Cerita Betawi, Kisah Pembantaian Dukun Santet di Cengkareng (Bagian ke-1)

Sabtu, 02 Maret 2019 - 07:03 WIB
Cerita Betawi, Kisah Pembantaian Dukun Santet di Cengkareng (Bagian ke-1)
Cerita Betawi, Kisah Pembantaian Dukun Santet di Cengkareng (Bagian ke-1)
A A A
KISAH pembantaian dukun teluh atau santet pernah menghiasai perjalanan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, terutama di Banyuwangi, Jawa Timur. Tak sedikit, guru mengaji dan imam masjid menjadi korban isu yang tidak jelas asal muasalnya itu.

Ternyata kisah pembantaian dukun santet ini pernah juga terjadi di Jakarta. Seperti yang diceritakan oleh Nurdjaya Sanip atau akrab dipanggi Kong Nur yang merupakan tokoh masyarakat Bambularangan Wetan, Cengkareng, Jakarta Barat.

Salah satu korban pembantaian dukun santet ini adalah Ki Rohimi (59) warga Bambularangan Wetan. Hari yang nahas itu bermula ketika Ki Rohimi mendapat panggilan Kapten Madun untuk menghadap ke kantor keamanan setempat. Setelah diinterogasi seharian soal kegiatan hidupnya sehari-hari, malamnya sekitar pukul 24.00 WIB, dia diizinkan pulang.

Dengan diantar beberapa orang petugas keamanan Cengkareng, Rohimi pulang lewat pinggir kali Kampung Rawabengkel. Tetapi malang, ketika perjalanan melewati kuburan Cina Rawabengkel, Rohimi ditembak salah seorang petugas keamanan hingga tewas. (Baca Juga: Kondisi Bioskop Terakhir di Jakarta, Bertahan dengan Film Esek-Esek)

Kemeja kotak-kotaknya yang lusuh lepek bersimbah darah, mayatnya dibiarkan tergeletak di kuburan Cina. Kira-kira pukul 02.00 WIB, seorang pedagang sayuran bernama Icang lewat ditempat kejadian, petugas keamanan yang melakukan 'eksekusi' itu memerintahkan Icang mengantarkan mayat Rohimi ke rumahnya di Bambularangan. (Baca Juga: Intrik Intelijen Tentara Mataram di Balik Kematian Gubernur VOC)

Bambularangan tahun 1968, sebagaimana penuturan Kong Nur tokoh masyarakat Bambularangan Wetan, “kampung masih gelap”. Suasana kampung masih sangat sepi, jalan utama yang sekarang ada dari arah Sumurbor, masih berupa "gili" atau jalan setapak agak besar yang dikiri-kanannya terhampar sawah.

Dasar gili masih berupa tanah merah, sehingga bila musim hujan mampir, jalan menjadi empuk dan sulit dilalui. Kampung Bambularangan sendiri sebagaimana namanya, banyak sekali ditumbuhi rumpun bambu, beberapa jenis bambu seperti bambu hitam, bambu tali, bambu ampel, bambu surat, tumbuh lebat disisi kiri-kanan jalan kampung. (Baca Juga: Kisah Bang Pi'i, Kisah Jawara Senen dan Awal Mula Kriminalitas di Jakarta)

Jika malam menyelimuti kampung Bambularangan, suasana angker dan mistis lantas menyeruak, apalagi saat itu masih banyak orang yang melakukan kegiatan “Nyuguh” untuk menghormati arwah leluhur.Tak jarang warga melihat bola api terbang berwarna merah menyala melintas di atap rumah, konon kabarnya jika bola api itu “nyangsang” dipohon kelapa, maka hanguslah pohon kelapa itu. Jika bola api itu jatuh diatas atap rumah, maka celakalah salah seorang penghuninya. Itulah yang menurut penuturan Kong Nur salah satu bentuk penampakan ilmu teluh atau santet. (Bersambung)
Sumber: diolah dari anakmandorbuang.blogspot.com
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6300 seconds (0.1#10.140)