual. Mirisnya, pelaku adalah mandor dari S, ayah korban. Alhasil, kedua orang tua korban pun melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Jakarta Selatan pada 21 Desember 2018.
Namun, pihak keluarga menemukan kejanggalan saat polisi memproses kasus tersebut. Pengacara korban, Ratunissa mengatakan, polisi tidak langsung menangkap pelaku, padahal bukti-bukti yang diserakan korban sudah lengkap.
"Akhirnya ditangkap, itu pun karena keluarga korban mendesak. Khawatir pelaku melarikan diri. Karena bukti permulaan sudah cukup," kata Ratunissa di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (28/5/2019). (Baca Juga: Polisi Ringkus Terduga Pelaku Pemerkosaan Anak di Bawah Umur)
Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, polisi juga dianggap tidak transparan. Menurut Ratunissa, keluarga korban tidak pernah dipanggil sebagai saksi atas kasus tersebut. "Setelah itu prosesnya panjang lagi, bahkan sampai 60 hari. Padahal bukti sudah cukup. Pelimpahan berkas sangat lama," ucap Ratunissa.
Selain itu, kejanggalan juga ditemukan saat berkas sudah di Kejaksaan. Ratunissa mengaku, keluarga korban tidak diberitahu oleh Kejaksaan bahwa berkas atas perkara tersebut telah lengkap. (Baca Juga: Usai Nonton Film Porno, ABG 17 Tahun Perkosa Siswi SD di Tangsel)
Fakta itu baru diketahui ketika Ratunissa berinisiatif mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada April 2019 lalu. Bahkan saat menanyakan langsung ke Jaksa, perkara itu malah sudah masuk persidangan.
"Katanya sidang sudah jalan. Keluarga korban enggak tau kalau proses dakwaan sudah dilewati. Proses eksepsi sudah dilewati. Keluarga juga enggak terima surat dakwaan," ungkap Ratunissa.
Hingga kini, keluarga juga tidak dikabarkan oleh jaksa perihal jadwal sidang perkara tersebut. Padahal pada Senin 27 Mei 2019 kemarin, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang."Jadwal sidang diubah jadi Senin tanpa ada konfirmasi baik terhadap keluarga korban apalagi pendamping hukum, jadi kita enggak tau agenda sidang apa dan kapan," kata dia.
Keluarga korban juga sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas peristiwa ini. LPSK merekomendasikan pemeriksaan medis terhadap AS.
Dari hasil pemeriksaan medis, korban diketahui mengalami luka sobek di bagian kelaminnya. Bahkan terjadi pembengkakan pada rahim. "Itu yang menyebabkan sering kali korban merasakan demam, sehingga diarahkan untuk diperiksa oleh Dokter kandungan. Risiko terburuk apabila terus mengalami pembengkakan akan ada resiko pengangkatan rahim," ucap Ratunissa.
Untuk hasil pemeriksan psikologis, keluarga korban masih menunggu hasilnya. Namun dari keterangan sementara, korban mengalami ketakutan karena pernah diancam dibunuh oleh pelaku.
"Sehingga korban berkeberatan bercerita tentang peristiwa yang dialami, sehingga korban berelasi memegang tangan Phisikolog tersebut, memeluk, berteriak dan merengek agar tidak bertanya itu dan korban selalu menghindar saat diberi pertanyaan atas seputar kejadian yang menimpaku dirinya, dengan meminta makan, memutari kursi dan meminta keluar dari ruangan," terang Ratunissa.
(ysw)